SERPONG, ULTIMAGZ.com – Menjadi bagian dari rangkaian acaranya, Commpress 2018 menggelar seminar bertajuk Jurnalisme Audio: Kemarin, Sekarang, dan Nanti di Lecture Hall Gedung C Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Selasa (17/04/18). Seminar ini menekankan bahwa nilai-nilai dalam jurnalistik tidak akan berubah, meskipun tidak dapat dipungkiri jika dalam penyajiannya harus mengalami penyesuaian.
Seminar yang dimoderatori oleh Pengamat Media Deden Mauli Drajat ini mengundang tiga tokoh dalam bidang radio di Indonesia, yaitu Kepala Produksi Radio Republik Indonesia (RRI) Drs. Haris Talamati, penyiar Radio Prambors Christina Jennifer (CJ), dan Chief Executive Office Ruru Radio Ica.
Haris mengungkapkan bahwa RRI kini turut mengikuti kemajuan teknologi media dengan melakukan konvergensi dalam wujud aplikasi RRI play. Walaupun harus melakukan penyesuaian seiring dengan perkembangan zaman, Haris menganggap kalau hal itu tidak akan mengubah jurnalistik, apalagi jika melihat peran krusial jurnalisme sebagai sarana informasi bagi masyarakat.
“Jurnalistik akan tetap sama. Untuk apa jurnalistik ada? Jurnalistik ada untuk melayani informasi masyarakat agar bisa mengembangkan diri demi kemajuan masyarakat itu sendiri,” ungkap Haris.
Namun, Haris menyayangkan efek negatif dari kemajuan teknologi bagi dunia jurnalistik, yaitu semakin banyaknya berita bohong yang tersebar di masyarakat.
“Efek dari jurnalistik untuk apa? Untuk menyakiti? Berdusta? Atau hal lainnya? Inilah pertanyaan untuk orang-orang yang bekerja di media,” kata Haris tentang posisi jurnalis di tengah-tengah berita bohong.
Selain Haris, CJ juga membagikan cara kerja salah satu radio swasta tempatnya bekerja, yakni Prambors.
“Prambors sendiri ada aturan khusus yang belum tentu ada di radio lain. Penyiar enggak bisa sembarangan menyetel lagu dan harus selalu update tentang apa musik yang baru dan digemari kawula muda, pemberitaan heboh dan panas, hal-hal viral yang cocok untuk bahan siaran, dan itu harus ditulis dalam note untuk siaran berikutnya,” jelas CJ.
Melihat perkembangan teknologi saat ini, Prambors memiliki cara tersendiri untuk menghindari hal-hal yang bisa mengeser eksistensi radio.
“Contohnya, nih, sekarang ini ada makanan yang viral kayak es kepal milo. Nah, kita jadikan itu bahan siaran. Kita juga survei sendiri lagu apa yang disukai dan akan selalu didengar. Ini salah satu cara Prambors tetap eksis dan selalu ditunggu para pendengar,” ungkap CJ.
Selain itu, menurut CJ, media sosial juga memiliki pengaruh yang besar. Melalui media sosial, Prambors bisa mendapat feedback dari pendengar yang menjadi bahan evaluasi Prambors untuk terus berbenah dan berkembang.
Berbeda dengan Prambors, Ruru Radio menjadi salah satu radio digital Indonesia yang terjun dalam bidang musik, seni, dan budaya. Radio ini merupakan bagian dari Ruang Rupa, yaitu komunitas seni kontemporer beranggotakan 2000 seniman muda yang fokus pada seni rupa kontemporer urban. Selain itu, ada pula anggota-anggota lain yang bekerja di luar bidang seni.
“Kami berasal dari berbagai pekerjaan. Diawali hanya dari obrolan dan keisengan, kemudian muncul pemikiran membuat radio. Tapi frekuensi bekas sangat mahal. Akhirnya kami buat radio online yang awalnya hanya sebuah projek. Kami awalnya tidak memiliki ambisi menjadi radio besar seperti Prambors atau RRI,” kata Ica.
Untuk mengisi konten di siarannya, Ruru Radio mengandalkan diri dengan membangun jaringan dan mengundang orang. Radio yang baru lahir pada tahun 2011 ini juga menjadikan produksi offair seperti konser sebagai nilai jualnya.
“Tetapi bukan hanya konser, ada juga aktivasi luar konser. Contohnya bintang tamu yang kami hadirkan kami minta membuat workshop, seminar, atau pengajaran. Jadi dengan adanya produksi offair, kami mudah mendapat sponsor untuk mengajukan program,” terang Ica.
Penulis: Theresia Amadea
Editor: Geofanni Nerissa Arviana
Foto: Billy Dewanda