JAKARTA, ULTIMAGZ.com–Copa de Flores, wirausaha sosial yang bergerak di bidang industri kreatif, merangkul penyintas kekerasan seksual dan perdagangan orang melalui kegiatan menenun di Nusa Tenggara Timur (NTT). Hal tersebut disampaikan oleh Pendiri dan CEO Copa de Flores Maria Gabriella Isabella pada Selasa (14/08/19).
“Copa de Flores, bersama Komnas Perempuan dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), berkolaborasi untuk membina kelompok penenun yang merupakan penyintas kekerasan seksual, perdagangan orang, dan korban pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) berat di masa lalu. Kegiatan menenun ini merupakan medium pemulihan berbasis meditasi visual,” ujar Bella dalam peluncuran koleksi mode Mera Bura di Menara Digitaraya, Jakarta Pusat.
Tenun yang dikedepankan oleh Cope de Flores adalah tenun ikat. Salah satu tahap dalam pembuatan tenun ikat mengharuskan penenun untuk diam. Sementara itu, aktivitas menenun di NTT hanya bisa dilakukan oleh wanita yang dianggap sudah ‘dewasa’ oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu, menurut Bella, tahap ini menjadi upaya meditasi bagi penyintas.
Bella menuturkan, motif dalam tenun ikat seringkali merepresentasikan pembuatnya atau hal yang dialaminya. Tidak banyak mode lain yang juga memiliki kekhasan tersebut.
“Kejadian menarik yang aku temui ketika melihat satu kain tenun tua yang motifnya sangat bagus, berupa kalajengking yang tanpa aku sadari ada motif alat kelamin laki-laki. Ketika aku menanyakan arti dari motif tersebut, ternyata penenun pernah diduakan oleh suaminya,” kata Bella.
Penenun membutuhkan waktu yang lama untuk membuat sebuah tenun ikat. Dibutuhkan waktu enam bulan untuk menghasilkan tenun ikat yang siap dipakai. Dari enam bulan tersebut, tiga bulan di antaranya digunakan untuk membuat satu rancangan motif.
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat, NTT berada di posisi pertama dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Selain itu, berdasarkan data Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2019, jumlah kekerasan terhadap perempuan di NTT sebanyak 150 kasus. Namun, angka tersebut belum mencakup keseluruhan kasus, sebab kemungkinan tidak ada lembaga tempat korban untuk melapor, rasa tidak aman, dan kurangnya kepercayaan terhadap lembaga.
“Cara untuk mengetahui korban itu susah karena kasus kekerasan seksual dan perdagangan orang masih dianggap tabu. Kita butuh pendekatan ke penyintas dan prosesnya lama untuk mereka bercerita. Ketika para penyintas bisa curhat ke kami, perlahan diberikan aktivitas untuk healing berupa mindfulness growing,” pungkas Bella.
Penulis: Agatha Lintang
Editor: Geofanni Nerissa Arviana
Foto: Bonaventura Ezra