Dalam pertandingan final bulutangkis tunggal putra Asian Games 2018 pada Selasa (28/08/18), Jonatan Christie berhasil menyumbangkan emas untuk Indonesia kemudian melakukan selebrasi dengan membuka baju. Tindakan ini memancing pro-kontra di kalangan netizen perihal komentar bernada seksis yang menghujani foto topless Jonatan.
SERPONG, ULTIMAGZ.com– Aksi selebrasi buka baju pebulutangkis Jonatan Christie, sempat curi perhatian netizen kala dirinya berhasil menyabet emas untuk Indonesia pada Selasa (28/08/18) di Istora Senayan, Jakarta. Berbondong-bondong netizen menghujani pujian kepada pria yang akrab disapa Jojo ini. Tak hanya pujian atas kemenangan, tetapi juga decak kagum atas fisik yang dimiliki Jojo.
“Uh pas momen Jojo buka baju beneran salfok sama roti sobeknya eh tapi pas liat foto ini salfoknya jadi ke bawah.”
“Aduh rahimku anget.”
“Bijiku anget lur.”
“Waduh, pada turn-on online berjamaah nih.”
Komentar bernada seksis (seperti ucapan di atas) ramai mewarnai kolom komentar Instagram Tirto.id yang sukses menangkap momen selebrasi Jojo tersebut. Asal komentar-komentar semacam ini didominasi akun yang dimiliki kaum hawa. Kontan, hal ini menimbulkan pro-kontra di kalangan warganet, terutama kaum adam yang merasa komentar tersebut berlebihan dan mengkhianati semangat feminisme yang kerap digaungkan kaum hawa.
“Dear girls, masi ingat kejadian Lisa Blackpink yang di lecehkan secara verbal oleh YoungLex? Then, kalian marah dan sampe bikin petisi. Now, jangan sampe kalian justru yang melecehkan atlet kebanggaan kita hanya karena ‘roti sobek’ lah, dkk. Iman sama mulut dijaga dikit, jangan kek orang horny-an oke?”
“Objektifikasi perempuan dan laki2 memang berbeda. Tp hal seperti ini juga tidak benar. Laki2 jg bisa merasa tidak nyaman dengan ucapan2 sprti ini, bukan hanya perempuan.”
Benar adanya bahwa perempuan, laki-laki, atau gender apapun di dunia ini tak akan pernah nyaman jika diberikan komentar seksis. Judee K. Burgoon, seorang profesor komunikasi dari University of Arizona, menyatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan akan afiliasi dan ruang pribadi.
Dalam kultur masyarakat Indonesia, topik seputar seks dan sejenisnya merupakan sebuah privasi yang tak lazim dan cenderung tabu untuk menjadi konsumsi publik. Hal ini menimbulkan ketidaknyamanan seseorang apabila dirinya diobjektifikasi secara seksual, terlebih jika dilakukan orang asing.
Disadari atau tidak, kasus ini mampu menjadi sebuah titik temu pemahaman kaum laki-laki akan rasa ketidaknyamanan atas komentar seksis yang kerap diterima oleh perempuan. Bukan sebuah rahasia, perempuan kerap diobjektifikasi dan dilabel atas dasar budaya maskulin.
Kebanyakan masyarakat Indonesia kerap memberikan stereotype atas gender tertentu seperti perempuan dianggap pasif dan tidak patut mengekspresikan seksualitas. Kemudian, sebaliknya laki-laki diwajibkan menjadi pemimpin ataupun harus kuat termasuk tidak boleh menangis. Hal-hal semacam ini melanggengkan ucapan seksis di masyarakat Indonesia, sebab ada satu pihak yang dilabeli pasif dan lainnya diberikan label superior.
Ucapan seperti “Ah, perempuan ini mah sudah saya ‘pakai’,” atau “Gila, bohai banget ya itu cewek,” dan sejenisnya merupakan kalimat yang sering diucapkan. Norma sosial seakan-akan mengizinkan kalimat keluar dari mulut tanpa adanya hukuman sosial menanti.
Dalih “Itu kan cuma bercanda,” harus segera dihentikan demi memutus kelanggengan komentar seksis di berbagai situasi dan kondisi. Tak pernah ada komentar seksis yang patut dijadikan bahan lelucon ataupun ditertawakan. Sebab, semua orang ingin dihargai dalam cara seadil-adilnya.
“Both men and women should feel free to be sensitive. Both men and women should feel free to be strong…it is time that we all perceive gender on a spectrum not as two opposing sets of ideas” –Emma Watson.
Penulis: Diana Valencia
Editor: Gilang Fajar Septian