SERPONG, ULTIMAGZ.com — ULTIMAGZ bersama dengan tim #SaatnyaBicara mengadakan forum diskusi mengenai kekerasan seksual di lingkungan kampus Universitas Multimedia Nusantara (UMN) pada Rabu (07/07/21). Forum ini bertujuan untuk memberi ruang aspirasi bagi seluruh sivitias akademika UMN.
Setelah berdiskusi selama kurang lebih satu setengah jam, ULTIMAGZ berhasil menampung beberapa saran dari mahasiswa.
1). Kampus perlu membuat pernyataan yang memihak korban
Hingga artikel ini ditulis, belum ada pernyataan resmi dari pihak UMN mengenai tindakan kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Namun, tim #SaatnyaBicara sudah berdiskusi dengan rektorat hingga akhirnya pihak kampus menyetujui 11 poin komitmen terkait penanganan kekerasan seksual di UMN. Meskipun demikian, UMN tetap perlu menyatakan posisi dan keberpihakan.
“Seharusnya dari UMN sendiri mengeluarkan beberapa patah kata mengenai peristiwa ini, tapi kalau misalnya kita lihat sendiri dari media sosialnya—kalau saya salah mohon dikoreksi, ya—UMN belum mengeluarkan apa pun mengenai masalah ini,” ungkap Jovan dari angkatan 2019.
Tanpa adanya ucapan yang jelas dari pihak berwenang kampus, Jovan pun menyebutkan bahwa teman-temannya juga ikut mempertanyakan apakah kampus benar-benar sedang mengurus kasus ini.
“UMN memang sudah mengeluarkan 11 komitmen, namun yang ingin kami dengar adalah pernyataan yang disampaikan oleh UMN secara pribadi,” tambahnya melalui DM Instagram.
2). Sikap yang benar-benar tegas
Dalam Buku Panduan Mahasiswa, disebutkan bahwa sanksi tindakan pelecehan akan mendapat sanksi secara bertahap, mulai dari surat peringatan 2 dan skors selama 2 minggu untuk pelanggaran pertama, surat peringatan 3 dan skors selama 1 semester untuk pelanggaran kedua, hingga pencabutan atau pemberhentian status mahasiswa untuk pelanggaran ketiga.
“Di dalam buku peraturan UMN yang membahas mengenai sanksi, disebutkan bahwa terdapat skors pertama, skors kedua. Menurut gue, aturan tersebut tidak efektif, lebih baik diperbaiki,” ujar Frizki Alfian, salah satu peserta Forum Diskusi.
Sanksi ini dilihat berdasarkan ‘berapa kali’ pelecehan tersebut dilakukan. Padahal, pelecehan seksual merupakan pelanggaran berat yang dapat mengakibatkan banyak dampak buruk kepada korban, seperti adanya ancaman dari pelaku, trauma berat, depresi, bahkan bunuh diri.
Bagi pelaku, sanksi semacam surat peringatan dan skors dapat dianggap sebagai sesuatu yang mudah, sedangkan bagi korban, ketika pelaku sudah kembali ke dalam lingkungan kampus, korban dapat memiliki trauma atau lebih parahnya, mengalami kembali pelecehan secara berulang.
“Mengapa pelanggaran berat harus dilihat dari berapa kali dia melakukan [pelecehan]. Kalau misalkan diskors selama 2 minggu, 1 semester, pelaku dapat menganggap hal itu sebagai sesuatu yang mudah. Namun, dari sisi korban, kalau pelaku sudah kembali kuliah lagi, korban akan mendapat trauma yang sama lagi. Untuk menghadapi masalah ini, kampus perlu bersikap yang benar-benar tegas, singkatnya, langsung dikeluarkan atau ditangani ke jalur hukum,” lanjut Frizki.
Perlu ditekankan bahwa sanksi yang ‘tanggung’ dapat berpotensi mengulang kejadian serupa. Oleh karenanya, kampus perlu sikap yang benar-benar tegas dalam menghadapi kasus pelecehan dan melihatnya sebagai pelanggaran berat. Kontribusi kampus dalam membuat peraturan yang tepat sangatlah krusial dalam menciptakan ruang aman bagi mahasiswa.
3). Edukasi sebagai langkah utama
Kampus seringkali mengadakan acara-acara besar yang wajib dihadiri oleh seluruh mahasiswa, seperti Orientasi Mahasiswa Baru (OMB) dan Mentoring. Kegiatan seperti ini dapat dijadikan sarana yang baik untuk mengedukasi mahasiswa. Terutama, mengingat poin kesebelas yang disampaikan dalam 11 komitmen pihak kampus berisi “Memberikan edukasi terkait kekerasan seksual kepada semua sivitas akademika UMN”.
Baca juga: Kekerasan Seksual: Dosa Perguruan Tinggi
“Gue baca di 11 komitmen tadi, ada soal edukasi ya. Mungkin boleh dispesifikin lagi, gue menyarankan untuk kampus memberikan edukasi di event-event khusus seperti OMB, terutama dalam bidang seminar wajib,” ucap Frizki Alfian.
Di tahun-tahun sebelumnya, berbagai kegiatan besar di kampus akan memberikan seminar wajib bagi para peserta. Akan tetapi, topik yang diangkat hampir selalu sama di setiap tahunnya, seperti topik seputar pancasila, narkoba, korupsi, dan bela negara. Tidak dapat dipungkiri kepentingan topik tersebut untuk kehidupan mahasiswa, tetapi, akan sangat bijak bila membicarakan masalah yang bukan hanya penting, melainkan juga genting.
“Gue merasa bahwa topik yang dibawakan dalam seminar selalu seputar pancasila, bela negara, dan sebagainya. Menurut gue, seminar hanya berputar di topik itu-itu saja, padahal masalah yang ada bukan hanya seputar kewarganegaraan saja, ya memang soal itu juga penting, tapi masih banyak hal yang juga penting, tetapi belum tersentuh,” lanjut Frizki.
Edukasi melalui OMB dapat menjadi gerbang pertama untuk membuka jalan menuju kampus yang menjadi ruang aman bagi seluruh civitas akademikanya. Dengan cara ini juga, kampus dapat membuktikan keseriusannya dalam memberikan edukasi secara menyeluruh.
“Seorang maba yang diberikan pengertian sejak awal dapat menjadi langkah pertama untuk memulai edukasi di kampus mengenai kasus pelecehan dan kekerasan seksual,” tutup Frizki.
Tidak boleh dilupakan, kampus memang pernah mengadakan seminar mengenai kekerasan seksual beberapa kali, bukan hanya sekali-dua kali. Namun, tidak dapat dipungkiri gelombang yang dapat menciptakan sebuah kesadaran dan ruang aman tidak akan sebesar jika edukasi mengenai pelecehan dan kekerasan seksual dilakukan pada kegiatan-kegiatan wajib bagi seluruh civitas akademika kampus.
“Memang sudah ada seminar-seminar tentang pendidikan seksual, tetapi awareness yang didapat tidak akan sebesar jika diselipkan di dalam kegiatan-kegiatan wajib seperti mentoring, OMB, atau juga lewat campaign-campaign di media sosial,” ujar Agatha Lintang dalam Forum Diskusi ULTIMAGZ.
4). Lembaga kampus yang ‘tersembunyi’ dari mahasiswa
Student Support adalah lembaga yang seharusnya menjadi tempat aman untuk mahasiswa berkonsultasi. Namun, keberadaan Student Support seakan tersembunyi dari mahasiswa. Akses untuk konsultasi tidak banyak diketahui dan harus melewati beberapa prosedur yang cukup panjang. Student Support bagaikan lembaga eksklusif yang hanya diketahui segelintir mahasiswa. Akibatnya mahasiswa harus mengeluarkan uang lebih untuk berkonsultasi ke psikolog luar. Padahal, layanan konseling dengan psikolog bisa dijangkau tanpa biaya dari kampus.
“Misalnya kita lagi down banget, kita kan cuma bisa beku, kan. Gue mau ke student support, tuh, lewat mana? Gue nyari di Instagram gitu gak ada atau nyari di [platform] UMN gitu susah untuk nge-reach student support,” ucap Syifa Mutia.
Alangkah baiknya jika Student Support lebih menyosialisasikan layanannya ke mahasiswa di acara besar seperti OMB agar keberadaan lembaga ini nyata terasa. Selain itu, Student Support juga bisa menjadi tempat aman bagi mahasiswa untuk menyembuhkan trauma dan menjadi tempat perlindungan pertama bagi korban kekerasan seksual di kampus.
“Perlindungan untuk para korban itu perlu banget, sih. Misalnya mereka speak up dan ada intervensi dari banyak pihak, misalkan dari pelaku itu sendiri, itu kan bahaya banget, ya. Itu adalah salah satu faktor yang bikin mereka [korban] gak mau speak up,” saran Calista Millenia.
Dari beberapa saran yang diterima ULTIMAGZ dalam forum diskusi, dapat disimpulkan kampus belum berhasil menciptakan ruang aman bagi mahasiswa dari kekerasan seksual yang terjadi.
Baca juga: Kekerasan Seksual di UMN: Tak Ada Laporan, Bukan Berarti Tak Ada Kejadian
UMN sampai saat ini belum memberikan pernyataan resmi menyikapi kasus kekerasan seksual yang ada. Meskipun sudah memiliki panduan yang cukup mumpuni dalam Buku Panduan Mahasiswa, sanksi yang diberikan kepada pelaku tidak efektif. Sistem yang ada untuk menghukum pelaku dan melindungi korban pun tidak jelas keberadaannya. Maka dari itu, 11 komitmen kampus benar-benar harus segera diwujudkan untuk menghilangkan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Penulis: Nadia Indrawinata, Keisya Librani, Jessica Elisabeth
Editor: Andi Annisa Ivana P.
Foto: Veronica Novaria