SERPONG, ULTIMAGZ.com – Selama berabad-abad dan hingga saat ini, beberapa orang Asia masih memiliki obsesi terhadap kulit putih. Di Asia, standar kecantikan eurosentris (pandangan dunia yang condong ke kebudayaan Eropa) lebih dipandang ideal dengan mengaitkan daya tarik dan kulit yang lebih cerah.
Survei ZAP Beauty Index pada 2018 membuktikan, 70 persen dari 17.899 wanita di Indonesia mengartikan cantik sebagai kondisi kulit tubuh dan wajah terlihat bersih, cerah, dan berkilau. CEO dan Pendiri ZAP Clinic Fadly Sahab mengungkap bahwa satu dari empat remaja berusia kurang dari 18 tahun menginginkan kulit lebih putih.
“Untuk remaja berusia kurang dari 18 tahun, satu dari empat responden mengatakan kulit putih dianggap sangat penting. Mungkin karena pengaruh peer pressure (tekanan sosial) juga,” ujar Fadly kepada kompas.com.
Maka dari itu, hampir 60 persen responden survei membeli produk yang mengaku dapat mencerahkan kulit. Padahal Yosanova Savitry selaku associate VP head of Hi-Tech, Property, Consumer Industry Markplus Inc menjelaskan, masalah utama pada responden bukan untuk mendapatkan kulit yang putih.
“Produk yang bisa mencerahkan kulit paling dicari konsumen. Padahal, ketika ditanya apa masalah utama kulitnya, 59 persen menjawab masalahnya adalah jerawat,” kata Yosanova.
Ada norma budaya yang telah mengakar dan terlibat dalam perdebatan tentang warna kulit serta kecantikan ini. Di beberapa ranah masyarakat, terutama di Asia, kulit gelap telah lama dikaitkan dengan pekerjaan di ladang atau buruh. Pasalnya, kulit gelap dianggap merupakan penyebab dari melakukan pekerjaan di bawah terik matahari. Di sisi lain, kulit putih pucat dikaitkan dengan kehidupan kosmpolitan yang lebih nyaman di dalam ruangan, jauh dari sinar matahari. Warna kulit pun menjadi tanda kelas sosial.
Hal ini membuat orang mendambakan kulit lebih putih karena mereka tampaknya memiliki status sosial yang lebih tinggi. Selain itu, sebagian besar negara di Asia dijajah oleh orang kulit putih dari Amerika dan Eropa. Kekuatan dan kekayaan yang dimiliki penjajah secara visual ditampilkan melalui warna kulit mereka yang cerah.
Berkeinginan untuk memiliki kulit lebih putih ini terbukti dari banyaknya produk kosmetik dan kecantikan yang telah menghasilkan pasar pemutih kulit bernilai miliaran di Asia. Sabun, pil, kosmetik, apa pun itu bentuknya, produk pemutih kulit telah secara dramatis meningkatkan nilainya di pasar global dalam dekade terakhir.
Dilansir dari scmp.com, survei dari Organisasi Kesehatan Dunia mengungkapkan, 40 persen wanita di Tiongkok, Malaysia, Filipina, dan Korea Selatan menggunakan produk pemutih kulit secara teratur. Jika popularitasnya terus berkembang, industri ini diperkirakan bernilai 8,9 miliar dollar Amerika Serikat atau setara dengan Rp 125 triliun.
Indah Widyasari selaku dokter spesialis kulit dan kelamin pernah mengatakan kepada cnnindonesia.com bahwa produk yang memiliki fungsi memutihkan bisa merusak sel penghasil pigmen kulit secara total. Merkuri dan hiroquinon, misalnya. Kedua bahan tersebut sudah dilarang beredar bebas oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Akan tetapi, tidak masalah bila produk tersebut aman untuk dipakai.
“Kalau sekarang istilahnya lightening, brightening, ini menggunakan bahan-bahan yang tidak berbahaya misalnya vitamin C. Ini untuk menyehatkan, menghilangkan kusam, memperbaiki tone warna yang tidak rata atau memperbaiki distribusi pigmen,” jelas Indah.
Selain budaya dan industri, media juga berperan dalam hal ini. Media memengaruhi psikologi untuk menciptakan perasaan hampa pada orang Asia dengan meyakinkan mereka bahwa untuk menjadi sukses dalam hidup perlu memiliki standar kecantikan tertentu, seperti memiliki kulit yang cerah. Gunanya untuk menarik perhatian dan rasa hormat. Dengan demikian, orang-orang dihadapkan pada cita-cita memiliki kulit putih sejak usia muda yang memungkinkan standar ini menjadi tertanam kuat dalam masyarakat.
Namun, belakangan ini orang-orang mulai berpikiran terbuka. Beberapa masyarakat mulai merangkul keindahan warna kulit yang lebih gelap dengan gagasan bahwa semua warna kulit itu indah. Terlebih Indah juga mengatakan karena ‘kadar’ kecerahan kulit tiap orang pasti berbeda-beda dan tak bisa disamakan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa norma kecantikan kulit putih yang dominan masih lazim di beberapa negara Asia, tetapi mereka mulai ditantang oleh standar kecantikan yang baru. Ada ruang untuk perubahan dalam masyarakat untuk menghancurkan standar kecantikan yang diskriminatif demi mempromosikan masyarakat yang inklusif.
Penulis: Alycia Catelyn
Editor: Elisabeth Diandra Sandi
Foto: Shutterstock
Sumber: scmp.com, breakingasia.com, cnnindonesia.com, kompas.com