SERPONG, ULTIMAGZ.com ― Suatu siang era 1970-an, seorang pengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM) meletakkan sebuah piring di atas meja kerjanya atas alasan penelitian. Uniknya, piring itu tidak berisi makanan, melainkan dipenuhi kondom dengan tulisan “Silahkan Ambil”. Laki-laki itu kemudian pergi untuk kembali pada sore hari saat kantor hampir tutup.
Saat itu, Pendiri Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Masri Singarimbun atau kerap disapa Matahari sedang menilik lebih dekat mengenai masalah Keluarga Berencana (KB). Ia pun melihat jumlah kondom di dalam piringnya masih utuh dan tak tersentuh. Namun, hal tersebut tidak membuat Matahari patah semangat.
Keesokan harinya, antropolog itu sengaja meliburkan diri untuk melihat hasil penelitiannya dalam jangka waktu yang lebih panjang. Setelah kembali lagi ke kantor, Matahari melihat piring yang awalnya penuh dengan kondom, kini kosong. Merujuk pada keberhasilan penelitian kondom di dalam piring yang ia lakukan, Matahari melihat banyak orang yang sesungguhnya membutuhkan kondom, tetapi masih merasa malu.
“Nah, dari perilaku itu saya berkesimpulan bahwa masyarakat sebenarnya punya hasrat besar dalam program KB,” tulis Matahari dalam bukunya yang berjudul “Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia”, dilansir dari majalah Tempo edisi 28 September 2003.
Selain meneliti kebutuhan masyarakat akan kondom, Matahari juga ingin menghapus pandangan tabu terhadap alat kontrasepsi. Dia memang memiliki cara yang unik. Staf Peneliti Senior PSKK UGM Muhadjir Darwin mengungkapkan bahwa Masri memiliki nama julukkan sendiri karena kegiatannya itu.
“Pak Masri sering disebut sebagai ‘bapak kondom’ karena kemana-mana selalu membawa kondom. Beliau merasa itu bukan hal yang buruk, melainkan positif agar orang semakin akrab dengan kondom,” ujar Muhadjir pada Selasa (01/04/14) dalam acara ulang tahun PSKK UGM yang ke-41.
Ketika Matahari melakukan penelitian tersebut, program KB memang sedang gencar. Tepat hari ini, 50 tahun lalu pada 29 Juni 1970 merupakan kristalisasi gagasan KB untuk diperkuat melalui pembentukan suatu program.
Ide-ide dari golongan profesional terkait penyebaran alat kontrasepsi pun berdatangan dan disambut baik oleh pemerintah. Akhirnya Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional menggaet institusi seperti PSKK UGM pada 1973.
Matahari kemudian melakukan percobaan serupa dengan skala yang lebih besar. Suatu ketika, iklan berbunyi “Kepada Anda akan dikirim tiga kondom jika Anda mengirim perangko Rp30 kepada Dwijaya (lembaga bentukan PSKK), Kotak Pos 85 Yogyakarta; untuk buku KB kirim perangko Rp50” di Koran Kompas dan Kedaulatan Rakyat setiap minggu selama September sampai Oktober 1973.
Tak disangka, 300 lebih pemesan berdatangan dari beberapa wilayah di Indonesia. Percobaan Matahari terkait pembelian kondom secara tidak tatap muka terbilang berhasil. Namun tetap saja, beberapa golongan menganggap hal itu tidak senonoh dan menentangnya. Akan tetapi dengan konsistensi tinggi, Masri tetap melakukan penelitiannya.
“Itu jelas kontroversial. Banyak yang menentang beliau, terutama dari kaum ulama. Namun, dia tetap melakukan itu karena tujuannya positif,” ujar Muhadjir.
Sangat disayangkan, sampai puluhan tahun perjuangan Masri, alat kontrasepsi yang ia promosikan masih menjadi barang tabu dan belum maksimal digunakan oleh masyarakat. Merujuk pada percobaan yang dilakukan CNNIndonesia.com pada Minggu (01/12/19), masyarakat masih menunjukkan ekspresi tabu, seperti tidak mengerti penjelasan produk kepada pembeli kondom.
“Petugas tak bisa menjelaskan mengenai produk selain dari merek dan varian rasa yang terdapat di kemasan. Padahal informasi detail mengenai produk penting untuk dapat mengedukasi masyarakat,” sebagaimana tertulis dalam artikel CNNIndonesia.com yang bertajuk Percobaan: Melihat Stigma saat Membeli Kondom.
Penulis: Andrei Wilmar
Editor: Elisabeth Diandra Sandi
Foto: historia.id
Sumber: cpps.ugm.ac.idn, cnnindonesia.com, tirto.id, historia.id, kompas.com