SERPONG, ULTIMAGZ.com – Sutradara Hanung Bramantyo membagikan kisah perjalanan kariernya kepada mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dalam gelaran IMAGO 2019. Kisah ini berawal dari keputusannya banting setir dari Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia ke Akademi Sinematografi Institut Kesenian Jakarta (IKJ), bertemu Teguh Karya, dan menyutradai film di televisi swasta RCTI sebagai mahasiswa semester dua.
“Awalnya, menurut saya itu [film] adalah produk pop art dan kapitalis, produk yang ujungnya dikapitalisasi. Jadi saya enggak suka,” kata Hanung di Lecture Theatre, Gedung D UMN, Selasa (10/09/19). Sutradara Bumi Manusia itu mencontohkan, tatanan lokasi syuting televisi begitu detail. Sementara itu, lensa hanya mempedulikan close up shoot dan menyelesaikan proses produksi begitu saja.
“Lensa ini sifatnya otoriter sekali, jadi kamu mau menata [lokasi syuting] 180 derajat, lalu gue mau close up shoot ini saja, lalu kamu mau apa?” lanjut Hanung yang merasa produksi film sangat berlawanan dengan seni teater pada waktu itu.
Namun, pemahamannya mengenai film berubah setelah menemui Sutradara Film Legendaris Indonesia Teguh Karya. Waktu itu, Hanung menjadi sutradara magang dan mengamati bagaimana Teguh memproduksi film televisi. Awalnya, Hanung sangat kesal. Ternyata, Teguh tidak mempunyai naskah skenario, bahkan tidak memberi tahu dialog apa pun kepada para aktor yang telah bersiap-siap di lapangan.
Ketika Teguh keluar dari rumah sekaligus lokasi syutingnya pukul delapan pagi, sutradara legendaris tersebut langsung mengatur semua dialog dan posisi kru produksi bagaikan melukis. Sejak itu, Hanung jatuh cinta dengan film.
“Ini ada orang [Teguh] yang memperlakukan akting seperti melukis,” lanjut mantan mahasiswa jurusan ekonomi tersebut.
Setelah itu, Hanung bersikeras menawarkan diri sebagai asisten Teguh, bahkan sebagai pembantu rumah tangga. Namun, Teguh menolak. Menurut Teguh, Hanung harus sekolah terlebih dahulu. Oleh karena itu, Hanung melanjutkan pendidikan sebagai mahasiswa Akademi Sinematografi di IKJ.
Lulusan IKJ tersebut mengakui, ia tidak betah dengan kelas teori pada semester awal perkuliahan. Bahkan, ia bersikeras untuk menjadi sutradara film RCTI walaupun dosennya hanya menawarkan posisi asisten sutradara. Alhasil, dosennya mengalah dan RCTI memperbolehkan Hanung menjadi sutradara dengan satu syarat: Hanung harus diawasi oleh seorang supervisor. Waktu itu, Hanung masih seorang mahasiswa semester dua.
Hanung menceritakan, ia sering dilempari pertanyaan terkait angkatan dan umur saat proses produksi film. Namun, ia mengaku hanya membalas, “Lu mau rating tinggi, enggak?”
“Akhirnya film itu jadi, rating-nya enggak jelek-jelek banget, dan dapat penghargaan bronze saat International Film Festival. Baru setelah ini saya banyak dilirik,” kata Hanung.
Hanung berpesan, proses produksi film ibarat berpacaran. Sutradara harus menemukan produser, penulis skenario, dan editor yang satu visi. Artinya, selama masih satu visi, perdebatan dan perkelahian masih tidak apa-apa. Namun begitu produksi mulai melangkahi prinsip, itu adalah saatnya “putus” dari proses berpacaran tersebut.
“Jawaban saya sesimpel itu, seperti kalian pacaran,” jawab Hanung.
Penulis: Ignatius Raditya Nugraha
Editor: Geofanni Nerissa Arviana
Foto: Anisa Arifah