SERPONG, ULTIMAGZ.com – Pramoedya Ananta Toer atau kerap di panggil Pram ialah salah satu penulis legendaris Indonesia. Karyanya yang paling fenomenal adalah “Tetralogi Pulau Buru” yang terdiri dari empat bagian, yakni “Bumi Manusia” (1980), “Anak Semua Bangsa” (1980), “Jejak Langkah” (1985) dan “Rumah Kaca” (1988).
Selama 81 tahun hidup, Pram telah menulis 50 karya novel sastra yang diterjemahkan ke dalam 41 bahasa asing, dikutip dari cnnindonesia.com. Semangat Pram dalam dunia sastra didasari atas polemik yang terjadi pada masa pra kemerdekaan, yakni penindasan dan perbudakan pribumi. Berikut beberapa karya mutakhirnya yang berlatar belakang masa kolonialisme di Indonesia.
Baca juga: Independensi Wanita Karya Charlotte Brontë pada “Jane Eyre”
Bumi Manusia (1980)
Buku ini merupakan salah satu karya agung dalam ranah sastra Indonesia dan merupakan jilid pertama dari “Tetralogi Pulau Buru”. Terbit pertama kali pada 1980, “Bumi Manusia” bercerita tentang Minke, seorang Jawa keturunan ningrat yang sedang mengemban pendidikan di Hogere Burgerschool (HBS) atau setara dengan Sekolah Menengah Akhir (SMA).
Melansir gramedia.com, latar novel ini terjadi pada abad ke-20 ketika Indonesia belum merdeka. Saat itu merupakan masa-masa dimulainya pergerakan nasional, berkembangnya pemikiran politik etis, dan awal kebangkitan nasional.
Minke sendiri bukan merupakan nama asli sang karakter utama, melainkan julukan dari gurunya yang berasal dari kata monkey (monyet), dikutip dari cnnindonesia.com.
Minke digambarkan sebagai pemuda revolusioner yang sering menulis untuk koran Belanda. Tidak hanya itu, “Bumi Manusia” juga menghadirkan cerita romansa Minke dan Annelies Mellema, seorang gadis cantik berdarah Indo-Eropa.
Pram dengan ciamik menuliskan kondisi pribumi pada masa kolonial saat itu. Penindasan, pergundikan, dan strata sosial yang merendahkan pribumi membuat Minke ingin terus berjuang lewat tulisan.
Jejak Langkah (1985)
Novel ini merupakan lanjutan ketiga “Tetralogi Pulau Buru” dan masih mengikuti kehidupan Minke. Setelah kematian Annelies, Minke melanjutkan pendidikan dokter di sekolah pribumi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), Batavia.
Melansir gramedia.com, Minke berkenalan dengan Ang San Mei, seorang organisator komunitas Tionghoa nasionalis yang menentang kekaisaran Cina. Pertemuan mereka pun berujung pada pernikahan. Kehadiran Mei membuat Minke semakin berpikiran kritis dan memutuskan untuk tidak menyelesaikan studi kedokterannya.
Minke memilih berkecimpung di dunia jurnalistik. Ia secara berani mengkritik pemerintah kolonial saat itu dan membentuk organisasi pers agar bisa memobilisasi massa melawan penjajah.
Gadis Pantai (1987)
Melalui novel ini, Pram menceritakan hidup Gadis Pantai (GP), perempuan berusia 14 tahun yang berasal dari kampung nelayan di pesisir utara Jawa Tengah, Kabupaten Rembang.
Mengutip cnnindonesia.com, GP digambarkan sebagai gadis berparas manis yang memiliki warna kulit kuning langsat, tubuh mungil, dan mata agak sipit. Di usianya yang belia, GP dinikahkan dengan seorang priyayi kaya raya asal Jawa, Bendoro. Melansir kumparan.com, orang tua GP menikahkan putrinya agar GP tidak merasakan kemiskinan. Nyatanya, GP hanya dijadikan sebagai Mas Nganten atau perempuan yang menjadi budak seks.
Novel ini memiliki akhir cerita yang sungguh menyakitkan. Melalui “Gadis Pantai”, Pram ingin menceritakan feodalisme di kalangan masyarakat Jawa.
Bukan Pasar Malam (1951)
Melansir gramedia.com, novel ini menceritakan tokoh ‘aku’ yang pulang kampung karena ayahnya mengidap tuberkulosis (TBC). Tokoh ‘aku’ pun merasakan gejolak hati saat melihat keluarganya yang miskin, rumah tua yang tidak lagi kuat menahan arus waktu, dan istrinya yang cerewet.
Melalui “Bukan Pasar Malam”, Pram menggambarkan bagaimana pertentangan dapat terjadi di dalam diri sang tokoh utama. Ia juga mengkritik para jenderal dan pembesar negeri pasca kemerdekaan yang hanya memperkaya diri sendiri.
Baca juga: “A Good Girl’s Guide to Murder”, Seorang Remaja Ungkit Kebenaran Kasus Pembunuhan
Selain novel, Pramoedya Ananta Toer juga menulis cerita pendek seperti “Subuh” dan “Cerita dari Jakarta”. Berbagai karya sastra tersebut membuat Pram memiliki 16 penghargaan atas kinerjanya. Beberapa di antaranya seperti Penghargaan Balai Pustaka (1951), Hadiah Magsaysay Filipina (1995), dan Norwegian Authors Union Award (2004).
Melansir dapobas.kemdikbud.go.id, penulis legendaris ini pernah dipenjara di Tangerang, Salemba, Cilacap dan diasingkan di Pulau Buru selama sepuluh tahun karena keterlibatannya dengan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini menyebabkan karya sastranya dilarang beredar selama orde baru berlangsung.
Penulis: Giofanny Sasmita
Editor: Jessie Valencia
Foto: artcollections.smu.edu.sg/Indra Leonardi
Sumber: gramedia.com, cnnindonesia.com, dappobas.kemdikbud.go.id, kumparan.com