JAKARTA, ULTIMAGZ.com – Ignatius Haryanto sebagai pembicara dalam diskusi publik Centre for Innovation for Policy and Governance (CIPG) bertajuk “Telefiksi: Dongeng Semu Penyiaran”, mencetuskan ‘Jakartasentris’, yakni istilah yang menggambarkan bias konten-konten media penyiaran khususnya televisi di Indonesia yang sangat didominasi oleh informasi dari dan tentang Jakarta. Ia membahas permasalahan tersebut pada acara yang berlangsung di Main Atrium Plaza Semanggi, Sabtu (23/7) itu.
“Isi televisi kita terlalu ‘Jakartasentris’. Padahal Indonesia bukan cuma Jakarta,” demikian ia berujar. Ia pun memberikan contoh, seperti bagaimana pemberitaan di televisi membahas tentang banjir Jakarta yang terjadi dua hari yang lalu dengan intensitas yang tinggi. Padahal menurutnya, informasi ini belum tentu relevan dengan masyarakat di luar Jakarta.
Demikian juga dengan konten penyiaran lain seperti sinetron. Menurutnya, sinetron Indonesia dipenuhi oleh hal-hal yang berbau Jakarta. “Belum lagi kalau kita melihat isi sinetron kita. Cara berbicaranya, masalahnya, dan lain-lain, itu khas orang Jakarta banget,” tambahnya.
Pemaparan ini didasari atas hasil riset CIPG di tahun 2013 berjudul Produksi Konten, “Penentuan Hidup Bersama: Sejauh Mana Media Menjunjung Prinsip Kewarganegaraan?”. Riset tersebut menyatakan bahwa 69.9 persen informasi dan berita berasal dari pulau Jawa, yang 49 persen diantaranya didominasi dari Jakarta. Pria yang akrab disapa Mas Kumkum ini juga mengatakan bahwa bias ini diperburuk dengan alat pengukur rating people meter yang hanya dipasang di 11 kota di seluruh Indonesia, di mana enam diantaranya berada di pulau Jawa.
Imbas dari ‘Jakartasentris’ ini, menurutnya, adalah seperti orang-orang dari daerah luar Jakarta yang apabila muncul di layar kaca cenderung akan menjadi objek perundungan. “Misalnya Arie Kriting (komedian), ya diolok-olok. Dianggap aneh, dianggap tidak beres, berbeda, dan hal-hal seperti itu,” jelasnya memberi contoh seraya menyebut salah satu stand-up comedian itu.
Masalah ‘Jakartasentris’ ini juga diamini oleh pembicara lainnya, yakni Ade Armando. Ditemui seusai wawancara, ia setuju bahwa media penyiaran Indonesia terlalu condong ke Jakarta. Padahal menurutnya, media-media swasta yang memiliki jaringan media di daerah-daerah harusnya memberikan konten dan informasi yang relevan dengan daerah tersebut seperti musik, berita, atau talkshow lokal.
Dengan mayoritas berita dan informasi dari Jakarta, ia merasa bahwa tindakan tersebut tidak demokratis, terutama bagi masyarakat daerah. “Misalnya Anda orang Semarang, Anda ingin dengar dong, berita tentang Semarang,” kata Ade memberikan contoh. “Tapi waktu Anda buka televisi yang muncul semua berita Jakarta atau Jawa,” tambahnya.
Ade pun berpendapat bahwa masyarakat daerah memiliki potensi untuk mengembangkan konten lokal di media.
Untuk solusi, Ade berpendapat, sistem siaran jaringan yang sebenarnya wajib dilakukan dapat diaplikasikan untuk menghilangkan masalah ‘Jakartasentris’. “Sistem siaran jaringan sudah diwajibkan oleh UU Penyiaran, yang sebetulnya sudah ada di peraturan pemerintah yang dikeluarkan Kominfo dan juga KPI,” ujar Ade.
Bahwa dengan mematuhi aturan dengan menyediakan konten dan informasi bermuatan lokal, konten-konten berbau Jakarta tidak akan terlalu mendominasi lagi. “Kalau itu dijalankan saja, apa yang tadi Anda gambarkan sebagai ‘penjajahan’ Jakarta ke daerah tidak akan berlangsung setotal seperti sekarang,” jelasnya.
Penulis: Christian Karnanda Yang
Editor: Alif Gusti Mahardika
Foto: Christian Karnanda Yang