JAKARTA, ULTIMAGZ.com – Meskipun zaman sudah semakin berkembang, beberapa orang masih memandang tato sebagai sesuatu yang tabu dan lekat dengan stigma negatif. Pemilik tato biasanya dicap sulit mendapat pekerjaan, jahat, nakal, sapaan preman, dan berbagai sentimen lain yang ada di masyarakat.
Melansir dari kompas.com, sebuah riset dari LinkedIn tahun 2018 mengungkap temuan bahwa 9:10 perekrut berpikir bahwa tato yang dimiliki calon karyawan dapat membatasi perkembangan karir yang bersangkutan. Sebanyak 75 persen dari jumlah itu percaya kesan pertama merupakan modal awal dalam proses perekrutan karyawan. Selanjutnya, fakta yang lebih lugas mengungkap 4:10 profesional yang bertugas merekrut karyawan menolak kandidat yang tepat, hanya karena mereka memiliki tato.
Hal ini membuktikan bahwa tato belum dapat diterima di semua kalangan, seringkali para pemilik tato lekat dengan stigma bahwa mereka tidak professional. Memang, tidak ada aturan yang benar-benar melarang pegawainya untuk bertato, tetapi kerap kali dikaitkan dengan kepantasan.
Stigma Negatif Terhadap Tato
Mengutip dari antaranews.com, peradaban tradisional nusantara yang paling dikenal budaya tato adalah orang-orang Mentawai. Tato masyarakat Mentawai disebut sebagai peradaban menggambar tubuh yang paling tua di dunia sejak zaman neolitikum dan disebut telah hadir sejak 500SM.
Selain itu, budaya melukis tubuh digunakan oleh masyarakat Dayak sebagai simbol strata sosial dan kelas ekonomi. Semakin banyak tato yang dimiliki, semakin tinggi derajatnya di masyarakat. Bagi masyarakat Dayak, tato dianggap sebagai sesuatu yang sakral, berkaitan erat dengan ritual maupun prosesi yang mereka jalankan.
Melansir dari kumparan.com, stigma negatif mengenai tato mulai muncul pada zaman Orde Baru kala itu pada tahun 1983-1984. Masyarakat memiliki kekhawatiran yang tinggi akibat meningkatnya tindak kriminalitas. Pemerintah pun menumpas pelaku kejahatan dengan cara penembakan misterius atau yang sering disingkat Petrus. Orang yang memiliki tato dianggap sebagai bagian dari pelaku kejahatan dan menjadi korban penembakan misterius tersebut.
Hal ini dapat tejadi karena preman kala itu menggunakan tato sebagai identitas kelompoknya, sehingga pemerintah pun menjadikan tato sebagai indikator sasaran tindak kejahatan. Semenjak itu, makna tato pun bergeser. Jika sebelumnya dipandang sakral oleh masyarakat adat, tato menjadi simbol kekuasaan yang erat kaitannya dengan kekerasan.
Tirto.id menulis bahwa di masa Orde Baru, mereka yang pemilik tato juga dianggap sebagai musuh negara atau antek-antek komunis. Dalam Jurnal Perempuan oleh Winanti Praptiningsih, hingga hari ini tato masih dianggap sebagai praktik budaya menyimpang dan bertentangan dengan kultur moralitas.
Tato dan perempuan
Sejarah politik Indonesia merekam tato dan tubuh perempuan sebagai bagian dari praktik penegasan pihak.
“Dalam tragedi tahun 1965, banyak kesaksian yang pernah mencatat pengakuan perempuan-perempuan yang dituduh PKI, tato di tubuh dianggap sebagai sesuatu yang binal dan tak bermoral. Pada berbagai operasi penangkapan, perempuan diminta membuka tubuhnya untuk melihat adakah tato lambing Palu Arit atau tidak,” tulis Winanti dalam Jurnal Perempuan.
Bertahun-tahun setelah masa kegelapan di Indonesia sudah lewat, tato masih menjadi citra buruk bagi banyak orang. Di tengah budaya patriarki yang masih kental, perempuan yang memiliki tato masih banyak mendapat sentimen dari masyarakat. Mereka lekat dengan stigma sosial dan bahkan beberapa dipinggirkan.
Tato di tubuh perempuan kerap kali dikatikan dengan moral dan kepantasan. Sebagai contoh, Menteri Susi Pudjiastuti seringkali disorot karena penampilan fisik dirinya: merokok, bertato, dan tak segan dalam berekspresi. Meskipun begitu, Menteri Susi merupakan gambaran nyata bahwa stigma-stigma negatif tersebut tidaklah benar. Justru dirinya mampu menjalankan tugasnya dengan sangat baik dan memberikan hasil kerja nyata di hadapan masyarakat Indonesia.
Melawan Stigma Tato di Indonesia
Dengan zaman yang semakin berkembang, masyarakat semakin sadar bahwa setiap orang memiliki caranya masing-masing dalam mengekspresikan dirinya, termasuk dengan membuat tato di tubuh. Bahkan, saat ini sebagian orang menganggap tato sebagai gaya hidup masa kini; sebuah tren di beberapa kalangan agar terlihat keren.
Tentunya ada akibat buruk yang terjadi dari tren ini. Makna tato yang sebelumnya erat dengan sesuatu yang sakral, bergeser makna menjadi ajang keren-kerenan dan sekedar ikut-ikutan. Banyak orang yang tidak mengetahui arti dari tato di tubuhnya karena hanya sekadar mengikuti temannya.
Sisi baiknya, perlahan-lahan, tampaknya steriotipe negatif mengenai pemilik tato sudah mulai memudar. Melansir dari liputan6.com, generasi saat ini dari rentang umur 20-30 lebih terbuka dengan keanekaragaman. Akhirnya, kini semakin banyak orang yang dapat mengekspresikan diri sepenuhnya tanpa takut tidak diterima baik di tempat kerja.
Memang, masih ada perusahaan yang melarang karyawannya untuk bertato, seperti dalam industri penerbangan, pemerintahan, dan sebagainya. Namun, ada pula yang mengizinkan tetapi harus ditutupi.
Perlu disadari bahwa kemampuan dan sikap seseorang tidak ditentukan dari penampilan luarnya saja. Setiap orang memiliki hak atas tubuhnya sendiri, jangan sampai persepsi dan stigma negatif membatasi orang lain dalam menjadi diri sendiri.
Penulis: Keisya Librani Chandra
Editor: Xena Olivia
Sumber: kumparan.com, antaranews.com, tirto.id, glints.com, kompas.com, liputan6.com
Foto: greatmind.id