SERPONG, ULTIMAGZ.com — Isu kekerasan seksual kini menjadi perhatian publik dalam beberapa dekade terakhir dan menjadi salah satu bentuk tindakan yang angka kejadiannya terus meningkat. Selama ini, kekerasan seksual di ranah komunitas kerap mendominasi, termasuk di perguruan tinggi.
Institusi pendidikan tinggi dianggap mampu menjadi tempat yang aman bagi mahasiswa dalam menuntut ilmu. Namun, meskipun aturan telah dibuat, bukan berarti perilaku menyimpang dari para pelaku kekerasan seksual dapat dibendung dengan mudah.
Belum adanya dasar aturan dan kebijakan kampus yang jelas dan berperspektif korban berperan penting dalam ketidakberhasilan perguruan tinggi melindungi sivitas akademikanya. Karena itulah upaya yang intensif dan strategis menjadi penting.
Lantas, apa saja hal yang dapat dilakukan perguruan tinggi dalam upaya menegakkan peraturan mengenai kekerasan seksual?
Peraturan dan Pedoman dari Kemenag bagi PTKI di Indonesia
Kementerian Agama (Kemenag) telah menerbitkan Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Pedoman ini tertuang dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kemenag No. 5494/2019. Ditjen Pendis Kemenag dan Komnas Perempuan sebelumnya telah menjalin kerja sama untuk menggelorakan semangat anti kekerasan seksual, terutama di lingkup perguruan tinggi.
Baca juga: Kekerasan Seksual: Dosa Perguruan Tinggi
Berdasarkan komnasperempuan.go.id, buku saku pedoman pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di PTKI ini ditujukan untuk seluruh sivitas akademika untuk menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi baik di internal dan eksternal PTKI di Indonesia. Dengan disusunnya buku saku tersebut, tentunya pihak Kemenag dan Komnas Perempuan berharap agar tidak terjadi victim blaming, serta memutus impunitas dan mencegah keberulangan kasus kekerasan seksual di lingkungan PTKI di Indonesia.
Dalam pedoman ini terdapat lima bab, yaitu (1) pendahuluan, (2) memahami kekerasan seksual pada perguruan tinggi, (3) kebijakan, prinsip dan standar penanganan korban, (4) mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, dan (5) penguatan kapasitas PTKI.
Sanksi dalam pedoman ini juga diatur secara berjenjang. Tindak kekerasan seksual akan disidang dalam Dewan Etik untuk selanjutnya dilaporkan ke Menag. Tentunya hal yang lebih berat lagi, untuk kasus pidana dalam tindakan tersebut bisa dilaporkan ke ranah hukum. Selain itu disebutkan juga bahwa pihak kampus sendiri berhak untuk memberikan pendampingan kepada korban kekerasan seksual.
Standar Operasional Prosedur Penanganan di Kampus UI
Atas tindak lanjut dari kekerasan seksual yang merajalela di perguruan tinggi, dua dosen di Universitas Indonesia (UI) yakni Lidwina Inge Nurtjahyo (Fakultas Hukum) dan Saraswati Putri (Fakultas Ilmu Budaya) berhasil menerbitkan buku saku “Standar Operasional Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus” pada 25 November 2019 silam.
Kedua dosen tersebut juga merangkul Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI, BEM FH, BEM FIB, dan layanan tanggap dan pencegahan kekerasan seksual di kampus, HopeHelps, dalam penggarapan sejak Juli 2019. Para anggota BEM memberikan masukan dari segi bahasa sampai relevansinya di kehidupan kampus.
Dalam buku saku tersebut terdapat berbagai poin penting yang secara khusus mengatur berbagai penanganan terhadap kasus kekerasan seksual di UI. Salah satu poin penting yang ada di dalam buku saku tersebut adalah adanya lembaga yang membantu sebagai wadah terpadu untuk mendampingi dan memproses pengaduan korban kekerasan seksual.
Bagaimana kampus harus bertindak?
Merujuk pada artikel yang diterbitkan ULTIMAGZ sebelumnya dalam majalah edisi PDF Maret-April 2020 berjudul “Tangani Kekerasan Seksual, Kampus Harus Apa?”, dosen pengampu mata kuliah Reporting Issues of Diversity di UMN, Ratna Ariyanti mengatakan bahwa dalam menangani korban, kampus dapat menciptakan tempat yang aman bagi para korban untuk menceritakan semua keluh kesahnya tanpa dihakimi dan terjamin kerahasiaannya.
UMN memiliki bagian kemahasiswaan untuk memberikan pendampingan bagi mahasiswa yang menjadi korban jika terjadi kekerasan seksual, serta Student Support yang siap dalam memberikan psikoedukasi dalam seminar dan publikasi berkala. Namun, nyatanya kehadirannya tidak memberikan dampak besar dalam menciptakan ruang yang aman bagi para penyintas dalam menceritakan masalahnya.
Dalam hal ini kampus dapat mengambil sikap untuk segera melindungi hak para penyintas dan mengusut kasus kekerasan ini hingga tuntas.
Salah satu penegakan yang telah dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) mengenai penanganan kasus yang menimpa Agni pada 2018 hingga 2019 akhirnya menghasilkan adanya peraturan rektor tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual oleh Masyarakat UGM, dituangkan dalam Peraturan Rektor No. 1/2020.
Baca juga: Kekerasan Seksual di UMN: Tak Ada Laporan, Bukan Berarti Tak Ada Kejadian
Berkaitan dengan penanganan kekerasan seksual, tindakan yang akan diambil kampus UMN dituangkan dalam sebuah diskusi pada Sabtu (26/06/21) bersama tim #SaatnyaBicara dengan dua poin utama, yaitu akan segera menangani kasus yang terjadi di dalam lingkungan kampus dan memberikan edukasi kepada seluruh civitas akademika di UMN.
Semua upaya ini bertujuan agar kejadian serupa tak kembali terjadi dan terciptanya kampus yang tak hanya merdeka belajar, tetapi juga merdeka dari kekerasan seksual. Hal ini juga menjadi upaya institusi pendidikan agar bisa terlepas dari salah satu dari tiga dosa besar dunia pendidikan yang disampaikan Mendikbudristek Nadiem Makarim, serta menciptakan ruang aman bagi civitas akademikanya.
Penulis: Carolyn Nathasa Dharmadhi
Editor: Maria Helen Oktavia, Andi Annisa, Xena Olivia
Foto: freepik.com
Sumber: tirto.id, sci.ui.id, theconversation.com, PDF Ultimagz Edisi Maret-April 2020, kemenag.go.id, komnasperempuan.go.id