SERPONG, ULTIMAGZ.com – Setiap manusia memiliki kondisi serta perkembangan yang berbeda-beda baik secara fisik maupun mental. Hal ini yang menjadi pembeda dan membuat setiap individu memiliki keunikan serta ciri khasnya masing-masing.
Orang dengan spektrum autisme memang berbeda. Dalam dunia medis, terdapat suatu kondisi pada manusia yang memengaruhi perkembangan saraf mereka, ini dikenal dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) atau autisme.
Baca juga: Ibu Hamil Adalah Ibu yang Kuat, Bukan Berarti Tidak Butuh Bantuan
Dilansir dari halodoc.com, autisme merupakan gangguan perkembangan saraf pada seorang anak yang memberikan pengaruh pada kemampuan berkomunikasi, berinteraksi, serta berperilaku. Penyandang autisme atau yang disebut autistik cenderung mengalami kesulitan memahami orang lain serta sulit untuk mengekspresikan dirinya sendiri.
Maka dari itu, autisme tergolong disabilitas mental karena adanya perbedaan perkembangan mental yang menyebabkan keterbatasan terhadap fungsi pikir, emosi, dan perilaku.
Namun, kerap kali masyarakat Indonesia memandang individu autistik sebagai seseorang dengan gangguan jiwa karena mereka menunjukkan perilaku berbeda dan dianggap tak wajar.
“Autistik itu bukan cacat, melainkan suatu kondisi. Sama seperti anak pada umumnya yang lahir dengan kondisi khas yang sesuai dengan genetik mereka, misalnya introver, pemalu, supel, ekstrover, ceria, dan lainnya,” jelas Isti Anindya selaku Founder Peduli ASD dan ibu dari seorang anak autistik kepada ULTIMAGZ pada Senin (24/04/2023).
Kurangnya pemahaman mengenai autisme di masyarakat Indonesia juga membuat banyak orang masih melihat autisme sebagai suatu ‘penyakit’ yang perlu disembuhkan atau dihindari.
Stigma Autisme yang Masih Kental di Masyarakat Indonesia
Menurut Isti, di Indonesia saat ini masih banyak diskriminasi dan stigma yang melekat pada individu autistik di mata masyarakat.
“Kalau stigma negatif di bidang pendidikan, banyak penolakan-penolakan secara halus. Hal ini karena emang gak semua sekolah siap untuk menerima individu autistik. Atau ketika di sekolah ada (acara yang menampilkan) tarian, tapi karena dia autistik, dia gak bisa ikut karena dianggap gak mampu,” katanya.
Individu autistik kerap mengundang perhatian karena dianggap berbeda. Isti mengatakan bahwa banyak orang yang penasaran sehingga terus memperhatikan dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang membanding-bandingkan anak autistik dengan anak lainnya.
Gangguan-gangguan seperti cemoohan, pelecehan fisik, hingga stigmatisasi dapat menghambat individu autistik untuk mengakses beragam kesempatan dalam kehidupan mereka.
Cara pandang masyarakat ini dapat membuat para orang tua dari anak autistik menjadi merasa tak nyaman. Alhasil, mereka tidak mau membawa anaknya ke lingkungan masyarakat untuk menghindari komentar dan pandangan negatif tersebut.
Isti mengungkapkan bahwa stigma tersebut masih ada karena tidak banyak kelompok atau komunitas yang mengadvokasikan autisme kepada masyarakat.
Penyandang Autisme Dipandang Sebelah Mata
Banyak yang memandang penyandang autisme sebagai sosok yang tidak berdaya dikarenakan mereka memiliki kondisi mental yang kurang sempurna jika dibandingkan dengan standar normal. Nyatanya, mereka memiliki berbagai kelebihan atau keistimewaan.
Anak autis memiliki kemampuan visual yang kuat, dilansir dari health.detik.com. Anak autis lebih mudah mengerti sesuatu dari gambar daripada lewat lisan.
Sama halnya dengan manusia pada umumnya, anak dengan autisme juga memiliki kelebihan yang mungkin saja tidak dimiliki oleh orang lain. Namun, orang penyandang autisme banyak yang mengalami hinaan dan bahkan dikucilkan
Penyandang autisme memiliki perbedaan kebutuhan dengan masyarakat pada umumnya dikarenakan kondisi diri mereka yang berbeda. Kurangnya akomodasi yang memadai serta sikap-sikap negatif terhadap penyandang autisme mengakibatkan mereka mengalami hambatan dalam beraktivitas serta berpartisipasi di dalam masyarakat.
Hingga saat ini di Indonesia, penyandang autisme cenderung mendapat perlakuan diskriminatif bahkan diremehkan. Mereka kerap mendapat perlakuan yang tidak baik di ruang lingkup sosial, pendidikan, dan kesehatan.
Apabila masyarakat terus beranggapan bahwa penyandang autisme tidak mampu melakukan apa pun dan selalu membutuhkan bantuan, itu akan membatasi akses anak autistik mengenyam pendidikan normal, sampai mereka sudah dewasa ketika membutuhkan pekerjaan.
Anggapan lain yang secara tidak langsung mengkotak-kotakan para penyandang autisme adalah mereka harus bersekolah di tempat khusus dan tinggal di panti rehabilitas.
Edukasikan Diri dan Masyarakat Sekitar untuk Merangkul Penyandang Autisme
Berkaca dari pengalaman, Isti menyarankan untuk menyebarluaskan edukasi dan informasi seputar autisme pada diri sendiri dan masyarakat sekitar.
“Sama-sama belajar tentang autisme. Gak ada salahnya untuk masyarakat umum tahu dan sadar apa itu autisme dan bagaimana cara menanganinya,” katanya.
Isti pun memberi contoh. Misal, masyarakat dari beberapa negara maju seperti Amerika Serikat yang memiliki pemahaman mengenai autisme cukup besar sudah mengerti bagaimana cara bersosialisasi dengan individu autistik di tempat umum.
Agar Indonesia bisa menjadi lebih inklusif, masyarakat harus bisa menerima berbagai bentuk keragaman, dengan cara penerimaan. Hal itu dapat dimulai dengan menerima dan memahami bahwa tidak semua manusia sama, salah satunya mereka yang autistik.
“Semakin banyak edukasi dan pengetahuan, masyarakat juga akan tahu bagaimana cara menyikapi,” tambah Isti.
Menurut Isti, daripada memberikan pertanyaan tak pantas hanya untuk menjawab rasa penasaran, sebaiknya masyarakat bisa lebih menghargai perkembangan dan usaha yang sudah dilakukan dengan memberikan apresiasi kepada penyandang autisme serta keluarganya.
Anak-anak autis memiliki akses yang sangat terbatas ke pendidikan karena kurangnya pemahaman tentang kebutuhan mereka, kurangnya guru yang terlatih, dukungan kelas, sumber daya serta fasilitas pembelajaran. Hal itu memiliki dampak seumur hidup pada kesempatan belajar, prestasi dan pekerjaan mereka di masa depan.
Peran masyarakat sangat dibutuhkan lantaran penyandang autisme masih belum mendapatkan penerimaan sosial yang dibutuhkannya.
Pada akhirnya, autisme bukanlah sesuatu yang harus berfokus kepada kekurangannya saja. Mereka dengan autisme memiliki segudang potensi dan kelebihan sama seperti manusia pada umumnya.
Baca juga: Stigma Menstruasi terhadap Perempuan Datang dari Masyarakat yang Seharusnya Merangkul
“Saya berharap diskriminasi atau stigma itu pelan-pelan akan menghilang dengan meningkatnya pemahaman masyarakat bahwa kondisi autisme itu cuma perlu diterima. Karena itu bukan suatu penyakit berbahaya atau infeksi yang harus segera dimusnahkan,” ucap Isti.
“Biarkan mereka (penyandang autisme) tumbuh dengan apa yang mereka punya, tugas kita hanya mengoptimalkan apa yang mereka punya, membantu mereka untuk bisa berbaur dengan cara mereka, jangan paksa mereka untuk menjadi orang lain.”
Penulis: Wynnie Saputri Jansen
Editor: Alycia Catelyn
Foto: Unsplash/Ben Wicks
Sumber: halodoc.com, liputan6.com, jalastoria.id, health.detik.com