SERPONG, ULTIMAGZ.com – Budaya thrifting alias membeli barang bekas kini disambut hangat para anak muda. Didominasi pelapak fesyen, tren ini semakin kerap ditemui. Namun di Indonesia, perkembangan nya masih terbilang semu. Dengan stigma buruk yang masih melekat kepada thrifting, para pelapak ingin ajak masyarakat akhiri stigma tersebut.
Pada dasarnya, thrifting bukan hanya sebuah tren, melainkan suatu solusi untuk mengurangi dampak buruk konsumsi tekstil berlebihan.
Industri mode adalah salah satu industri terbesar dalam kegiatan ekonomi lantaran fungsinya sebagai kebutuhan primer dan kemewahan bagi manusia. Namun, di balik glamor dunia mode, industri ini semakin membawa kecemasan terhadap perubahan iklim bumi.
Hal ini disebabkan budaya konsumerisme yang melekat kepada dunia mode. Tren yang selalu aktif berputar menyebabkan banyak pakaian dibuang lantas berakhir mubazir. Seperti itulah, nasib 90 ton limbah tekstil yang berakhir di TPA setiap tahunnya.
Mengetahui bahaya konsumsi tekstil yang berlebihan, PBB mendedikasikan satu fokus ke dalam program pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals (SDG)) yaitu responsible consumption. Masyarakat diajak untuk lebih peka dan bertanggung jawab dalam berkonsumsi, terutama dalam mengurangi jejak ekologi produk yang kita beli.
Dengan lingkup kecil yaitu melakukan thrifting, masyarakat dapat mengurangi kontribusinya terhadap siklus konsumsi dan produksi tekstil. Produk tekstil yang didaur ulang atau digunakan kembali menemukan fungsi baru selain dibuang sia-sia.
Kilas Budaya Thrifting di Indonesia
Pemilik Thrifted Gems Indonesia (TGI), Angelique Soegiarto adalah salah satu pelapak yang berdagang lewat media sosial Instagram. Semenjak 2018, TGI sudah menjadi salah satu destinasi para thrifters di Indonesia. Kini dalam tahun ketiganya berdiri, TGI sudah berhasil meraih pencapaian baru yaitu menempuh 30 ribu pengikut di akun Instagramnya.
Angelique yang berkuliah di Amerika mengungkap masih adanya stigma buruk thrifting di Indonesia. Menurutnya, jika dibandingkan dengan Amerika, pasar thrifting di Indonesia masih kesulitan berkompetisi dengan merek besar. Terlebih dari itu, bayangan membeli barang bekas masih menimbulkan kecemasan dan ketidaksetujuan dari masyarakat.
“Menurut saya, stigma yang paling sering ditemui adalah tidak higienis. Sebenarnya, dapat dimengerti karena kalau dilihat produk-produk yang diambil dari pasar lokal, pasti ada stigma tertentu yang sulit untuk dihilangkan,” ujarnya.
Selain isu kebersihan, masih ada juga persepsi negatif terhadap barang yang sudah terpakai. Mayoritas masyarakat sering kali skeptis terhadap kualitas barang bekas.
“Walaupun berkondisi optimal, tetap masih ada yang berpikir, pasti ada celah dibanding barang baru,” ujarnya.
Meski demikian, Angelique berambisi memerangi persepsi tersebut. Ia menggunakan TGI untuk membuktikan tidak ada salahnya dalam membeli barang bekas.
Hal ini dilakukan dengan memberikan upaya lebih dalam membangun merek TGI, salah satunya dengan menyambut pelanggan melewati visual yang menarik. Angelique berpendapat bahwa estetika adalah gerbang awal yang digunakan untuk memikat para pembeli. Dengan adanya daya tarik tersebut, ia berharap dapat membantu membuka pikiran.
“Daripada mencoba mengubah cara berpikir orang-orang, saya lebih memilih untuk langsung membuktikan. Caranya dengan menunjukan bahwa barang-barang thrifting itu juga bagus, cantik, dan berkualitas,” ucap Angelique.
Angelique ungkap proses yang harus dilewati suatu produk sebelum dipasarkan. Dimulai dengan tahap pemilihan, kebanyakan dari produk yang dijual TGI ternyata diambil dari pasar lokal. Namun, dengan penataan dan fotografi yang tepat, produk-produk tersebut berhasil mengunggah ketertarikan para pembeli.
Kemudian, setiap produk dipastikan sudah melewati protokol kesehatan yang diterapkan. Sebelum dipasarkan, produk wajib dicuci bersih dan didesinfeksi.
Angelique berharap upaya-upaya tersebut dapat mengajak lebih banyak orang untuk thrifting, terutama melihat manfaatnya terhadap lingkungan dan industri lokal.
“Tentu saja faktor utama kenapa thrifting itu penting karena ramah lingkungan. Contohnya dapat mengurangi limbah di TPA dan mikroplastik tekstil di laut. Intinya, semakin banyak orang mengerti isu ini akan semakin baik untuk kita semua,” ujarnya.
Dengan menantang stigma negatif terhadap thrifting, Ia berharap tren ini dapat semakin diadaptasi oleh masyarakat Indonesia. Bukan hanya sebagai alternatif menghemat, tetapi sebagai suatu kebiasaan konsumsi yang cermat.
Selain mempelopori fenomena thrifting, TGI juga semangat berkontribusi terhadap isu global lainnya. Pada tahun 2021, TGI sudah berhasil mendonasikan 45 juta rupiah kepada berbagai organisasi amal. peduli lingkungan, Green Welfare, dan berbagai rumah sakit menangani COVID-19.
Organisasi yang dipilih memiliki tujuan yang beragam, salah satunya penangkaran hewan, Natha Satwa Nusantara, organisasi
Penulis: Arienne Clerissa
Editor: Andi Annisa Ivana Putri, Xena Olivia, Maria Helena
Fotografer: Charles Putra
Sumber: Vox News, www.un.org