SERPONG, ULTIMAGZ.com – Nama Charlotte Brontë bisa saja tidak asing di telinga Ultimates yang termasuk penggemar sastra klasik. Penulis berkebangsaan Inggris ini lahir pada April 1816 dan merupakan salah satu penulis novel tersohor. Karya-karyanya hingga kini masih dijadikan referensi oleh pembaca.

Brontë memiliki nama samaran Currer Bell karena perempuan di masa itu tidak diperbolehkan untuk menulis secara bebas. Ia sempat menggunakan nama tersebut saat menulis karya terdahulunya, “The Professor”. Melalui karya-karyanya, Brontë seringkali menyuarakan isu kesetaraan gender. Salah satu karyanya yang paling terkenal yaitu “Jane Eyre”.
Baca juga: 5 Sastra Klasik Jane Austen, Angkat Kisah Romantis hingga Isu Feminisme
Mengutip historic-uk.com, “Jane Eyre” terinspirasi dari pengalaman buruk Brontë saat ia dan beberapa saudarinya dikirim untuk bersekolah oleh ayahnya. Kondisi sekolah tersebut memberikan dampak buruk bagi kesehatan dan pertumbuhannya. Di sekolah itu Brontë kehilangan kedua saudarinya, Maria dan Elizabeth, karena penyakit tuberkolosis.
Hal tersebut sama seperti kisah tokoh utama Jane Eyre yang kehilangan Helen Burns, sahabat di sekolah asramanya, Lowood, karena tuberkolosis. Karya satu ini menuangkan kisah Jane sebagai seorang yatim piatu dan dibesarkan oleh bibinya. Namun, Jane kerap kali mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari bibi dan sepupu-sepupunya.
Kisah Jane berlanjut saat dirinya berusia 17 tahun dan memutuskan untuk bekerja sebagai guru privat di Thornfield Hall. Di tempat tersebut, bumbu-bumbu romansa dituangkan oleh Brontë antara Jane dan Edward Rochester yang adalah tuan rumah Thornfield. Namun, di tengah kisah itu ada berbagai lika-liku yang Jane hadapi. Salah satunya yaitu masa lalu kelam Rochester yang perlahan Jane ketahui. Cerita-cerita detail tersebut digambarkan oleh Brontë dengan gaya gotik.
Kisah “Jane Eyre” tak hanya sekadar penggambaran kisah hidup si tokoh utama saja, tetapi juga mengangkat isu gender. Mengutip edubirdie.com, Jane digambarkan sebagai tokoh feminisme, tepatnya sosok perempuan mandiri. Pada zaman itu, peran perempuan masih identik dengan urusan pernikahan dan mengurus rumah tangga. Melalui karya ini, stigma itu dipatahkan oleh Brontë dengan penggambaran sosok Jane sebagai perempuan pekerja keras.
Baca juga: “A Good Girl’s Guide to Murder”, Seorang Remaja Ungkit Kebenaran Kasus Pembunuhan
Karakter Jane juga digambarkan sebagai sosok yang bebas dan berani untuk bersuara. Hal tersebut sangat tidak sejalan dengan pandangan zaman itu yang mana perempuan tidak diperbolehkan untuk terlalu menonjol. Jane digambarkan sebagai sosok yang mempunyai kemauan besar akan kebebasan dirinya sendiri.
Adapun kisah “Jane Eyre” kini sudah dijadikan film beberapa kali. Salah satunya adalah Jane Eyre (2011) yang dibintangi Mia Wasikowska dan dapat Ultimates saksikan di Amazon Prime Video.
Penulis: Josephine Arella
Editor: Cheryl Natalia
Foto: slate.com, britannica.com
Sumber: historic-uk.com, kompas.com, edubirdie.com, britannica.com