JAKARTA, ULTIMAGZ.com – Indonesia Kita kembali menghadirkan pementasan ke-22 dengan tajuk Sabdo Pandito Rakjat yang bertempat di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki pada Jumat (02/12/16) dan Sabtu (03/12/16). Pementasan yang sekaligus menutup rangkaian pentas Indonesia Kita pada tahun 2016 tersebut mengangkat tema soal dunia pewayangan Indonesia. Sabdo Pandito Rakjat diangkat dari hasil karya maestro wayang kulit Indonesia, Ki Nartosabdo, dan ditafsirkan kembali oleh Sujiwo Tejo selaku sutradara. Pentas Sabdo Pandito Rakjat berhasil meninggalkan sekilas refleksi untuk negeri ini, apalagi jika disandingkan dengan tiga pementasan sebelumnya.
Secara umum, tiga pementasan Indonesia Kita terdahulu rata-rata menceritakan tentang situasi yang relevan dengan keadaan Indonesia saat ini. Adalah Komedi Tali Jodo, Doea Tanda Tjinta, dan Sri Eng Tay. Lalu tentu saja, yang terakhir adalah Sabdo Pandito Rakjat ini. Mayoritas pementasan tersebut menekankan pada nilai-nilai pluralisme, toleran, dan budaya Indonesia.
“Saya perlu mengingatkan, sekaligus menegaskan kembali bahwa Indonesia Kita bukanlah kelompok atau grup kesenian, tetapi sebuah program, sebagai sebuah ikhtiar untuk mempertemukan beragam dan pelbagai seniman dengan banyak latar budaya. Sebagai sebuah ikhtiar membangun Indonesia yang plural, toleran, dan berbudaya, Indonesia sebagai rumah bersama,” kata Agus Noor, Direktur Kreatif Indonesia Kita.
Merujuk kepada ungkapan Agus tersebut, terpapar jelas bagaimana misi Indonesia Kita dalam memajukan seni tanah air sekaligus memberi nilai-nilai yang perlu dijunjung sebagai masyarakat multikultural.
Memang benar, pada empat pementasan Indonesia Kita di 2016 ini, mereka telah berusaha mentransmisi nilai-nilai yang sedemikian rupa lewat bermacam-macam konsep budaya yang diangkat. Ditambah dengan beberapa kritikan ringan soal kondisi sosial dan politik Indonesia yang jelas menjadi titik berat akhir-akhir ini.
Pementasan terakhir yang berjudul Sabdo Pandito Rakjat, secara kebetulan diselenggarkan di waktu-waktu saat kondisi politik negeri ini yang makin memanas dengan munculnya aksi damai 4/11 dan 2/12. Beberapa sindiran pun sempat dilontarkan secara verbal maupun semantik kepada para penonton. Walaupun begitu, tujuannya tetap hanya satu; menyadarkan masyarakat soal nilai-nilai multikulturalisme.
“Jangan kapok menjadi Indonesia, marilah beribadah kebudayaan, ” adalah kata yang berulang-ulang kali terlontar dari ketua tim kreatif Indonesia Kita Butet Kartaredjasa. Mungkin terdengar biasa, namun jika kita cerna lebih dalam lagi, kata-kata tersebut merupakan bentuk “penanaman” kebanggaan Indonesia darinya.
Bukan soal apa yang kita tangkap dari pementasannya, entah itu hanya sekedar guyon-guyonannya, atatupun entertain dari para pemeran yang ada di dalamnya, tetapi soal kesadaran kita untuk bangga terhadap negeri ini. Kita harus sadar bahwa tak semua negara dianugerahi keragaman yang luar biasa indahnya seperti Indonesia.
Namun, lagi-lagi itu semua tetap saja kembali kepada kita semua sebagai penikmatnya. Tim kreatif boleh saja berpendapat sedemikian rupa soal misi kesadaran multikulturalisme Indonesia Kita, tetapi mungkin beberapa orang hanya menilainya sebagai hiburan semata, atau bahkan sekedar pengisi waktu. Tetapi yang terpenting jelas tetap satu, program-program mereka harus terus dipertahankan dan senantiasa membuka mata masyarakat lewat seni.
Jadi, terlepas dari itu semua, mari kita terus lestarikan budaya Indonesia yang sangat beragam ini dan hidup toleran di dalamnya. Jika bukan kita yang memulainya dari hal-hal kecil, siapa lagi?
Penulis: Richard Joe Sunarta
Editor: Monica Devi Kristiadi
Fotografer: Roberdy Giobriandi