SERPONG, ULTIMAGZ.com – Penyandang disabilitas merupakan kaum minoritas. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) 2020, hanya lima persen dari penduduk Indonesia yang menyandang disabilitas. Oleh karena lebih jarang dijumpai, penyandang disabilitas kerap kali dirasa ‘jauh’ dari kehidupan bermasyarakat, tidak begitu dikenali, dan mendapat diskriminasi.
Berdasarkan hasil survei ULTIMAGZ terhadap 65 mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (UMN), 83,1 persen responden sepakat bahwa diskriminasi terhadap disabilitas terjadi dalam aktivitas sosial masyarakat. Salah satu responden, Patricia Cuaca menyadari salah satu bentuk diskriminasi disabilitas dalam lingkup sosial adalah pengucilan penyandang disabilitas saat sedang berdiskusi dengan para nondisabilitas.
Baca juga: Ilma Rivai: Orang dengan Disabilitas itu Berdaya dan Setara
“Kalau ada group discussion, kita tuh kayak secara sengaja gak sengaja mengucilkan dia (penyandang disabilitas), kita gak melibatkan dia (penyandang disabilitas) dalam pembicaraan kita. Seakan-akan opininya (penyandang disabilitas) tidak dapat berkontribusi sama pembicaraan yang kita lakukan,” ujar Patricia, mahasiswa Komunikasi Strategis 2022 kepada ULTIMAGZ pada Minggu (09/04/23).
“Kita tuh merasa lebih superior kadang karena kita mungkin lebih sehat daripada mereka. Padahal, kita semua memiliki kemampuan untuk berkarya dengan cara masing-masing,” lanjutnya.
Rasa Superior Ableisme
Konselor Student Support UMN Sheila Putri Fajrianti menjelaskan bahwa disabilitas sendiri merupakan keterbatasan kondisi fisik, sensorik atau penginderaan, pikiran, mental, maupun emosional yang dimiliki seseorang.
Keterbatasan suatu kondisi membuat seorang penyandang disabilitas tidak berinteraksi atau melakukan suatu kegiatan tertentu seperti orang kebanyakan. Hal ini kerap membuat nondisabilitas percaya dirinya lebih superior dibanding penyandang disabilitas.Kepercayaan tersebut dikenal dengan ableisme.
“Memandang sebelah mata, memandang lebih rendah karena kita tidak punya disabilitas. Akarnya (ableisme) adalah bahwa individu dengan disabilitas itu kurang dari kita,” ujar Sheila kepada ULTIMAGZ saat wawancara daring pada Selasa (11/04/23).
Ableisme yang mengucilkan penyandang disabilitas tidak hanya terjadi dalam interaksi sosial yang menganggapnya tidak berdaya, tetapi juga aspek lainnya seperti karier. Entah itu, menolak pekerja disabilitas dan tidak memberikan layanan serta ruang aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Hal ini masih menjadi permasalahan nyata di ruang lingkup Tanah Air.
Berdasarkan data BPS, jumlah pekerja formal dengan disabilitas mengalami penurunan dalam waktu satu tahun, yaitu dari 7,67 juta orang (5,9 persen) dari total penduduk yang bekerja pada 2020 menjadi 7,04 juta orang (5,37 persen) pada 2021.
Pasalnya, ableisme dalam karier, pendidikan, maupun aspek lainnya telah membatasi kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk menggali potensi yang ada pada diri mereka. Orang-orang mendefinisikan mereka berdasarkan disabilitasnya.
“Padahal, ‘kan banyak (aspek) yang mendefinisikan individu, gak hanya disabilitas. Disability doesn’t define who you are. Disabilitas bukan satu-satunya aspek yang mendefinisikan siapa diri kamu,” imbuh Sheila.
Kesadaran Akan Ragam Disabilitas
Diskriminasi ableisme dapat terjadi kepada ragam penyandang disabilitas apa pun dalam bentuk yang berbeda. Ada pun berdasarkan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, terdapat empat ragam disabilitas, yaitu fisik, sensorik, intelektual, dan emosi.
Sheila menjelaskan bahwa keempat bentuk disabilitas tersebut sangatlah berbeda-beda. Pertama-tama, disabilitas fisik yaitu disabilitas yang paling mudah dilihat dan paling mudah dikenali. Misalnya, anggota tubuh yang tidak lengkap.
Kedua, disabilitas sensorik yaitu disabilitas yang merujuk pada penginderaan. Terdapat anggota panca indera yang tidak berfungsi sesuai individu pada umumnya, seperti tuna rungu, tuna wicara, dan tuna netra.
Ketiga, terdapat disabilitas intelektual, yaitu disabilitas dari kapasitas kecerdasan atau kemampuan seseorang dalam menangkap dan mengelola informasi untuk memecahkan masalah, bekerja, belajar, serta aktivitas lain. Kendalanya berada di kapasitas intelektualnya yang ada di bawah rata-rata individu seusianya. Contohnya, down syndrome.
Keempat, disabilitas emosi yaitu kendala individu untuk mengatur atau mengelola emosinya yang mungkin bisa berdampak pada perilakunya, seperti bipolar, depresi, dan gangguan kecemasan.
Keempat ragam disabilitas tersebut ada yang bisa secara langsung terlihat dan ada pula yang butuh waktu lebih lama untuk orang-orang dapat menyadarinya. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan bentuk diskriminasi pada masing-masing ragam disabilitas.
Disabilitas yang bisa langsung terlihat seperti disabilitas fisik dan sensorik. Berdasarkan pengamatan Sheila, penyandang disabilitas yang bisa langsung terlihat ini akan lebih cepat menerima diskriminasi.
“Diskriminasi yang diterima individu penyandang disabilitas fisik lebih cepat diperolehnya karena dari ngeliat saja sudah kelihatan. Biasanya, akan langsung dipandang bahwa dia gak akan bisa melakukan aktivitas yang sama dengan kita,” jelas Sheila.
Berbeda dengan disabilitas yang tidak kasat mata seperti disabilitas emosi. Secara fisik, seseorang tampak baik-baik saja, tetapi dari segi emosi atau intelektual tidak bisa secara langsung terlihat.
Diskriminasi yang diterima oleh penyandang disabilitas ini biasanya bukan diskriminasi secara langsung, melainkan lebih mengarah pada keraguan karena stereotip yang ada.
Sebagai contoh, Sheila mengatakan bahwa seseorang yang mengalami gangguan kecemasan kerap menerima ucapan, “Kenapa sih, cemas saja sampai seperti itu, gue cemas perasaan bisa-bisa saja”.
Keberadaan stereotip tersebut juga menunjukkan masih kurangnya kesadaran dan pengertian masyarakat mengenai kesehatan mental yang dapat menjadi disabilitas. Ada pun miskonsepsi stres sebagai disabilitas.
Berdasarkan hasil survei ULTIMAGZ sebelumnya, 78,5 persen mahasiswa UMN beranggapan bahwa stres termasuk dalam disabilitas emosi. Hal ini sebenarnya kurang tepat karena stres adalah kondisi yang semua orang pasti alami.
“Stres itu kondisi yang umum dialami, tetapi tidak semua orang punya diagnosa depresi, bipolar,” ujar Sheila.
Begitu juga dengan keadaan disabilitas lainnya seperti menstruasi, kehamilan, dan lansia yang masih belum disadari.
Berdasarkan hasil survei ULTIMAGZ sebelumnya, hanya 7,7 persen responden yang menyebut menstruasi sebagai kondisi disabilitas. Kesadaran akan kehamilan (10,8 persen) dan lansia (15,4 persen) sebagai disabilitas pun masih minim.
Baca juga: Nuraga 2021: Rendahnya Akses Disabilitas
Padahal, menstruasi, kehamilan, dan lansia turut menjadi bagian dari disabilitas. Ketiga kondisi tersebut menyebabkan adanya penurunan mobilitas dan daya tahan tubuh yang membuat seseorang terbatas dalam berkegiatan secara normal.
Maka dari itu, disabilitas adalah risiko yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Semua orang bisa menjadi disabilitas dengan mengalami masa lansia, kehamilan, menstruasi, kehilangan anggota tubuh akibat kecelakaan, hingga masalah yang mengakibatkan trauma. Dengan begitu, penting untuk membangun ruang lingkup sosial yang menghargai dan tidak mengucilkan penyandang disabilitas.
Penulis: Jessie Valencia Tannuwijaya
Editor: Vellanda
Foto: Muhammad Daffa Abyan
Sumber: bps.go.id