SERPONG, ULTIMAGZ.com – Alunan musik orkestra dari salah satu ruangan lantai empat di ruko sekolah musik Andante, Jakarta Utara bergema ke lantai-lantai lainnya. Di dalam ruangan tersebut, sekitar 16 orang sedang fokus memerhatikan kertas musik mereka sembari bermain biola, selo, saksofon, dan perkusi. Di tengah-tengah, konduktor memimpin alur harmoni musik sembari menggantikan pemain piano yang tidak hadir di latihan Minggu (29/05/22) untuk mempersiapkan acara besar mendatang.
“Siap, ya? Dari letter A,” ucap Aulia Dhaneswara (28) mengajak seluruh pemain musik kembali pada bagian awal lagu. “One, two, one, two, three,” lanjutnya, menarik napas dan memencet tuts piano.
Baca juga: Diputar Sesuai “Mood”, Bisakah Musik Memengaruhi Perasaan Manusia?
Seluruh pemain memainkan alat musik mereka, membentuk lagu yang jarang didengar di orkestra pada umumnya. Mereka tidak memainkan karya-karya komposer Bach, Vivaldi, bahkan Mozart, tetapi lagu-lagu animasi Jepang (anime). Lagu-lagu tersebut diaransemen oleh pendiri dan konduktor mereka sendiri, Danezh. Ia pun menamai orkestra kecilnya Little Harmony Orchestra (LHO), orkestra pertama di Indonesia yang fokus memainkan musik anime sejak 2019 dan sudah menuai sejumlah penghargaan.
“Di Indonesia, aku yang memulai dari awal. Itu yang bikin aku yakin. Start dari nol tuh benar-benar menurutku sesuatu yang menantang dan okay sih,” kata Danezh.
Dimulai dari Penolakan dan Konflik Internal
Juli 2015, Danezh sebagai mahasiswa akuntansi datang menemui rektor kampusnya. Ia bertanya apakah ada unit kegiatan mahasiswa (UKM) orkestra di kampus.
“Oh, gak ada. Kamu bikin saja kalau kamu mau. Siapin proposal pengen ngebentuk UKM orkestra, terus kumpulin orang-orangnya,” jawab rektor.
Danezh pun segera menyebarkan pesan untuk bergabung di UKM orkestra melalui Facebook dan LINE. Ia juga mengajak teman-temannya di dua UKM lainnya untuk bergabung. Alhasil, terbentuklah orkestra di lingkungan kampus tersebut dengan nama Musikal (bukan nama sebenarnya).
Namun, terdapat satu masalah. Pemain-pemain baru tidak ada yang bisa mengisi peran konduktor untuk melatih dan mengaransemen lagu di Musikal. Mau tidak mau, Danezh pun mencoba menjadi konduktor. Sama seperti dulu saat ia belajar piano secara autodidak dari kecil, ia pun berusaha mempelajari keahlian konduktor untuk mempertahankan orkestranya.
Di lain sisi, sekelompok mahasiswa di salah satu cabang universitas tersebut ada yang ingin membuat UKM musik pop. Namun, karena sudah ada grup musik pop yang serupa di kampus, mereka diarahkan untuk bergabung dengan orkestra Musikal. Danezh pun tidak keberatan dengan keputusan itu. Mereka pun akhirnya tergabung sejak awal pembentukan Musikal. Seiring berjalannya waktu, keputusan itu ternyata malah menjadi bumerang bagi Danezh.
“Yang aku founding ini (Musikal) benar-benar straight tegas mau ke arah orkestra, sementara yang di cabang lain itu kayak masih pengen stay di band,” jelas Danezh. “Itu yang mungkin mendasari kenapa sering kali terjadi banyak perbedaan pendapat.”
Mahasiswa ukm pop tersebut tidak bisa membaca not balok di kertas musik, mengingat aliran musik pop jarang memakai not balok. Tidak heran, beberapa dari mereka acuh tak acuh dengan partitur aransemen yang dibuat Danezh. “Partitur kita dibuang-buang sampai keinjek segala macam,” ungkap Danezh.
Steven Yao (25), salah satu pemain perkusi di Musikal sejak 2016 ikut menyadari isu tersebut. “Biasa konfliknya terjadi ketika kita mau melakukan konser akhir tahun atau konser awal tahun (KAT),” kata Steven.
Bukan hanya persoalan genre musik saja, Steven merasa permasalahan juga datang dari cara panitia ukm pop ikut menaungi Musikal. Mereka kerap membatasi kreativitas permainan musik anggota dan memutuskan sesuatu secara sepihak.
Salah satu konflik paling parah yang diingatnya adalah saat mempersiapkan KAT kedua pada Maret 2018. Pemain musik, panitia, dan penasehat Musikal termasuk Danezh berdebat dengan beberapa panitia ukm pop. Mereka mengusulkan konser kedua harus digelar di gedung Usmar Ismail, Jakarta Selatan. Sebuah panggung yang lebih besar dan bergengsi dari pada auditorium kampus, tempat KAT pertama sebelumnya. “Untungnya gak jadi (di Usmar Ismail) karena banyak yang gak setuju juga,” ucap Steven lega.
Selepas perdebatan di KAT kedua, masalah lain muncul saat kepengurusan baru pada awal 2019. Posisi Danezh sebagai pelatih diganti dengan pelatih baru dari cabang lain. “Kalah suara yang ingin memilih saya, sehingga saya tidak dijadikan pelatih lagi. Ya sudah, saya keluar,” jelas Danezh.
Namun, Danezh justru merasa senang lantaran selama ini ia juga hanya dianggap asisten ketimbang pendiri. “Jujur, pas diusir secara halus, aku malah senang, lega gitu,” ucap Danezh. “Ah, alhamdulillah. Ya, sudah. Bikin saja orkestra sendiri yang lebih sesuai sama tujuan kita,” lanjutnya.
Meninggalkan Musikal yang banyak konflik internal, Danezh mencoba membuka lembaran baru untuk bebas berkarya. Ia kembali masuk ke dalam akun Facebook dan LINE miliknya. Ia menyebarkan broadcast message ajakan untuk masuk bergabung ke dalam orkestra independen dengan tema musik anime, “Siapa yang mau ikut? Ayo! Kumpul.”
Kejutan-Kejutan Tak Terduga
Mei 2019, Danezh menyewa studio Practice Room di Jakarta Selatan untuk latihan perdana LHO. Ia mengira-ngira total pemain di ruangan yang disewanya ini mungkin sekitar 10 hingga 20 orang paling banyak. Kemudian, satu per satu orang pun berdatangan ke ruangan latihan, termasuk Steven yang menjadi satu-satunya pemain perkusi.
Danezh sungguh tidak menyangka bahwa latihan kali ini akan menjadi salah satu momen paling berkesan di dalam karir musiknya. Sebab yang datang ke latihan pertama LHO mencapai 40 orang. Total ini didominasi oleh anggota Musikal.
Kemudian, Danezh pun memimpin 40 pemain musik dan menyatukan mereka di dalam aransemen lagu “We Are!” miliknya yang menjadi lagu tema serial anime legendaris “One Piece”. Setelah itu, dilanjutkan oleh aransemen “Moonlight Densetsu” dari serial “Sailor Moon” dan “Butterfly” dari serial “Digimon Adventure”.
“Wah!” pekik Danezh mendengar aransemen lagu-lagu kesukaannya dimainkan.
Latihan-latihan iseng tersebut ternyata berujung memiliki tujuan. Ketika Indonesia Orchestra and Ensemble Festival (IOEF) mengumumkan akan menggelar kompetisi orkestranya kembali pada September 2019, LHO yang baru ‘seumur jagung’ ingin ikut.
LHO pun mendaftarkan diri di web resmi festival orkestra di Asia Tenggara itu. Mereka mengirimkan video hasil latihan di Practice Room dan menunggu keputusan IOEF. Tepat 24 Juli 2019, lewat unggahan resmi akun Instagram IOEF, LHO diterima tampil di panggung IOEF.
Dari Juli sampai September 2019 itu, LHO berkali-kali latihan di sekolah musik Andante. Mereka mempersiapkan total lima lagu tema anime dan gim.
Lalu, hari yang mendebarkan pun tiba. Pada 15 September 2019, LHO tampil perdana di depan publik. Mereka menginjakkan kaki di gedung Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
Setelah bersiap diri, panggung besar IOEF pun memanggil mereka. “And now without further ado, please welcome, Little Harmony Orchestra!”
Gorden besar yang menutupi panggung perlahan naik ke atas. Danezh sebagai konduktor dan para pemain LHO berdiri siap di balik gorden. Lalu, lampu sorot menyinari seluruh tim LHO, membuat atmosfer lebih tegang. Ditambah, mata penonton dan juri-juri profesional membuat tangan Steven bahkan berkeringat dingin sebelum menyentuh tongkat drum.
Walau gerogi, penampilan harus tetap berjalan. Seluruh tim membungkuk memberi hormat lalu duduk, kecuali Danezh. Ia berdiri, menarik napas, mengayunkan tongkat konduktornya, dan lagu aransemen pertama dimulai.
Selama 18 menit berlalu, LHO berhasil memainkan semua partiturnya untuk IOEF. “Thank you and congratulation on your performance,” seru pembawa acara.
Steven menyadari kerap kali ia salah teknik di beberapa bagian lagu, begitu pula dengan teman-temannya yang lain, sehingga mereka memang merasa banyak yang harus diperbaiki untuk ke depannya. Namun, “Surprisingly, kita dihargai dengan medali bronze,” ucap Steven sembari tersenyum.
Kejutannya tidak berhenti sampai di situ, esok harinya, Danezh mendapat pesan dari Direktur Musik Trinity Youth Symphony Orchestra (TRUST) Nathania Karina. Konduktor perempuan profesional itu mengajak Danezh membantunya mengurus tim junior TRUST. Tentu saja, Danezh tidak menolak. Alhasil, selain mengurus LHO, Danezh sampai sekarang menjadi konduktor dari orkestra remaja terbesar di Indonesia.
Setelah IOEF, LHO diundang tampil di acara Comic Frontier (Comifuro) pada 23 Februari 2020. Dengan format orkestra mini, LHO tampil di panggung utama Comifuro, di Balai Kartini, Jakarta Selatan. Walau panggung ekshibisi budaya pop Jepang tersebut lebih sederhana, tetapi panggung kecil tersebut yang malah melebarkan sayap LHO lebih lebar ketimbang IOEF.
“Pertama kalinya kita tampil di tengah-tengah para antusias ‘jejepangan’ dan itu gak disangka sekali, bener-bener wah,” kata Danezh.
Baru saja pemain LHO memainkan nada pertama “Case Closed” dari serial “Detective Conan” sebagai lagu pembuka, pengunjung yang memenuhi ruangan pameran Comifuro sudah bersorak meriah sambil bertepuk tangan. Terlebih, saat Danezh membuka jaket birunya dan memperlihatkan kostum khusus bertema anime “Naruto”, lalu mengambil mikrofon, “Silakan nyanyi bareng kalau bisa.” Seluruh audiens pun berteriak ramai dan ikut menyanyikan lirik lagu “Silhouette”.
Antusias penonton yang semakin tinggi, juga meningkatkan kegembiraan pemain-pemain musik LHO. Mereka tidak bisa menahan senyum lebar di tengah pertunjukan. Bahkan, saking serunya, Steven memukul cajon portable milik Danezh terlalu keras sampai bolong. Walau bolong, Steven pun berusaha untuk bermain sampai akhir.
“Lucunya setelah rusak bolong itu, aku tetap main. Aku mainnya sambil kayak merasa ngilu,” ucap Steven bergidik.
Usai menampilkan lima lagu, Steven melihat Danezh mengeluarkan air mata. Kenal Danezh cukup lama sejak bersama di Musikal, Steven tahu bahwa Danezh bukan tipe orang yang menangis sembarangan. Ia pun bertanya kepada Danezh.
“Terharu. Selama LHO, ini perfoam yang paling ber-impact,” jawab Danezh.
Nama LHO yang belum terlalu terkenal dibuat melejit seketika karena Comifuro. Dari sinilah, Danezh pertama kali membuka rekrutmen dan audisi secara terbuka kepada publik untuk bergabung bersama LHO. Peminat yang mendaftarkan diri untuk bergabung pun cukup banyak.
Semakin Hidup Saat Pandemi
Setelah Comifuro, kejutan lainnya datang. Namun, bukan kejutan yang menyenangkan. Pandemi Covid-19 dan pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PBB) menghentikan latihan bersama LHO. Rencana konser nostalgia anime jadul di Goethe Haus pada Juni 2020 pun terpaksa tak terwujud.
“Kan kalau latihan orkestra harus offline ya. Pas pandemi, ya, gak boleh ada kumpul-kumpul manapun jadi gak bisa latihan, sedih sih,” ucap Danezh.
Memang, dunia musik termasuk orkestra menjadi subsektor ketiga yang terdampak oleh pandemi dengan porsi 9,4 persen dari total enam subsektor berdasarkan survey Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi. Tak heran, jika beberapa komunitas musik mati karena pandemi.
Namun, Danezh tak ingin orkestranya mati. Ia berusaha membuat LHO tetap aktif dengan proyek-proyek pertunjukan virtual yang di awal-awal pandemi masih jarang dilakukan. Seperti biasa, ia mengaransemen lagu di software Sibelius dan membagikannya kepada pemain musik, tetapi kali ini pemain musik harus merekam permainannya. Jika ada not yang masih salah saat diperiksa Danezh, pemain musik perlu rekaman ulang.
Kemudian, Danezh akan menggabungkan seluruh rekaman yang baik dengan kemampuan audio mixing-nya. Ada pun kemampuan tersebut ia pelajari saat masuk jurusan audio and mixing di Institut Musik Indonesia pada 2012. Setelah melalui tahap edit, Danezh akan mengunggahnya di akun Instagram dan YouTube LHO.
Proyek-proyek virtual tersebut mengundang banyak penonton dan juga peminat. Terbukti, LHO berhasil melakukan kolaborasi bersama Padjajaran Ensemble Community (PEC) dan membawakan lagu “Himawari no Yakusoku” dari film “Stand by Me Doraemon”.
Keren, sih karena kita bisa di-notice oleh grup orkestra lain,” respons Steven. “Di balik pandemi yang di mana banyak organisasi atau kegiatan yang akhirnya ke-freeze, gak hidup, itu kita malah lebih hidup lagi. Bahkan, malah jadi dikenal,” lanjutnya.
Sekarang, ketika keadaan sudah mulai kembali normal, kegiatan-kegiatan LHO pun kembali normal. Setiap hari Minggu, baik di Andante maupun tempat lain, LHO latihan mempersiapkan dua rencana konser mendatang di 2022. Dua mimpi besar bagi LHO untuk bisa memainkan harmoninya di depan publik.
Baca juga: TRUST Kembali Banggakan Indonesia di World Orchestra Festival 2021
Menanggapi perkembangan LHO dengan mimpi-mimpi besarnya ini, Danezh pun selalu kembali pada motivasi awal ia menyisipkan kata “little” dalam orkestranya. Akan ada orkestra yang lebih baik lagi. Akan ada langit di atas langit. Demikian, penting untuk selalu mau belajar.
“Stay humble karena ingatlah kita ini kecil sebenarnya. Maka, teruslah belajar, teruslah belajar, teruslah belajar, dan rajin,” ucap Danezh. “Dan jangan bolos latihan.”
Penulis: Vellanda
Editor: Jessica Elisabeth Gunawan
Foto: Vellanda