• About Us
  • Privacy Policy
  • Redaksi
  • Advertise & Media Partner
  • Kode Etik
Sunday, June 8, 2025
No Result
View All Result
ULTIMAGZ
  • Beranda
  • Info Kampus
    • Berita Kampus
    • Indepth
  • Hiburan
    • Film
    • Literatur
    • Musik
    • Mode
    • Jalan-jalan
    • Olahraga
  • Review
  • IPTEK
  • Lifestyle
  • Event
  • Opini
  • Special
    • FOKUS
    • PDF
  • Artikel Series
  • Ultimagz Foto
  • Beranda
  • Info Kampus
    • Berita Kampus
    • Indepth
  • Hiburan
    • Film
    • Literatur
    • Musik
    • Mode
    • Jalan-jalan
    • Olahraga
  • Review
  • IPTEK
  • Lifestyle
  • Event
  • Opini
  • Special
    • FOKUS
    • PDF
  • Artikel Series
  • Ultimagz Foto
No Result
View All Result
ULTIMAGZ
No Result
View All Result
Home Lainnya

Produk Organik Masih Mahal, Ini Alasannya

by Jairel Danet Polii
November 25, 2020
in Lainnya, Lifestyle
Reading Time: 2 mins read
0
SHARES
101
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

SERPONG, ULTIMAGZ.com – Gaya hidup sehat dengan berolahraga secara teratur telah menjadi tren baru di kalangan masyarakat modern, terutama di tengah pandemi Covid-19. Namun, semua kegiatan ini rupanya tidak diimbangi dengan konsumsi makanan sehat, seperti misalnya produk organik.

Banyak alasan mengapa masyarakat kurang tertarik mengonsumsi produk organik. Pertama adalah rasanya yang kurang sedap. Kemudian bahannya sulit dicari sebab hanya dijual di tempat tertentu saja. Selain itu, harganya jauh lebih mahal dibandingkan makanan lain apalagi untuk dikonsumsi sehari-hari.

Direktur Aliansi Organik Indonesia (AOI) Stevanus Wangsit mengiyakan hal ini. Stevanus menyatakan bahwa harga produk organik dapat mencapai dua hingga tiga kali lipat dari yang non-organik.

“Sayangnya melihat kondisi saat ini produk organik nampaknya hanya bisa dijangkau untuk kelas menengah ke atas,” ungkapnya.

Menurutnya, ada perbedaan antara pola kerja petani organik dan biasa. Para petani tanaman organik harus bekerja setiap hari dan melakukan pekerjaannya secara manual. Mulai dari menanam tumbuhan, memberikan pupuk, sampai membersihkan hama semuanya menggunakan tangan. Sebabnya, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan tidaklah sedikit.

“Para petani ini harus setiap hari merawat tumbuhannya, tidak menggunakan alat dan bahan kimia, tetapi pakai tangan. Risiko gagal panen tinggi. Jika gagal mereka harus mengulang dari awal,” tutur Stevanus.

Selain itu, produk organik memerlukan fasilitas modern. Tanahnya juga harus khusus agar hasilnya maksimal.  Penanganan pascapanen pun turut menjadi masalah lainnya. Pengemasan dan distribusinya harus mendapat perlakuan khusus supaya produk yang dikirim sampai tanpa mengalami kerusakan.

Berbanding terbalik dengan petani ‘modern’, mereka tidak perlu datang ke ladang setiap hari. Pestisida dan pupuk kimia yang digunakan sudah cukup menjaga tumbuhannya dari serangan hama, bahkan mempercepat pertumbuhan. Oleh karena itu, petani organik tidak akan bisa memanen secepat petani biasa

Hingga saat ini petani produk organik belum mendapatkan subsidi dari pemerintah. Berbeda dengan petani biasa yang secara reguler menerima subsidi dalam bentuk benih, pupuk, hingga alat pertanian. Hal inilah yang membuat banyak produsen tidak mau terjun total ke dalam industri organik. Kesulitan mengelolanya dan hasil yang didapat masih belum terlalu meyakinkan.

“Jumlah podusen belum banyak sehingga tingkat persaingan masih rendah. Hal inilah yang membuat mereka tidak takut menahan harga,” ungkap Stevanus.

Alasan-alasan tersebutlah yang membuat produk organik hingga saat ini masih sulit untuk bisa dinikmati oleh semua kalangan.

Penulis: Jairel Danet Polii

Editor: Abel Pramudya

Foto: Androw Parama

Tags: artikelseriespanganGaya Hidupgaya hidup sehatolahragaproduk organik
Jairel Danet Polii

Jairel Danet Polii

Related Posts

Tempe: Hasil Fermentasi Mendunia yang Berakar dari Jawa
Kuliner

Tempe: Hasil Fermentasi Mendunia yang Berakar dari Jawa

May 27, 2025
Kopi yang berasal dari feses gajah. (antaranews.com)
Lifestyle

Dari Feses Gajah ke Cangkir Kopi: Cerita di Balik Kopi Ivory

May 27, 2025
Potret salah satu bahan sushi, kani. (istockphoto.com)
Lifestyle

Sushi Kani Ternyata Bukan Kani, tapi Surimi? Ini Faktanya!

May 23, 2025
Next Post
kandungan glikemik dalam nasi (ultimagz)

Mengenal Kandungan Glikemik dalam Nasi

Popular News

  • wawancara

    Bagaimana Cara Menjawab Pertanyaan ‘Klise’ Wawancara?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Risa Saraswati Ceritakan Kisah Pilu 5 Sahabat Tak Kasat Matanya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Ivanna Van Dijk Sosok Dari Film ‘Danur 2 : Maddah’

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gading Festival: Pusat Kuliner dan Rekreasi oleh Sedayu City

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merasa Depresi? Coba Cek 4 Organisasi Kesehatan Mental Ini!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Pages

  • About Us
  • Advertise & Media Partner
  • Artikel Terbar-U
  • Beranda
  • Kode Etik
  • Privacy Policy
  • Redaksi
  • Ultimagz Foto
  • Disabilitas

Kategori

About Us

Ultimagz merupakan sebuah majalah kampus independen yang berlokasi di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Ultimagz pertama kali terbit pada tahun 2007. Saat itu, keluarga Ultimagz generasi pertama berhasil menerbitkan sebuah majalah yang bertujuan membantu mempromosikan kampus. Ultimagz saat itu juga menjadi wadah pelatihan menulis bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) UMN dan non-FIKOM.

© Ultimagz 2021

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Info Kampus
    • Berita Kampus
    • Indepth
  • Hiburan
    • Film
    • Literatur
    • Musik
    • Mode
    • Jalan-jalan
    • Olahraga
  • Review
  • IPTEK
  • Lifestyle
  • Event
  • Opini
  • Special
    • FOKUS
    • PDF
  • Artikel Series
  • Ultimagz Foto

© Ultimagz 2021