SERPONG, ULTIMAGZ.com – Berdiam diri di atas eskalator mungkin terasa sepele, Namun, di Jepang, posisi berpijak di eskalator justru menjadi etika umum. Jika Ultimates hendak berkunjung ke Jepang, penting untuk memahami budayanya terlebih dahulu.
Melansir dari kompas.com, posisi berdiri masyarakat \di salah satu sisi eskalator sudah menjadi etika umum di Jepang. Menariknya lagi, posisi di mana masyarakat Jepang berdiri berbeda-beda tiap kota. Di Tokyo, mereka yang hendak bersantai dalam satu titik sebaiknya berada di sisi kiri. Sisi kanannya akan digunakan untuk orang yang sedang mengejar waktu atau memiliki preferensi untuk jalan dari pada menunggu di atas eskalator.
Baca juga: Papan Warna Biru dan Hijau Pada Rambu Lalu Lintas Berbeda, Ini Penjelasannya!
Sementara itu, posisi berdiri di Osaka berbanding terbalik, yang mana sisi kanan digunakan untuk berdiri dan menunggu, serta sisi kanan untuk berjalan. Posisi di mana mereka berdiri bukan muncul secara tiba-tiba, tetapi karena mempertahankan budaya dari aspek historikal.
Alasan di balik adanya perbedaan posisi antara di Tokyo dan Osaka ialah mempertahankan kebiasaan dari zaman dahulu, yakni zaman Edo di Jepang. Pada saat itu, para pedagang Osaka membawa barang dan tas mereka dengan tangan kanan. Dengan perannya ini, maka mereka harus terus berjalan di sisi kanan agar tidak menabrak orang yang berlawanan arah dengan para pedagang ini, dilansir tensai-indonesia.com.
Sebaliknya, kisah dari masyarakat Tokyo juga berbeda, yang mana mereka mengadopsi kebiasaan samurai zaman Edo, sama seperti Osaka. Namun, perbedaannya adalah mereka melihat kebiasaan samurai yang terbiasa berjalan di sisi kiri. Tujuan para samurai untuk berdiri di sisi kiri adalah mempermudah menghunuskan pedang menggunakan tangan kanan jika ada orang yang lewat, dilansir dari happyjappy.com.
Baca juga: Mengenal Oshikatsu: Kultur Penggemar Idola dari Jepang
Meskipun berakar dari sejarah berbeda, mereka tetap memiliki kesamaan tujuan yakni memberi ruang bagi orang yang perlu bergerak lebih cepat. Kebiasaan ini menjadi bentuk dasar bagaimana nilai empati masyarakat Jepang cukup tinggi karena mempertimbangkan keputusan orang lain dalam memilih jalan di publik.
Dengan melihat praktik ini, apakah masyarakat Indonesia juga memiliki peluang untuk menumbuhkan kebiasaan yang serupa dalam menghargai kebutuhan sesama? Jika ya, praktik seperti apa yang mungkin cocok dan selaras di Indonesia?
Penulis: Victoria Nadine Gunawan
Editor: Jessie Valencia
Foto: freepik.com
Sumber: kompas.com, tensai-indonesia.com, happyjappy.com




