SERPONG, ULTIMAGZ.com – Setahun menjabat, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (BEM UMN) generasi ke-10 dinilai masih belum berhasil menyosialisasikan lingkup tugas dan peranannya kepada civitas akademika UMN. Akibatnya, banyak mahasiswa yang belum bisa membedakan peran BEM dan DKBM sebagai penyampai aspirasi.
Berdasarkan survei yang disebarkan oleh ULTIMAGZ secara daring sejak 23 November sampai 1 Desember 2020, sebagian besar mahasiswa merasa cukup mengetahui kegiatan dan program kerja BEM. Dari 81 responden, hanya 9,9% yang menjawab kurang tahu dan 3,7% yang menjawab sangat kurang tahu.
Dari seluruh program unggulan BEM generasi ke-10 yang telah terlaksana, UMN Festival (U-Fest) dinilai sebagai program yang paling kurang diketahui oleh mahasiswa. Hanya 66,7% dari total responden yang mengetahui kegiatan U-Fest yang kini berganti format menjadi ajang pertandingan e-sports karena pandemi. Meski kurang diketahui oleh mahasiswa, Ketua BEM Gen X Kemal Roushdy Jenie mengatakan bahwa perlombaan e-sport yang diselenggarakan UMN Festival dapat dibilang sukses karena berhasil menghimpun puluhan tim untuk ikut serta.
“Mereka dapat pendaftar 60-an tim, satu tim berisi empat orang. Jadi, ya, 60 kali empat, 240 orang, cukup banyak, sih,” tutur Kemal.
ULTIMAGZ memberikan kesempatan bagi para mahasiswa untuk memberikan evaluasi terhadap program kerja unggulan BEM Gen X dalam bentuk pertanyaan terbuka. Responden survei menekankan pada kurangnya publikasi kegiatan selama pandemi, perlunya inovasi program kerja baru, dan kurangnya kemampuan BEM dalam merangkul mahasiswa. Beberapa responden pun mempertanyakan peran BEM dalam program kerja-program kerja tersebut.
“Pilihan program kerja di atas sebenarnya tidak terlihat seperti proker BEM karena acara-acara tersebut berjalan sendiri dan bekerja sendiri. Kalau dari pandangan seorang mahasiswa biasa, ya, tidak terlihat kerja BEM di kegiatan itu apa,” tulis salah satu responden.
Kurangnya sosialisasi dinilai menjadi alasan ketidaktahuan mahasiswa akan peran dan lingkup tugas BEM sebagai organisator mahasiswa UMN. BEM dianggap kurang maksimal dalam menyosialiasikan program kerja dan dipertanyakan perannya sebagai wakil mahasiswa di kampus.
Adeline Frederica S., mahasiswi Jurnalistik angkatan 2019, mengungkapkan bahwa sosialisasi yang dilakukan BEM untuk kegiatannya kurang dan tidak ambil andil dalam memeriahkan kegiatan mahasiswa.
“Cara sosialisasi yang baik dilakukan berulang kali agar mahasiswa dapat tahu dan ingat. Karena saya selama 3 semester kuliah di UMN saya hanya tahu kegiatan BEM hanya OMB, MAXIMA, Starlight, dan Mr Ms UMN,” tutur Adeline saat dihubungi pada Selasa (01/12).
Dirinya menambahkan bahwa ia merasa kurang mendapatkan sosialisasi karena Adeline baru mengetahui bahwa Bank Sampah dan U-Fest merupakan acara dari BEM setelah mengikuti kegiatan mentoring dan informasi dari teman.
Adeline juga menyayangkan kontribusi BEM dengan acara mahasiswa hanya sekadar kehadiran dari perwakilan dan ia merasa BEM kurang meramaikan acara mahasiswa. Menurutnya, kontribusi BEM tidak perlu ada anggota BEM yang menjadi panitia acara, tetapi BEM ikut meramaikan kegiatan yang ada.
“Mungkin ini adalah hal yang kecil bagi sebagian orang, tetapi dengan keberadaan BEM dan teman teman yang mau memeriahkan suatu acara itu adalah sebuah kehormatan tersendiri,” ucap Adeline.
Tindakan nyata kontribusi yang bisa dilakukan menurut Adeline adalah dengan ikut mempromosikan acara mahasiswa yang sedang berlangsung. Jika ada sebagian anggota BEM yang ikut pakai twibbon, promosi di sosial media dan mengajak teman teman lainnya untuk memeriahkan bisa memberikan dampak bagi mahasiswa, khususnya yang menjadi bagian dari acara tersebut.
Wakil Mahasiswa, Penyampai Aspirasi
Selain program kerja, ULTIMAGZ juga bertanya kepada mahasiswa mengenai peran BEM sebagai penyampai aspirasi mahasiswa. Berdasarkan data yang diperoleh, terdapat dua pola berulang yang cukup merepresentasikan pendapat mahasiswa terkait peran BEM sebagai penyampai aspirasi. Pertama, mahasiswa merasa tidak memiliki keperluan untuk menyampaikan aspirasi atau belum sempat menyampaikan aspirasinya kepada BEM. Kedua, mahasiswa kurang mengetahui dan tidak mengerti prosedur penyampaian aspirasi melalui BEM.
Dari 81 responden, hanya 5 responden yang menyatakan pernah menyampaikan aspirasi melalui BEM. Namun, setelah ditelusuri, hanya 3 dari 5 responden tersebut yang menyebutkan apa aspirasi yang pernah mereka sampaikan. Seorang responden mengatakan bahwa ia menyampaikan aspirasi terkait ketiadaan tisu toilet di kamar mandi perempuan, sedangkan dua lainnya menyampaikan aspirasi mengenai demo mahasiswa serta peranan BEM dalam mewadahi aspirasi mahasiswa terkait isu publik.
Adeline juga ingin mengingatkan bahwa BEM merupakan representasi mahasiswa, dimana seharusnya BEM tidak hanya menjalankan aktivitas tahunan. BEM perlu mengetahui yang sedang terjadi di mahasiswa dan mengikuti perkembangannya.
“Memang, untuk menyampaikan aspirasi mahasiswa lebih diarahkan ke DKBM, tetapi bagaimana dengan mahasiswa baru yang hanya tahu BEM dan masih asing dengan adanya DKBM serta himpunan,” kata Adeline.
Adeline memberikan kejadian awal pandemi sebagai contohnya, ketika mahasiswa mempertanyakan keuangan perkuliahan yang dibayarkan tetap tanpa ada pengurangan sama sekali, padahal mahasiswa belajar dari rumah. Saat itu Adeline tidak terlalu mendalami masalah yang terjadi, tetapi dirinya melihat kurangnya tanggapan dari BEM mengenai hal tersebut dan hanya melihat tanggapan dari DKBM.
Adeline juga memahami bahwa DKBM yang berwenang untuk menampung aspirasi mahasiswa, tetapi setidaknya BEM juga ikut memberikan usulan dan saran yang baik bersama dengan DKBM
Mahasiswa pun sempat mempertanyakan posisi BEM UMN mengenai sikap terhadap keadaan politik Indonesia. Salah satunya Valensia Sugiarto mahasiswa yang menanyakan peran BEM dalam dunia politik.
“Waktu pergantian bem tahun lalu dan masalah RUU PKS kalau enggak salah saya pernah mempertanyakan dan sampaikan kenapa sebagai BEM tidak mewadahi mahasiswa untuk meminta keadilan hukum di depan negara,” tutur Valensia pada 1 Desember 2020.
Dirinya merasa beberapa kegiatan mahasiswa seperti dalam dunia politik dengan isu yang memang perlu dikaji dan dilontarkan kepada pemerintah oleh mahasiswa. Valensia merasa peran BEM dalam politik masih nol dan ia menyarankan BEM kaji ulang AD/ART.
Valensia menambahkan seharusnya BEM menjadi kaki dan pijakan yang kuat bagi mahasiswa, apalagi sebagai wakil mahasiswa sekampus di hadapan publik eksternal ataupun internal.
“Nah, di sini seharusnya BEM itu bisa berjalan sendiri menentukan arah dan tujuannya, bukan jadi budak rektorat yang mengiyakan segala hal dari atasan. Balik lagi, sih, BEM ada dibentuk di Indonesia dari awal buat apa, itu mungkin yang perlu BEM pikirkan ulang,” tutup Valensia.
Penulis: Charlenne Kayla Roeslie, Theresia Amadea
Foto: Titus Chrisna, Androw Parama M.
Editor: Agatha Lintang