SERPONG, ULTIMAGZ.com – Pada 4 September lalu, Presiden Jokowi mengatakan bahwa media sosial ‘terlalu demokratis’ karena orang-orang bisa ‘bicara apa saja’. Hal tersebut disampaikan Jokowi dalam pertemuan dengan sejumlah pimpinan media massa di Istana Kepresidenan Bogor. Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut menerangkan bahwa ia menyempatkan diri untuk mengecek media sosial di sela-sela kesibukannya dan berdiskusi dengan beberapa orang berpengaruh di media sosial selama 4-6 bulan.
Peneliti media Roy Thaniago menyatakan bahwa bisa saja pernyataan ‘Terlalu Demokratis’ tempo lalu tersebut menandakan ketidaksiapan pemerintah terhadap sistem demokrasi. Kultur birokrasi di Indonesia dikatakan masih terlalu feodal dan kurang egaliter sehingga lebih suka ketika tidak ada kritik kepada pemerintah.
“Kita (Pemerintah Indonesia) ingin orang gak banyak ngomong,” kata Roy ketika berbincang bersama Peneliti Lepas Rara Sekar dalam Bincang Kamis (BINGKIS) melalui akun Instagram @goetheinstitut_indonesien Kamis (10/09/2020).
Sebagai contoh, Roy mereferensikan bagaimana Juru Bicara Presiden Fadroel Rachman meminta semua pihak berhenti mengkritik pemerintah terkait kebijakan penanganan COVID-19. “’Jangan banyak kritik segala macam, kita fokus saja’ misalnya. Itu kan contoh dari bagaimana feodalisasi yang terjadi.”
Padahal seharusnya menurut Roy, media sosial adalah alternatif ruang publik, yaitu tempat bagi warga negara bisa berkumpul dan bercakap-cakap tanpa intervensi negara, intervensi komersial, dan non-hierarkikal yang melihat semua orang berposisi setara. Percakapan yang dilakukan warga negara ini berpotensi memiliki fungsi yang penting seperti mengontrol dan mengkritik dominasi oleh mereka yang berkuasa, atau menguatkan solidaritas bersama.
Contoh nyatanya adalah ketika COVID-19 mewabah. Berbagai macam orang mengekspresikan apa yang menjadi ketertarikan mereka di ruang publik karena berhubungan dengan hidup orang banyak. Ada yang memutuskan untuk mengkritik dan meminta pertanggungjawaban pemerintah dan negara, ada yang membangun solidaritas dengan tenaga kesehatan, ada yang berupaya untuk membantu warga negara lainnya yang kekurangan secara ekonomi seperti menyediakan lapak jualan online. Namun, pemerintah dinilai bertindak kurang demokratis dalam merespons percakapan-percakapan di media sosial tersebut.
“Sampai kemudian, di mana negara, pemerintah Jokowi, dalam hal ini rezim, tidak cukup responsif dalam mendengar itu, dan malah menggunakan cara yang menurut saya cara yang tidak oke,” kata Roy.
“Cara yang tidak demokratis, misalnya menangkap dengan semena-mena, memakai buzzer untuk memengaruhi persepsi orang, dan banyak hal lainnya.” lanjutnya.
Death of Expertise?
Masih dalam perbincangan yang sama, Rara menanyakan kepada Roy apakah situasi media sosial yang menyetarakan posisi ahli dan kaum awam bisa menjadi berbahaya. Menurut Rara, kecemasan bahwa nantinya kaum awam akan lebih didengarkan daripada para ahli tak jarang dibicarakan. Bahkan, ada buku yang cukup populer dalam pembahasan hal ini, yaitu “Death of Expertise” oleh Tim Nichols.
Menjawab pertanyaan Rara, Roy tetap teguh bahwa posisi ahli dan awam harus setara dengan mereferensikan konsep “Public Sphere” oleh Ahli Filsafat Jerman Jürgen Habermas. Habermas menyatakan bahwa kesetaraan itu penting. Dengan kesetaraan, pesan dari semua orang tidak dilihat dari siapakah pembawa pesan, tapi apa yang menjadi masalah.
Ultimagz menemukan bahwa Habermas mendefinisikan ruang publik sebagai ruang yang menghubungkan masyarakat dan negara, adalah tempat publik membentuk dirinya sendiri sebagai pembawa atau opini publik. Agar ruang publik ini bekerja, harus sesuai dengan prinsip ruang publik, prinsip yang harus diperjuangkan untuk melawan kebijakan monarki yang hanya diketahui sedikit orang. Perlawanan inilah yang memungkinkan pengontrolan terhadap aktivitas negara secara demokratis.
Apa saja prinsip-prinsip ruang publik ini? Prinsip-prinsip ruang publik ini adalah model normal dan model perilaku yang memungkinkan opini publik bekerja untuk pertama kalinya, yaitu aksesbilitas secara umum, eliminasi semua privilege atau hak istimewa, dan penemuan norma umum dan legitimasi rasional. Eliminasi semua privilege adalah bahasa lain untuk menyatakan kesetaraan tanpa terkecuali bagi semua warga negara di ruang publik.
“Selama argumen itu masuk akal, tidak ada masalah,” ujar Roy.
Hanya saja, yang menjadi masalah menurutnya adalah orang-orang yang berbohong demi mendukung sisi politik atau pandangannya di ruang publik. Hal ini dikarenakan motifnya adalah semata-mata untuk membuat pendapat pembohong tersebut menjadi benar dan pendapat orang lain, bahkan ahli menjadi salah. Dalam hal ini, Roy mencontohkan seorang penganut teori konspirasi. Akan menjadi masalah ketika argumen penganut teori konspirasi ini tidak jelas dan tidak jujur.
“Permasalahannya bukan semua orang gak boleh ngomong, tapi orang-orang harus tahu kapasitasnya saja dan tidak berbohong.” jelas Roy.
Tugas Media Jurnalistik dan Pemerintah
Rara menimpali Roy, peneliti lepas itu menyatakan bahwa walaupun benar demikian, teori konspirasi bisa saja ditulis dengan narasi yang lebih menarik dan mudah dicerna meskipun tidak rasional. Hal ini mengakibatkan tidak sedikit warga negara mengagungkan teori konspirasi tersebut dan tidak mengindahkan pendapat ahli. Apa yang bisa menjadi solusinya?
Roy menjawab bahwa di sinilah seharusnya media jurnalistik menjalankan fungsinya sebagai check and balance. Media memilik jaringan dan perangkat yang cukup untuk memberikan narasi tandingan dan melakukan verifikasi apakah yang dikatakan oleh penganut teori konspirasi benar atau tidak.
Namun di samping itu, keterbukaan pemerintah dinilai juga memiliki peran yang penting karena merekalah yang memiliki data yang paling kaya dan kredibel. Jika data tersebut terbuka bagi jurnalis, mereka bisa berkontribusi dalam menciptakan lingkungan media sosial yang bebas dari teori konspirasi.
“Kalau wartawan bisa mengakses, mereka bisa melakukan narasi balasan terhadap teori konspirasi,” jelas Roy.
Penulis: Ignatius Raditya Nugraha
Editor: Abel Pramudya
Foto: Reuters