SERPONG, ULTIMAGZ.com – Sebelum maraknya diskusi tentang kesehatan mental beberapa tahun ini, kesehatan mental di Indonesia adalah isu kesehatan yang terpinggirkan dibandingkan isu-isu seputar kesehatan fisik.
Salah satu bentuk isu kesehatan mental adalah depresi. Depresi merupakan gangguan suasana hati (mood) yang ditandai dengan perasaan sedih yang mendalam dan kehilangan minat terhadap hal-hal yang disukai, dilansir dari alodokter.com. Penyebabnya adalah adanya tekanan batin dan peristiwa yang terbilang traumatis.
Baca juga: Autisme atau Tidak, Bukan Sebuah Tolok Ukur Kemampuan Seseorang
Bunga (bukan nama sebenarnya) pernah mengalami depresi. Sebagai mahasiswa aktif di Jakarta, acap kali ia kesulitan membagi waktu antara kegiatan kampus dan urusan personalnya.
Suatu ketika, Bunga dihadapi masalah hingga ia tak sanggup lagi membendung pikirannya yang penuh kecemasan. Ia pun menutup seluruh komunikasi dengan dunia luar, termasuk sahabat dekatnya. Beberapa kali sahabatnya mencoba untuk mencari Bunga, tetapi tidak mendapatkan respons.
“Saat itu, aku benar-benar depresi. Benar-benar matikan semua komunikasi sama orang-orang terdekat aku,” cerita Bunga saat diwawancarai oleh ULTIMAGZ, Kamis (13/04/23).
Ia menginginkan waktu sendirian. Waktu untuk merenungkan apa yang salah dan di mana letak kesalahannya yang membuatnya tak bisa lagi berpikir jernih. Dirinya meringkuk sembari memohon agar gangguan kesehatan mental yang dialaminya bisa berhenti.
Bunga juga menambahkan bahwa kala itu dirinya beberapa kali terlintas untuk melukai dirinya. Hanya saja, segala pemikiran dan upaya tersebut hilang setelah Bunga mengingat kembali akan orang tua dan Tuhan.
“Aku benar-benar tahan (keinginan untuk melukai diri), karena aku ingat Tuhan, takut neraka, sama ingat orang-orang yang aku sayang,” katanya.
Dilansir halodoc.com, gejala yang timbul saat mengalami depresi adalah merasa putus asa, suasana hati buruk, sulit berkonsentrasi, dan timbul pikiran untuk menyakiti diri sendiri.
Bagi remaja, gejala depresi mungkin tampak seperti menarik diri dari keluarga atau aktivitas sosial, menutup diri selama percakapan atau konflik, lesu, sulit berkonsentrasi, putus asa tentang masa depan, atau perasaan negatif terhadap harga diri.
Riset dilakukan oleh tim Divisi Psikiatri Anak dan Remaja Fakultas Kesehatan di Universitas Indonesia (UI) mengenai isu kesehatan mental, dilansir dari konde.co. Mereka mencoba untuk memetakan keresahan mental remaja di periode transisi 16 sampai 24 tahun dari seluruh Indonesia, terutama mahasiswa tahun pertama.
Hasil riset mendapati sebanyak 95,4 persen menyatakan bahwa responden pernah mengalami gejala kecemasan. Sementara 88 persen pernah mengalami gejala depresi dalam menghadapi permasalahan selama rentang usia 16 hingga 24 tahun.
Kemudian, dari seluruh responden, sebanyak 96,4 persen kurang memahami cara mengatasi stres akibat masalah yang sering mereka alami.
Berharganya Dukungan dari Keluarga atau Orang Terdekat
Melihat kondisi Bunga, sang ibu menyadari bahwa Bunga membutuhkan intervensi dari luar untuk mengatasi depresi atau gangguan kesehatan mental yang dialaminya. Awalnya, Bunga belum berani untuk mengungkapkan masalahnya ke tenaga ahli karena merasa terpaksa dalam menceritakannya.
“Disuruh coba ke psikolog dan aku mau coba juga. Karena aku kira mungkin bisa menyelesaikan permasalahannya. Tapi, aku jadi gak bisa karena merasa dipaksa cerita,” ujar Bunga.
Namun, seiring berjalannya waktu, Bunga mulai terbuka untuk mengakui bahwa depresi bukanlah sesuatu yang memalukan dan harus disembunyikan.
Bunga mengambil langkah berani untuk menceritakan masalahnya ke lingkungan terdekatnya. Beberapa temannya juga mulai mendukung Bunga dalam menyelesaikan permasalahannya. Ia juga tidak menyangka bahwa teman-temannya peduli dengan keadaan yang dihadapi olehnya.
“Ternyata respons orang-orang gak seburuk itu dan mereka benar-benar care (peduli) sama aku,” katanya.
Bunga tak lagi merasa enggan untuk membicarakan soal isu kesehatan mental kepada keluarga dan temannya. Entah itu bicara mengenai emosi, kekhawatiran, ketakutan, kegembiraan, dan kesedihan sehari-hari yang muncul dalam diri masing-masing, Nyatanya, melalui percakapan ini, mereka menjadi bisa berempati dengan satu sama lain dan lebih memahami orang lain yang sedang mengalami hal serupa.
Meskipun kondisinya mentalnya sudah membaik, Bunga terkadang masih suka memikirkan kembali masa kelamnya. Alhasil, ia pun tiba-tiba merasa suasana hatinya menurun.
“Sebenarnya kalau membahas permasalahan yang pernah aku hadapi, jujur aku masih ke-trigger,“ katanya.
Bunga menekankan bahwa sebaiknya orang yang menjadi pendengar harus bisa memahami situasi yang dialami oleh penderita depresi. Alih-alih mengasihani mereka yang memiliki penyakit mental, sebaiknya dibantu dengan cara mengingatkan betapa kuatnya mereka yang telah berjuang bertempur dengan gangguan kesehatan mental.
Tidak hanya support system atau dukungan dari orang-orang terdekat, tetapi Bunga juga mengatakan bahwa waktu dengan diri sendiri sangat dibutuhkan bagi para penderita depresi untuk mencari solusi dari permasalahannya.
Depresi Bukan Artinya Lemah
Namun, tidak semua penderita depresi mendapatkan dukungan seperti Bunga. Kesadaran mengenai masalah kesehatan mental masih sangat minim di Indonesia. Banyak anggapan bahwa anak zaman sekarang tidak sekuat zaman dulu.
Psikolog Fiona Damanik sekaligus bertugas di Student Support Universitas Multimedia Nusantara (UMN), menjelaskan bahwa anggapan ini terjadi karena di zaman dulu belum ada akses edukasi kesehatan mental secara luas.
“Karena di masa remaja mereka (generasi lama), edukasi mengenai emosi dan kesehatan mental tidak segencar sekarang,” jelas Fiona kepada ULTIMAGZ pada Kamis (13/04/23).
“Gak ada yang namanya mental lemah ataupun mental kuat, yang ada adalah mental yang terlatih atau mental yang belum terlatih,” tambahnya.
Fiona juga memberikan tips untuk menjaga kondisi kesehatan mental. Salah satu caranya adalah mengenali emosi melalui refleksi diri.
“Tanyakan dan berdialog dirilah dengan diri sendiri, seperti kamu menyapa sahabatmu,” tuturnya.
“Tanyakan ke diri sendiri, tapi dengan penuh empati. Entah itu penuh kekesalan, entah ada kesal dan marah sekalipun. Tapi, kita mau bilang bahwa perasaan ini ada dan eksis secara nyata. So, it’s okay.”
Tidak hanya itu, Fiona juga mengatakan bahwa menunjukkan emosi bukan menandakan kelemahan. Di masyarakat Indonesia, anak laki-laki selalu diharapkan untuk menjadi kuat, agresif, tangguh, tidak ekspresif secara emosional, dan dominan. Hal ini dipaksakan oleh keluarga, sosialisasi, media, teman, dan sejumlah pengaruh lainnya.
Begitu juga sebaliknya. Perempuan selalu dianggap terlalu emosional dan sensitif, sehingga dituntut untuk tidak berlebihan.
“Sejak kecil, kita diajarkannya cowok gak boleh menangis, cewek gak boleh marah-marah. Emosi itu ditentang, sehingga ketika individu itu sudah dewasa, mereka tidak tahu cara mengenali emosi,” jelas Fiona.
Baca juga: Lansia: Individu dengan Semangat Besar dalam Keterbatasan Disabilitas
Sebagai bentuk perhatian UMN terhadap isu kesehatan mental di kalangan mahasiswa, Student Support hadir sebagai layanan konseling bagi mahasiswa UMN.
Seluruh mahasiswa UMN bisa berkonsultasi mengenai masalah yang dialami, baik akademik maupun non-akademik. Layanan Student Support juga bersifat terbuka bagi seluruh mahasiswa dan menjamin penuh kerahasiaan dalam proses konseling.
Penulis: Felix Abraham Surya
Editor: Alycia Catelyn, Michael Ludovico
Foto: Unsplash/Paola Chaaya
Sumber: alodokter.com, halodoc.com, konde.co