JAKARTA, ULTIMAGZ.com – Hal apa yang pertama muncul di pikiran Ultimates ketika mendengar kata “disabilitas”? Berbeda, aneh, tidak “normal”, atau … perlu dibantu? Sesungguhnya, hal yang paling para penyandang disabilitas inginkan selain akses adalah dipandang sebagai pribadi yang berdaya dan setara oleh kelompok nondisabilitas. Setidaknya, itulah yang digaungkan oleh Ilma Rivai pada beragam kesempatan, lewat platform-platform yang ia miliki.
“Orang, tuh, enggak nyangka. Di Indonesia ini, belum sampai [ke] situ [pemikirannya], kayaknya. [Untuk berpikir] bahwa kita, tuh, bisa. Walaupun ada sedikit bantuan, kita, tuh, bisa sama kayak lo. Jadinya, mereka kadang agak merendahkan, gitu, lah, ya,” ujar Ilma dalam wawancara bersama ULTIMAGZ, Jumat (21/05/21).
Diskriminasi dan stigma memang telah lama dialami teman-teman disabilitas, baik dalam tingkat personal maupun sistemik. Meski UU No. 8 Tahun 2016 telah menjamin hak penyandang disabilitas untuk bebas dari stigma, mendapatkan aksesibilitas untuk memanfaatkan layanan publik, dan mendapatkan pendidikan yang inklusif, hak-hak tersebut masih belum terpenuhi dengan ideal.
Bagi Ilma yang merupakan penyandang cerebral palsy dan pengguna kursi roda, diskriminasi datang dalam berbagai bentuk, mulai dari tuntutan “sehat, rohani, dan jasmani” di iklan lowongan pekerjaan, ketiadaan rampa di transportasi publik seperti MRT dan TransJakarta, hingga orang-orang yang mendorong kursi rodanya tanpa diminta.
“If I really want your help, I’ll ask,” ucapnya.
Ilma juga menyebutkan bahwa sering kali, tempat-tempat atau layanan-layanan yang menyebut diri mereka sebagai ruang atau layanan yang inklusif, belum sepenuhnya inklusif bagi seluruh penyandang disabilitas. Bahkan, sekolah inklusi atau yang mungkin lebih kita kenal dengan istilah Sekolah Luar Biasa (SLB) lebih cenderung menyediakan fasilitas aksesibilitas untuk penyandang disabilitas netra dibanding pengguna kursi roda. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan setiap penyandang disabilitas yang berbeda-beda dan tidak bisa dipukul rata.
Menurut Ilma, orang-orang dan institusi nondisabilitas sering kali merasa kebingungan dalam mengakomodasi atau berinteraksi dengan teman-teman disabilitas. Kebingungan itu kemudian menjadi alasan bagi mereka untuk tidak menerima teman-teman disabilitas. Padahal, hal tersebut justru memperbesar ruang antara disabilitas dan nondisabilitas. Oleh sebab itu, lewat platform-platform yang dimilikinya, Ilma kerap berbagi informasi mengenai bagaimana institusi atau masyarakat nondisabilitas dapat mengakomodasi teman-teman disabilitas dengan lebih baik.
Ketika ditanya mengenai bagaimana seharusnya masyarakat mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas, Ilma dengan lugas menjawab, “You ask them first. You ask them, ‘How do you want us to accomodate [you]?’”
Sebagai contoh, Ilma mengatakan bahwa teman-teman Tuli sesungguhnya merasa kurang nyaman jika seorang non-disabilitas langsung berkomunikasi dengan mereka dalam format tertulis ketika bertemu. Sebab, banyak dari teman-teman Tuli yang memiliki kemampuan membaca bibir (lip-reading). Mengasumsikan bahwa seorang Tuli pasti lebih nyaman berkomunikasi secara tertulis berarti mendiskriminasi dan tidak memandang mereka sebagai rekan yang setara.
“Jadi, kita mesti tanya dulu, ‘lo maunya oral atau ditulis? Atau mau pakai JBI (Juru Bahasa Isyarat) atau gimana?’ Kalau mereka maunya oral karena masih bisa baca bibir kita, ya, berarti we have to speak slower,” tambahnya.
Dengan semakin bertumbuhnya kesadaran masyarakat akan disabilitas dan akses teknologi yang semakin baik, Ilma berharap masyarakat tidak lagi memandang penyandang disabilitas sebagai kelompok yang “berbeda” dari kelompok non-disabilitas. Ia pun mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada penyandang disabilitas, karena hanya dengan cara itu, hak-hak disabilitas dapat lebih diperhatikan.
“Kalau mereka pengin nanya sesuatu tentang penyandang disabilitas, ya, jangan takut [untuk bertanya]. We’re the same, so you have to ask us about what you want to know about it. By doing that, you’re going to minimize the gap. Jangan pandang kami kayak alien atau apa, lah, gitu, yang jauh,” pungkasnya.
Memperlakukan teman-teman disabilitas sebagai rekan yang berdaya dan setara adalah salah satu hal yang dapat kita lakukan untuk mengurangi kesenjangan dan ketidaksetaraan. Hal ini merupakan salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals [SDGs]) yang dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Selain memastikan bahwa semua orang mendapatkan kesempatan yang setara dan menghentikan diskriminasi, target-target lain yang dapat kita ikuti dalam perjalanan menuju pengurangan kesenjangan dan ketidaksetaraan antara lain adalah dengan mengurangi kesenjangan pendapatan, mempromosikan inklusivitas universal, dan mengadopsi kebijakan-kebijakan yang pro-kesetaraan.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan nomor 10—berkurangnya kesenjangan—dan upaya-upaya yang dapat kita lakukan untuk mencapainya, Ultimates dapat mengunjungi laman The Global Goals.
Penulis: Charlenne Kayla Roeslie
Editor: Andi Annisa Ivana, Maria Helen Oktavia, Xena Olivia
Foto: Androw Parama