SERPONG, ULTIMAGZ.com — Dari pagi sampai malam dan tanpa mengenal lelah, orang tua selalu siap menjaga serta mengasihi sang buah hati dengan segala kelebihan maupun kekurangannya. Tentu, ketika ada yang melontarkan suatu hal buruk tentang si kecil, hati pun akan sakit. Tidak jarang, orang tua pun menerima komentar negatif, seolah-olah jerih payah mereka tidak ada artinya.
Hal tersebut dirasakan oleh Resti Yully Astuti. Ia adalah seorang perempuan berusia 27 tahun yang saat ini bekerja sebagai seorang analis kelautan dan perikanan di Kementerian Republik Indonesia.
Baca juga: Semua Orang Berisiko Jadi Disabilitas dan Rentan dengan Diskriminasi
Resti memiliki seorang anak perempuan bernama Qinsina atau sering dipanggil Qinsi. Qinsi adalah anak istimewa yang baru saja menginjak usia 2 tahun.
Selama kehamilan pertamanya ini, Resti selalu menjaga makanan yang ia santap dan rutin melakukan pemeriksaan komprehensif. Seluruh hasil pemeriksaan tampak biasa saja dan tidak menunjukkan indikasi apapun.
Pada 19 April 2021, menjelang kelahiran, kecurigaan mulai menyelimuti Resti. Ketika ia melihat sang buah hati untuk pertama kalinya, Resti langsung menyadari ada sesuatu yang berbeda karena beberapa fitur wajah putrinya itu. Qinsi juga terlahir mungil dengan berat 2.5 kilogram, pas dengan batas bawah seorang bayi dikategorikan memiliki berat badan normal.
Namun, pikirannya ini hanya dipendam sendiri. Hingga di ruang pemulihan pun, Resti masih dibayang-bayangi firasat bahwa ada sesuatu yang terjadi pada anak pertamanya itu. Beberapa kejanggalan mulai terjadi dari adanya kebiruan di punggung hingga pembengkakan di perut yang semakin membuat Resti kebingungan.
Informasi terkait kondisi sang anak simpang siur sehingga tidak memberi jawaban yang memuaskan untuk Resti. Ia meminta dokter untuk menjelaskan langsung kepadanya tentang kondisi Qinsi.
Setelah dilakukan observasi, Qinsi menunjukkan beberapa karakteristik seperti jarak kedua mata yang jauh, adanya punuk di leher, dan kepala yang datar di bagian belakang. Keesokan harinya, dokter mengunjungi Resti dan menyatakan adanya dugaan bahwa sang buah hati memiliki sindrom down.
Firasat Resti selama ini terjawab pasti setelah hasil uji kromosom menyatakan Qinsi memiliki jumlah kromosom 21 yang lebih, artinya ia memiliki sindrom down. Sindrom down sendiri adalah kondisi genetik yang terjadi karena adanya kelebihan pada jumlah kromosom 21. Ada tiga tipe sindrom down, yaitu trisomi 21, translokasi, dan mosaik.
Melansir alodokter.com, sindrom down jenis translokasi terjadi karena adanya penempelan kromosom 21 dengan kromosom lainnya, sedangkan mosaik disebabkan karena salinan ekstra dari kromosom 21 hanya menempel pada beberapa sel tubuh.
Qinsi adalah bayi yang memiliki sindrom down yang paling umum, yaitu trisomi 21 karena memiliki tiga kromosom nomor 21. Mendengar hal itu, pikiran Resti mulai kacau. Istilah sindrom down memenuhi kepala Resti, tetapi bukan untuk alasan yang baik.
“Kalau kita membuka Google dan mengetikkan kata down syndrome, pasti yang muncul itu sangat mengerikan, keterbelakangan mental, kemudian ketulian,” jelas Resti ketika diwawancarai pada Rabu (12/04/23).
Kendati demikian, Resti mengaku tidak kaget.
“Ketika (bayinya) dibalikkan ke saya itu setelah operasi sesar, sebenarnya saya sudah ada feeling,” ungkapnya.
Terlahir dengan sindrom down tidak menghambat Qinsi untuk tumbuh menjadi anak yang berempati tinggi dengan perasaan orang-orang di sekitarnya. Di mata Resti, Qinsi adalah anak yang mudah beradaptasi.
BERDAMAI DENGAN KEADAAN
Untuk berdamai dengan keadaan, jalannya tidak cepat dan mudah. Selama tiga bulan, Resti menghilang, seakan tertelan bumi.
Semua orang yang ingin menanyakan kabarnya, hanya bisa berkomunikasi lewat sang suami. Ia mematikan seluruh perangkat elektronik dan menghapus media sosial serta aplikasi untuk mengirim pesan seluler.
Resti yang tidak mau larut dalam kesedihan, ketakutan, dan kebingungan membulatkan tekad untuk mempelajari lebih dalam tentang kondisi kesehatan yang dimiliki anak pertamanya ini. Hari demi hari dilewati Resti dengan membaca berbagai buku, salah satunya adalah “Mengenal Sindrom Down” yang ditulis oleh Profesor. dr. Sultan Faradz, PhD.
Dengan banyak membaca, Resti mulai merasa lebih tenang karena mendapat konfirmasi atas kegelisahannya. Sindrom down sendiri merupakan kondisi yang terjadi secara acak. Walau ada beberapa hal yang dipercayai dapat meningkatkan risiko terjadinya sindrom down, belum ada konfirmasi atau kepastian terkait penyebabnya.
Sebagai seorang perempuan yang melahirkan pada usia 24 tahun, ia menjadi satu dari 1002 ibu hamil seusianya yang memiliki anak dengan sindrom down. Hatinya mulai tenang setelah mengetahui hal tersebut.
Kedamaian dalam diri Resti juga bertumbuh setelah bergabung dalam komunitas Persatuan Orang Tua Anak Dengan Down Syndrome (POTADS). Melalui komunitasnya, Resti dibanjiri dukungan, baik secara emosional maupun melalui pemberian edukasi.
Bersama POTADS, Resti menemukan keluarga baru yang saling menguatkan, sehingga mulai tumbuh rasa empati yang besar pada dirinya. Berkesempatan untuk bertemu dengan anak-anak yang berbeda dan melihat perjuangan setiap orang tua, membuat Resti melihat eksistensi Qinsi di dunia sebagai suatu berkah baginya.
Kehadiran Qinsi juga membawa kebahagiaan tersendiri bagi Resti sebagai seorang ibu. Resti merasa hidupnya menjadi lebih utuh dan lengkap bersama sang buah hati. Kini, hari-hari yang ia jalani terasa lebih bermanfaat.
“Kita tuh sudah banyak sekali yang diberikan, tapi kadang lupa untuk bersyukur,” jelasnya.
Meski masih berkarier, Resti selalu berada di sisi Qinsi setiap harinya. Ia bersyukur karena tempatnya bekerja memiliki rumah tamu sehingga ia bisa membawa Qinsi setiap kali harus datang ke kantor.
STIGMA JADI TANTANGAN TERBESAR
Walau menerima dukungan positif dari keluarga, rekan kerja, dan orang-orang terdekat, Resti yang merupakan seorang ibu dengan anak penyandang sindrom down tidak lepas dari pandangan negatif masyarakat.
Sindrom down masih sering disalahartikan sebagai penyakit keturunan dari orang tua. Tidak jarang, Resti menjadi sasaran empuk untuk komentar negatif yang seolah menyalahkan dirinya sebagai seorang ibu.
“Kok bisa sih?”
“Ini pasti karena dulu ibunya dulu waktu hamil lewat kuburan.”
“Dulu ibunya ikut pesugihan, makanya anaknya seperti itu.”
“Ibunya pasti saat hamil, makannya tidak benar.”
Anggapan bahwa penyandang sindrom down tidak memiliki kemampuan intelektual yang baik juga masih menjamur di masyarakat. Para penyandang sindrom down kerap diremehkan dan dibedakan, bahkan sebelum mereka diberi kesempatan.
“Tahu kan ya bu kalau anak down syndrome itu tidak pintar?”
“Tahu kan ya nanti disekolahkan pun itu juga cuman untuk kemandiriannya dia?”
“Nanti dia akan terlambat.”
Kalimat tersebut bahkan dilontarkan oleh seorang dokter ketika Resti berkonsultasi tentang tumbuh kembang sang buah hati. Mendengar hal itu, Resti tidak mampu membendung kesedihannya dan tidak kuasa menahan air mata.
Komentar-komentar demikian pernah menghantui pikiran Resti dan sempat membuatnya takut bahwa Qinsi akan tertinggal dan tidak bisa sama dengan anak-anak lainnya.
“Padahal ya memang setara itu tidak harus sama,” tegasnya.
Seolah belum cukup, anak-anak dengan sindrom down seringkali dianggap memiliki kekurangan dan tidak normal, sehingga masyarakat banyak yang menaruh belas kasihan pada mereka. Resti menganggap para penyandang sindrom down tidak perlu dikasihani sebab mereka adalah manusia normal yang tetap berkesempatan untuk hidup bahagia.
Sejak awal pun, Resti membiasakan sang buah hati untuk bersosialisasi dalam bentuk apapun. Upaya ini dilakukan untuk mempersiapkan Qinsi saat waktunya tiba untuk ia terjun ke masyarakat luas.
MENANGGAPI STIGMA
Sebagai manusia yang memiliki perasaan, tentu berbagai stigma yang diarahkan terhadap dirinya ataupun sang buah hati melukai hati Resti. Namun sekarang, ia tidak mau ambil pusing. Resti menganggap komentar negatif menjadi hal yang biasa, bagai angin lewat.
Namun, tidak berarti ia tinggal diam. Pada satu titik, ia ingin melakukan gebrakan agar mampu mendobrak stigma masyarakat tentang sindrom down. Melalui siaran langsung, Resti mengundang para orang tua dengan anak sindrom down yang berprestasi untuk saling berbagi.
Menjadi atlet internasional, mendapatkan diploma, dan membuat skripsi, itu semua bisa dilakukan seorang anak dengan sindrom down.
“Saya pengennya orang tua itu enggak terpuruk gitu, bukan akhir dari segalanya meskipun anak kita itu punya kelainan kromosom, banyak yang masih bisa diperjuangkan,” kata Resti.
Resti merasa setiap perjuangan dan perjalannya membesarkan Qinsi dengan observasi, kasih sayang, dan dukungan tidak sia-sia. Semua perjuangannya itu membuahkan hasil dan dampak yang besar bagi putrinya. Menyadari hal itu, Resti kini percaya diri untuk menjawab komentar negatif dengan tegas dan lugas.
Saat ini, Resti sudah jarang menerima cibiran dari orang-orang sekitar. Akun media sosialnya dipenuhi oleh dukungan positif. Meski begitu, Resti tidak akan lelah untuk terus melakukan sosialisasi dan mengunggah konten-konten edukatif untuk membantu para orang tua.
Akun @withloveqinsi awalnya menjadi media terapi yang membantu Resti mencapai ketenangan. Dengan kegemarannya menulis, perempuan 27 tahun ini rajin membuat konten tentang sindrom down yang menurutnya penting untuk dibagikan kepada para orang tua.
Mulai dari teks, video, dan foto, semua diunggah olehnya. Unggahannya tersebut pun membantu banyak orang tua yang selama ini masih dihantui rasa bersalah, ketakutan, dan belum berani angkat bicara mengenai kondisi anak-anak mereka.
Tidak hanya orang tua, Resti berharap masyarakat juga bisa mengenal lebih dalam tentang sindrom down, sehingga mampu menimbulkan rasa empati.
“Setelah kenal, pasti mereka enggak akan berpikiran misalnya menderita, aib, pemikiran-pemikiran yang buruk seperti itu pasti akan terpatahkan dengan sendirinya,” jelasnya.
Baca juga: Ilma Rivai: Orang dengan Disabilitas itu Berdaya dan Setara
Tentu, mengubah stigma yang telah tertanam di benak masyarakat bukanlah hal yang mudah. Resti tidak bisa berjalan sendiri. Akan tetapi, ia senang karena saat ini sudah mulai banyak orang tua yang terbuka untuk membagikan kisah mereka bersama anak-anak sindrom down dengan bangga dan percaya diri.
Penyandang sindrom down adalah manusia normal dengan jumlah kromosom yang berbeda, sehingga mereka menjalani keseharian dengan cara yang unik pula. Kendati demikian, perbedaan itu tidak menunjukkan bahwa para penyandang sindrom down lebih buruk daripada orang-orang pada umumnya.
Penulis: Cheryl Natalia
Editor: Michael Ludovico
Foto: Bryant Alexander Wijaya
Sumber: alodokter.com