JAKARTA, ULTIMAGZ.com – Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengkritik DPR karena tidak memprioritaskan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). DPR dinilai justru mengedepankan Revisi UU KPK dan RUU KUHP. Padahal, RUU PKS sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2016. Sementara itu, Revisi UU KPK disahkan hanya dalam 12 hari.
Kritik tersebut disampaikan Asfinawati dan sejumlah massa di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (17/09/09). Melalui orasinya, Asfinawati mengingatkan massa pendukung RUU PKS akan bahaya RUU KUHP, terutama pasal mengenai hukum yang hidup di masyarakat.
“Hukum yang hidup di masyarakat tidak tertulis. Apakah hukum yang hidup di masyarakat itu? Tidak ada yang tahu. Hukum yang hidup di masyarakat bisa apa saja, hukum yang mereka anggap menguntungkan mereka. Hukum yang hidup di masyarakat bisa berarti peraturan-peraturan daerah yang diskriminatif,” seru Asfinawati dari atas mobil komando.
Asfinawati menjelaskan, pasal dari RUU KUHP bisa mengkrimalisasi perempuan dan anak-anak korban kekerasan seksual, orangtua, masyarakat miskin, jurnalis, petani, dan nelayan. Oleh karena itu, Asfinawati mengimbau massa pendukung RUU PKS agar tidak bergantung begitu saja kepada kata-kata DPR dan pemerintah.
Kemudian, perwakilan Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR) Ren mengingatkan betapa daruratnya pengesahan RUU PKS bagi para pekerja migran Indonesia. Diketahui, banyak pekerja migran Indonesia yang mengalami pelecehan seksual, penganiayaan, dan kasus human trafficking. Oleh karena itu, RUU PKS penting untuk melindungi pekerja migran Indonesia dari pelecehan seksual.
“Pemerintah harus mendengar, memberikan perlindungan kepada rakyat dengan segera mengesahkan RUU PKS. Berapa banyak korban kekerasan seksual, berapa banyak korban human trafficking yang tidak hanya mengalami kekerasan, tetapi sudah menjadi mayat,” lantang Ren.
Menurut Ren, kasus-kasus tersebut terjadi lantaran pemerintah tidak menciptakan lapangan pekerjaan yang cukup sehingga para pekerja Indonesia terpaksa pergi ke luar negeri.
“Teman-teman [pekerja Indonesia migran] tak akan ke luar negeri kalau di Indonesia diciptakan lapangan pekerjaan. Sekarang, teman-teman buruh banyak yang di-PHK [Pemutusan Hubungan Kerja]. Banyak perempuan yang di-PHK. Mereka tidak mempunyai pilihan lain, selain pergi ke luar negeri mencari pekerjaan,” kata Ren.
Penulis: Ignatius Raditya Nugraha
Editor: Geofanni Nerissa Arviana
Foto: Ignatius Raditya Nugraha