“What is admired in one generation is abhorred in another. We cannot say who will survive the holocaust of memory… We are men only, a brief flare of the torch.” – Madeline Miller, “The Song of Achilles”
SERPONG, ULTIMAGZ.com – Novel “The Song of Achilles” yang rilis pada 2012 adalah karya debut dari novelis Madeline Miller. Buku mitologi Yunani ini mengkisahkan kembali karya literasi Homer “Iliad” dengan sentuhan modern.
Buku ini mengisahkan kembali perang Troya. Namun, pembahasannya jauh lebih dalam dari itu. “The Song of Achilles” berani tantang citra sang pahlawan Achilles dan meredefinisikan maskulinitasnya.
Kisah pada buku ini diawali dari sudut pandang Patroclus, seorang pangeran muda yang canggung. Patroclus diasingkan dari kerajaannya setelah melakukan tindakan kekerasan yang mengejutkan. Minggat ke kerajaan Peleus, dia bertemu dengan seorang laki-laki bernama Achilles. Keduanya menjalin ikatan yang tak terpisahkan, meskipun mempertaruhkan murka para dewa.
Namun, ketika tersiar kabar bahwa Helen dari Sparta telah diculik, semua pahlawan Yunani dipanggil untuk mengepung Troya atas namanya. Achilles bergabung dengan perjuangan mereka dan Patroclus mengikutinya. Naasnya, mereka tidak tahu takdir yang kejam akan menguji cinta mereka diujung perang Troya.
Akurasi Sejarah
“The Song of Achilles” bukan hanya membingkai cerita yang menakjubkan, tetapi juga menyelipkan potongan sejarah yang akurat.
Kisah cinta Patroclus dan Achilles ternyata tertulis dalam buku “Iliad”. Hanya saja jarang, bahkan nyaris tidak pernah disorot dalam adaptasi perang Troya lainnya.
Hal ini sangat terlihat dalam adaptasi mitologi Yunani ala Hollywood yaitu “Troy” (2004). Film “Troy” yang dimainkan oleh Brad Pitt, sempat mendapatkan kritik dikarenakan gambaran hubungan Patrcolus dan Achilles yang dinilai tidak akurat.
Mereka gagal menjustifikasi kedekatan Patroclus dan Achilles sehingga akhirnya memerankan mereka sebagai saudara. Penulisan ini tentu tidak faktual dan juga mengecewakan. Menurut bustle.com, keputusan ini diambil demi menenangkan sensor homofobia di layar besar. Para produser juga segan merincikan subplot ini terhadap khalayak.
Ubah Citra Achilles
Berbeda dengan adaptasi lainnya, “The Song of Achilles” berani menantang citra sang pahlawan Achilles dan mengeksplorasi pertanyaan yang kritis. Sering kali disebut “the best of all greeks”, Achilles sang gagah perkasa merupakan gambaran dari maskulinitas. Maka dari itu, tidaklah heran jika kebanyakan orang gagal untuk membayangkan ia sebagai seseorang yang homoseksual.
Melihat hal tersebut, Miller ungkap tujuannya menulis “The Song of Achilles”. Ia ingin menunjukkan kompleksitas dari karakter Achilles sebagai seorang yang berdimensi dan bahkan sedikit feminin.
“Saya terpesona dengan kerumitan Achilles. Inilah karakter yang merupakan mesin pembunuh paling ganas yang dimiliki orang Yunani, tapi dia juga penyanyi yang cantik dan seorang penyayang. Saya ingin menangkap kedalaman itu dalam kepribadiannya,” ungkapnya.
Selain itu, Miller juga harap “The Song of Achilles” dapat semakin membuka percakapan mengenai maskulinitas dan orientasi seksual, sekaligus menormalisasi homoseksualitas.
”Saya pasti akan senang mendengar bahwa novel tersebut menginspirasi minat pada mitologi Yunani pada umumnya, dan Iliad pada khususnya. Saya juga berharap hal itu dapat membantu memerangi homofobia yang terlalu sering saya lihat,” tutupnya dalam wawancara.
“The Song of Achilles” adalah bacaan yang kritis dan juga menghibur. Walaupun bergenre fiktif, buku ini kaya akan pengetahuan dan tetap peduli dengan akurasi sejarah. Meski berlatar belakang mitologi Yunani, siapa pun dapat membaca buku ini lantaran gaya tulisnya mudah dibaca dan penjelasannya tidak rumit.
Terlebih dari itu “The Song of Achilles” juga menggambarkan kisah cinta yang indah dan legendaris. Dipadupadankan dengan tragedi dan aksi dari perang, buku ini adalah hiburan yang komplit.
Penulis : Arienne Clerissa
Editor : Andi Annisa I.P
Sumber : Goodreads.com, Bustle.com, MadelineMiller.com
Foto : Propbay.com, Orangeandwhite.com