JAKARTA, ULTIMAGZ.com – Bagi lembaga riset Centre for Innovation for Policy and Governance (CIPG), konten penyiaran di Indonesia dirasa tidak inovatif, mendewakan rating, dan mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Keadaan ini dinilai CIPG sebagai gambaran betapa semunya dunia pertelevisian Indonesia. Maka dari itu, lewat pameran dan diskusi publik bertajuk “Telefiksi: Dongeng Semu Penyiaran” yang diadakan di Main Atrium Plaza Semanggi, Sabtu (23/07), CIPG mengajak publik untuk menyadari bahwa banyak permasalahan di dunia penyiaran Indonesia yang perlu dikritisi dan diperhatikan.
Sebelum diskusi dimulai, tampil stand-up comedian Benidictus Siregar yang memberikan guyonan-guyonan yang relevan dengan tema diskusi. Diskusi kemudian dihadiri oleh empat pembicara yang berkutat di bidang penyiaran.
Empat pembicara tersebut yakni dari latar belakang akademisi hadir Ade Armando dan Ignatius Haryanto, Maman Suherman dari latar belakang praktisi media penyiaran, serta salah satu pencipta konten penyiaran yang juga penulis, Leila Chudori. Keempatnya memaparkan berbagai fakta, kritik, dan opini tentang berbagai isu di dunia penyiaran Indonesia yang banyak melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Maman, atau yang akrab disapa Kang Maman ini mengkritisi petinggi partai politik yang juga pemilik media penyiaran, menggunakan medianya untuk kepentingan pribadi dengan memasang iklan dalam nominal yang fantastis, yakni 7,4triliun Rupiah. Begitu juga dengan kekuasaan untuk mengatur konten. “Betul-betul kita dikelilingi oleh partai politik yang menentukan arah dan acara televisi kita,” tegas Kang Maman.
Ade pun turut menyampaikan keprihatinannya dengan acara-acara di televisi, khususnya acara yang penuh dengan rekayasa dan pelanggaran regulasi. Ia mengkritisi acara wawancara hipnotis dan laporan investigasi yang diklaim melanggar aturan dan direkayasa. Menurutnya, hal ini terjadi akibat kesalahan regulator penyiaran Indonesia, dalam hal ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang tidak dengan tegas mengawasi dan melaksanakan peraturan yang berlaku. “Orang yang bekerja di industri itu harusnya tunduk terhadap aturan, kalau aturannya gak jalan, artinya ada yang salah, siapa yang salah? Yang meregulasi,” tegasnya.
Leila menambahkan permasalahan lainnya, yakni pendewaan rating oleh para pekerja media penyiaran dan dilema antara rating, iklan, dan konten yang berkualitas. Sedangkan Ignatius memaparkan potensi lembaga penyiaran publik dan lembaga penyiaran komunitas yang mempunyai peran besar di daerah, yang pada kenyataannya kalah dengan dominasi lembaga penyiaran swasta lantaran adanya diskriminasi pengajuan izin.
Tidak hanya diskusi, pada acara ini terdapat pula pameran karya seni sebagai upaya untuk menunjukkan kondisi penyiaran Indonesia dan mengkritisi segala permasalahan dan isu di dalamnya. Melibatkan kelompok seni Serrum Studio sebagai pembuat karya, terdapat lima karya seni yang ditampilkan beragam mulai dari komik, miniatur peta, hingga sebuah jam yang merupakan bentuk visualisasi dan interpretasi data dari riset media yang telah dilakukan CIPG.
Penulis: Christian Karnanda Yang
Editor: Alif Gusti Mahardika
Foto: Christian Karnanda Yang