SERPONG, ULTIMAGZ.com — Tindak pelecehan seksual kerap kali baru digubris ketika seorang perempuan diperkosa, padahal perkosaan hanya salah dari bentuk kekerasan seksual. Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2021 melampirkan hanya 229 kasus perkosaan di ranah publik yang tercatat dari 8.234 kasus kekerasan terhadap perempuan
Perkosaan didefinisikan Komnas Perempuan dalam Booklet 15 Bentuk Kekerasan Seksual sebagai serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis ke arah vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya. Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan.
Isu kekerasan seksual kerap kali lalu lalang di publik. Baru-baru ini sebuah artikel yang digarap oleh Charlenne Kayla Roeslie, Xena Olivia, Gracia Yolanda Putri, dan Aaron Patrick dengan judul “Kekerasan Seksual di UMN: Tak Ada Laporan, Bukan Berarti Tak Ada Kejadian” membongkar kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus Universitas Multimedia Nusantara (UMN).
Dalam artikel yang digarap Charlenne dan kawan-kawan, Sandra dan Dea tidak sadar bahwa apa yang mereka alami merupakan bentuk kekerasan seksual. Pun pengetahuan awam mengenai kekerasan seksual hanya sebatas perkosaan. Padahal masih banyak tindakan yang dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan seksual.
Baca juga: Kekerasan Seksual di UMN: Tak Ada Laporan, Bukan Berarti Tak Ada Kejadian
Yayasan Pulih mendefinisikan kekerasan seksual sebagai setiap tindakan baik berupa ucapan ataupun perbuatan yang dilakukan seseorang untuk menguasai atau memanipulasi orang lain serta membuatnya terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak dikehendaki.
Komnas perempuan membagi 15 tindakan yang termasuk ke dalam bentuk kekerasan seksual dalam bookletnya, yaitu:
- perkosaan;
- intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan;
- pelecehan seksual (termasuk sentuhan fisik, siulan, main mata, gerak tubuh, dan isyarat bernuansa seksual);
- eksploitasi seksual;
- perdagangan perempuan untuk tujuan seksual;
- prostitusi paksa;
- perbudakan seksual;
- pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung;
- pemaksaan kehamilan;
- pemaksaan aborsi;
- pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi;
- penyiksaan seksual;
- penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual;
- praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan dan mendiskriminasi perempuan;
- kontrol seksual termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Kelima belas daftar ini terkumpul berdasarkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima Kompas Perempuan selama lima belas tahun (1998-2013). Dalam booklet, Komnas Perempuan juga menegaskan bahwa lima belas daftar ini bukanlah daftar final. Masih banyak bentuk kekerasan terhadap perempuan yang masih belum teridentifikasi karena keterbatasan informasi.
Aturan Apik, tapi Tidak Kunjung Naik
Pedoman hukum yang mengatur tentang kekerasan seksual di Indonesia terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 285, 286, 287, 290, dan 291. Lalu beberapa undang-undang di bawah ini juga mengatur tindak kekerasan seksual untuk berbagai situasi:
- UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Pasal 8, 47, 48 menjelaskan kekerasan seksual dalam rumah tangga adalah pemaksaan hubungan seksual dengan orang dalam lingkup rumah tangga tersebut;
- UU No 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 1 (3,7) melindungi eksploitasi seksual, pelacuran, pemanfaatan seksual, dan organ reproduksi;
- UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1, 17, 59 dan 66, 69, 78, dan 88 menyatakan bahwa anak yang pernah menerima kekerasan seksual harus dilindungi secara khusus.
Namun, dalam instrumen hukum yang sudah ada, belum ada pernyataan spesifik yang mendefinisikan apa itu kekerasan seksual dan jenis-jenisnya. KUHP membaginya sebagai perkosaan, bersetubuh dengan wanita diluar pernikahan, dan perbuatan cabul. Padahal Komnas Perempuan membaginya lima kali lipat lebih banyak.
Lima tahun lalu, pada 2016, harapan untuk menindak tegas kekerasan seksual muncul dengan diusulkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Definisi kekerasan seksual dan berbagai tindakan yang termasuk dalamnya terpapar jelas pada RUU PKS. Kekerasan seksual didefinisikan dalam RUU PKS pasal 1 ayat 1 sebagai,
“Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”
Jauh lebih baik dari KUHP, RUU PKS pasal 11 ayat 2 membagi tindakan kekerasan seksual menjadi 9 macam, yaitu:
- pelecehan seksual;
- eksploitasi seksual;
- pemaksaan kontrasepsi;
- pemaksaan aborsi;
- perkosaan;
- pemaksaan perkawinan;
- pemaksaan pelacuran;
- perbudakan seksual; dan/atau
- penyiksaan seksual.
Sayangnya sampai sekarang belum ada kejelasan mengenai kapan DPR akan mengesahkan RUU PKS ini. Komnas Perempuan sejak tahun 2014 menyatakan bahwa Indonesia sudah darurat kekerasan seksual. Namun, aturan yang akan sangat membantu menegakkannya malah ditarik ulur. Sampai kapanpun, urgensi untuk secepatnya mengesahkan RUU PKS akan tetap sama. Predator ada dimana-mana dan tidak hanya perempuan saja yang menjadi korbannya.
Cegah Pelaku dan Lindungi Korban
CATAHU Komnas Perempuan 2021 mencatat sebagian besar kasus kekerasan terhadap perempuan berasal dari kekerasan terhadap istri, kekerasan dalam pacaran, dan kekerasan terhadap anak perempuan, yaitu sebanyak 6.480 kasus.
Pelaku kekerasan seksual biasanya tidak jauh dari orang-orang yang dikenal korban, mulai dari teman sebaya, anggota keluarga, rekan kerja, dosen, bahkan pasangan. Tanda jika seorang pernah mengalami kekerasan seksual yang perlu pertolongan adalah tanda depresi, seperti selalu terlihat murung, menarik diri dari aktivitas normal, perubahan pola makan dan tidur, tindakan yang menyakiti diri sendiri, dan berpikir atau bertindak untuk bunuh diri.
Selain itu, penyintas kekerasan seksual juga cenderung menghindari tempat atau situasi yang dulunya biasa saja serta mempunyai ketakutan atau kecemasan berlebih pada situasi tersebut. Jika ada seorang yang Ultimates kenal bisa jadi mengalami kekerasan seksual, jangan ragu untuk coba merangkul orang tersebut. Penyintas pantas untuk didukung dan dilindungi.
Jika Ultimates pernah mengalami salah satu dari bentuk kekerasan seksual tersebut di lingkungan kampus atau di mana pun, jangan ragu untuk bercerita dan melaporkan melalui kontak berikut.
Tim #SaatnyaBicara (khusus civitas akademika UMN)
Formulir pelaporan: s.id/SaatnyaBicaraUMN
Komnas Perempuan
Telepon: (021) 390 3963
Surel: mail@komnasperempuan.go.id
LBH APIK Jakarta
Hotline (WA): 0813–8882–2669
Telepon: (021) 87797289
Surel: pengaduanlbhapik@gmail.com / lbh.apik@gmail.com
Yayasan Pulih
Telepon: (021) 78842580
Pendaftaran konseling (WA): 0811–8436–633
Yayasan Lentera Sintas Indonesia
Twitter: @LenteraID
Instagram: @lentera_id
HopeHelps Network
Twitter: @HopeHelpsNet
Instagram: @hopehelpsnet
Penulis: Jessica Elisabeth Gunawan
Editor: Maria Helen Oktavia, Andi Annisa, Xena Olivia
Foto: freepik.com
Sumber: CATAHU Komnas Perempuan 2021, KUHP, Draft RUU PKS, kompas.com, rainn.org