SERPONG, ULTIMAGZ.com — Seekor beruang kutub di atas gunung es yang mencair, hutan kering yang berwarna cokelat, kebakaran hutan, kota yang terendam banjir. Semua ini telah menjadi gambaran ikonik yang mewakili dampak kenaikan suhu akibat perubahan iklim antropogenik pada alam.
Dilansir dari bbc.com, bumi mencatatkan kenaikan sebesar 1,2 derajat celsius pada 2020. Angka tersebut menunjukkan suhu yang lebih panas ketimbang rata-rata per tahun abad ke-19. Suhu bumi yang semakin panas akan mengakibatkan pemanasan global, meningkatnya kebakaran hutan ekstrem, mencairnya gletser di kutub, mengakibatkan naiknya permukaan air laut, kepunahan berbagai spesies, hingga penipisan lapisan ozon pada atmosfer bumi.
Semua hal tersebut adalah bagian dari krisis iklim yang memaksa orang meninggalkan rumah mereka, mengancam kelaparan dan pengangguran yang meluas, dan memperburuk konflik atas sumber daya yang langka.
Maka dari itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut perubahan iklim sebagai salah satu ancaman utama bagi hak asasi manusia. Untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, tindakan perubahan iklim perlu diintegrasikan ke dalam kebijakan, strategi dan perencanaan nasional. Sustainable Development Goals (SDG) pun tercipta, agenda ambisius untuk membangun dunia yang lebih baik bagi semua orang.
Pasti ada sesuatu yang bisa dilakukan seseorang, seperti meningkatkan kesadaran orang-orang di sekitar. Jika bukan kita yang tidak mengindahkan masalah mengenai iklim, hidup kita pula yang dipertaruhkan. Itulah yang dilakukan Dhita Mutiara Nabella.
Setelah lulus kuliah dengan jurusan Biologi di Universitas Indonesia (UI) pada 2019, Dhita bekerja di Pusat Riset Perubahan Iklim UI. Sebagai salah satu anggota paling muda, ia mendapatkan banyak informasi menarik dan wawasan baru dari senior-seniornya. Ia mulai menyadari betapa bahayanya krisis iklim itu dan betapa pentingnya untuk menyadarkan masyarakat akan hal tersebut. Namun, karena dikelilingi dengan para senior dan peneliti, Dhita merasa bahwa ia membutuhkan tempat diskusi yang berisikan anak-anak muda.
“Aku dapat banyak insight dari tempat kerja aku sehingga aku merasa perlu, nih, aku share, kayaknya belum banyak yang tahu,” kata Dhita.

Semangat yang dimiliki Dhita untuk menyebarkan kesadaran akan krisis iklim pun menghasilkan sebuah komunitas bernama Cerita Iklim. Dhita pun mulai mengunggah beberapa unggahan di Instagram demi meningkatkan kesadaran dan menyebarkan pengetahuan tentang krisis iklim pada anak-anak muda. Dengan keterampilan mendesainnya yang minim, Dhita tetap berusaha membuat unggahan yang dapat memikat dan menarik perhatian anak-anak muda.
Namun, Dhita masih tidak puas dan masih ingin memburu keberhasilan. Ia menginginkan lebih banyak orang untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan Cerita Iklim supaya dampaknya semakin besar dan lebih baik lagi. Dhita pun dibantu oleh tiga temannya yang memegang jabatan sebagai co-founder, sedangkan Dhita sendiri menjadi CEO dan founder-nya. Komunitas Cerita Iklim pun semakin bertambah anggotanya dan resmi dibentuk pada 8 Mei 2020.
Melalui Cerita Iklim, Dhita ingin memberikan wadah belajar bagi generasi penerus bumi untuk memahami fenomena perubahan iklim. Ia juga ingin para pemuda untuk bisa menggunakan Cerita Iklim sebagai platform untuk berdiskusi dan belajar bersama tentang krisis iklim.
Yang awalnya hanya berbentuk posting-an di Instagram, produk Cerita Iklim akhirnya meluas seperti adanya podcast, bedah jurnal, kuis, dan diskusi aktif di Zoom, YouTube dan Instagram. Seluruh produk dari Cerita Iklim memiliki tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya perubahan iklim dan mempromosikan langkah-langkah untuk mencegahnya.
Menurut Dhita, frasa ‘krisis iklim’ ini pantas mengingat bahwa manusia kini tengah menghadapi krisis lingkungan global. Dhita berharap krisis iklim dapat menjadi hal yang normal untuk dibicarakan dan menjadi sesuatu yang sering dibicarakan anak-anak muda. Keterdesakan semakin nyata dengan banyaknya kejadian terkait bencana iklim dan ekologis.
“Sudah banyak pembuktian bahwa pemanasan global, krisis iklim, climate change itu disebabkan oleh hal-hal antropogenik atau kegiatan manusia. Yang terutama didorong lagi oleh revolusi industri,” ujar Dhita.
Dhita menjelaskan bahwa semakin banyak pabrik-pabrik, semakin tinggi pula tingkat pencemaran lingkungan yang ditimbulkan. Peningkatan gas rumah kaca akibat aktivitas industri juga menyebabkan perubahan komposisi alami atmosfer. Hutan-hutan yang terkena dampak dari perubahan iklim ini juga akan mengalami deforestasi. Lapisan es di Arktik akan menipis dan bahkan menghilang. Perubahan iklim juga memberikan dampak buruk lainnya seperti kegagalan panen yang dapat berujung krisis pangan. Seperti yang Dhita katakan, “Krisis iklim itu menyangkut ke mana-mana.”.
“Krisis iklim itu sebenarnya bukan hanya terkait dengan lingkungan, tetapi juga dengan daya tahan kehidupan untuk manusianya sendiri,” jelasnya.
Maka dari itu, Dhita merasa bahwa krisis iklim ini penting untuk diperhatikan oleh para kaum muda karena merekalah yang menjadi penopang generasi selanjutnya. Ia ingin pemuda pemudi Indonesia untuk bisa menjadi penggerak dalam pelaksanaan climate action.
“Karena kalau kita tidak bersuara, kurang adanya dorongan atau desakan dari masyarakat khususnya anak-anak muda, dampak dari perubahan iklim ini akan paling terasa kepada generasi kita dan generasi selanjutnya,” ucapnya.
Pesan Dhita untuk generasi muda adalah untuk belajar sebanyak mungkin. Kita sebagai generasi muda harus mulai berani untuk mengedukasikan diri sendiri dan masyarakat soal perubahan iklim. Mulai dulu dari diri kita sendiri dengan cara memperhatikan apa yang perlu dibenahi dari lingkungan sekitar kita.
“Belajar yang banyak kemudian implementasikan ilmunya. Banyak-banyak kolaborasi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Karena semakin ke depan, permasalahan akan semakin kompleks,” ungkap Dhita.
Penulis: Alycia Catelyn
Editor: Andi Annisa Ivana Putri, Maria Helen Oktavia, Xena Olivia
Foto: Rista Cynthia
Sumber: bbc.com