• About Us
  • Privacy Policy
  • Redaksi
  • Advertise & Media Partner
  • Kode Etik
Friday, November 28, 2025
No Result
View All Result
ULTIMAGZ
  • Beranda
  • Info Kampus
    • Berita Kampus
    • Indepth
  • Hiburan
    • Film
    • Literatur
    • Musik
    • Mode
    • Jalan-jalan
    • Olahraga
  • Review
  • IPTEK
  • Lifestyle
  • Event
  • Opini
  • Special
    • FOKUS
    • PDF
  • Artikel Series
  • Ultimagz Foto
  • Beranda
  • Info Kampus
    • Berita Kampus
    • Indepth
  • Hiburan
    • Film
    • Literatur
    • Musik
    • Mode
    • Jalan-jalan
    • Olahraga
  • Review
  • IPTEK
  • Lifestyle
  • Event
  • Opini
  • Special
    • FOKUS
    • PDF
  • Artikel Series
  • Ultimagz Foto
No Result
View All Result
ULTIMAGZ
No Result
View All Result
Home Lainnya

Ketika Pelukan Menjadi Perlawanan, Inilah Kisah Gerakan Chipko

Zalfa Zahiyah Putri Wibawa by Zalfa Zahiyah Putri Wibawa
November 25, 2025
in Lainnya
Reading Time: 2 mins read
Gerakan Chipko

Sekelompok perempuan memeluk pohon untuk mencegah penebangan. (thenonviolenceproject.wisc.edu)

0
SHARES
14
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

SERPONG, ULTIMAGZ.com – Perlawanan sering kali dianggap membutuhkan senjata atau kekerasan fisik. Namun, di lereng pegunungan Himalaya pada 1970-an, sekelompok perempuan desa membuktikan sebaliknya. Mereka membuat Gerakan Chipko untuk melawan kapitalisme dan kerusakan alam. 

Melansir tatkala.co, kata “Chipko“ dalam bahasa Hindi berarti “memeluk” atau “melekat”. Gerakan ini tidak muncul begitu saja, tetapi lahir dari penderitaan panjang. Pada awal 1970-an, di wilayah Uttarakhand, India, hutan bukan sekadar pemandangan indah. Hutan adalah sumber kayu bakar untuk memasak, pakan ternak, dan yang terpenting: penahan tanah agar tidak longsor.

Baca juga: Kisah Rosa Parks dan Keberaniannya yang Mengubah Sejarah

Namun, pemerintah saat itu justru memberikan izin kepada perusahaan alat olahraga asing untuk menebang ribuan pohon ash. Ironisnya, penduduk desa setempat dilarang menebang pohon sekadar untuk membuat alat pertanian, sementara orang asing diizinkan menebang habis hutan mereka demi keuntungan komersial.

Kemarahan memuncak. Meski demikian, titik baliknya terjadi di Desa Reni pada 1974. Pihak kontraktor dan pemerintah menggunakan taktik licik. Mereka tahu bahwa laki-laki di desa tersebut akan melawan. Maka dari itu, dengan alasan palsu pembagian kompensasi tanah, para pejabat memanggil seluruh laki-laki di Desa Reni untuk pergi ke kota yang jauh. Desa pun kosong, hanya tersisa perempuan, anak-anak, dan orang tua, dilansir dari historia.id.

Melihat kesempatan ini, para penebang hutan datang berbondong-bondong dengan truk dan kapak, siap meratakan hutan di dekat desa. Seorang gadis kecil melihat kedatangan mereka dan berlari melapor kepada Gaura Devi, ketua kelompok perempuan desa (Mahila Mangal Dal). Tanpa menunggu laki-laki pulang, Gaura Devi mengumpulkan 27 perempuan lainnya. Mereka bergegas menuju hutan.

Pemandangan di sana mencekam. Para penebang yang kasar mencemooh dan mengancam para perempuan itu dengan senjata api. Namun, Gaura Devi berdiri tegak. Ia dan para perempuan lainnya merentangkan tangan mereka dan memeluk batang-batang pohon itu. 

Baca juga: Mona Lisa Smile: Pemberdayaan Perempuan dari Stigma Konservatif

Para penebang bingung. Mereka tidak siap menghadapi perisai manusia yang terdiri perempuan-perempuan desa. Sepanjang malam, para perempuan itu tetap terjaga, memeluk pohon, menjaga hutan mereka. Akhirnya, para kontraktor menyerah dan mundur. Hutan Reni selamat. Kemenangan di Desa Reni menyebar seperti api. Gerakan Chipko meledak menjadi fenomena nasional di India. Ribuan perempuan di desa-desa lain mulai meniru aksi ini.

Mengutip greennetwork.id, perjuangan tanpa kekerasan ini membuahkan hasil. Pada 1980-an, Perdana Menteri Indira Gandhi akhirnya mengeluarkan larangan penebangan pohon di wilayah hutan Himalaya selama 15 tahun. Kejadian ini mengajarkan bahwa kekuatan tidak selalu tentang siapa yang paling kuat memukul, tetapi tentang siapa yang paling berani melindungi. Para perempuan Himalaya memiliki keberanian untuk memeluk apa yang mereka cintai, bahkan jika itu berarti harus berhadapan dengan maut.

 

 

Penulis: Zalfa Zahiyah Putri Wibawa

Editor: Jessie Valencia

Sumber: tatkala.co, historia.id, greennetwork.id 

Foto: thenonviolenceproject.wisc.edu

Tags: aktivismegerakangerakan perempuanperempuan
Zalfa Zahiyah Putri Wibawa

Zalfa Zahiyah Putri Wibawa

Related Posts

Beberapa orang yang sedang berdiri dan berjalan di atas eskalator. (freepik.com)
Budaya

Etika Berdiri di Eskalator di Jepang, Apa Kisah Dibaliknya?

November 20, 2025
Pengangkatan Soeharto di prosesi upacara pemberian gelar pahlawan di Istana Negara pada Senin (10/11/25). (BBC/Aditya Pradana Putra)
Lainnya

Kontroversi Pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional Indonesia

November 18, 2025
Foto segelas matcha di atas meja. (freepik.com)
Iptek

Matcha: Tidak Berasal dari Negeri Sakura, tetapi dari Tiongkok?

November 17, 2025
Next Post
Penampilan oleh Reality Club pada panggung UNIFY 2025 di Universitas Multimedia Nusantara pada Sabtu (22/11/25). (ULTIMAGZ/Byung Hyun-An)

UNIFY 2025: Antusias Penonton Sambut Wijaya 80, Raissa Anggiani, dan Reality Club

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fifteen − twelve =

Popular News

  • wawancara

    Bagaimana Cara Menjawab Pertanyaan ‘Klise’ Wawancara?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Risa Saraswati Ceritakan Kisah Pilu 5 Sahabat Tak Kasat Matanya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Ivanna Van Dijk Sosok Dari Film ‘Danur 2 : Maddah’

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gading Festival: Pusat Kuliner dan Rekreasi oleh Sedayu City

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merasa Depresi? Coba Cek 4 Organisasi Kesehatan Mental Ini!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Pages

  • About Us
  • Advertise & Media Partner
  • Artikel Terbar-U
  • Beranda
  • Kode Etik
  • Privacy Policy
  • Redaksi
  • Ultimagz Foto
  • Disabilitas

Kategori

About Us

Ultimagz merupakan sebuah majalah kampus independen yang berlokasi di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Ultimagz pertama kali terbit pada tahun 2007. Saat itu, keluarga Ultimagz generasi pertama berhasil menerbitkan sebuah majalah yang bertujuan membantu mempromosikan kampus. Ultimagz saat itu juga menjadi wadah pelatihan menulis bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) UMN dan non-FIKOM.

© Ultimagz 2021

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Info Kampus
    • Berita Kampus
    • Indepth
  • Hiburan
    • Film
    • Literatur
    • Musik
    • Mode
    • Jalan-jalan
    • Olahraga
  • Review
  • IPTEK
  • Lifestyle
  • Event
  • Opini
  • Special
    • FOKUS
    • PDF
  • Artikel Series
  • Ultimagz Foto

© Ultimagz 2021