Menyaksikan secara langsung bagaimana tim nasional Indonesia dibantai 4-0 oleh Filipina pada Selasa (25/11) adalah pengalaman yang sangat menyakitkan. Dengan sangat tipisnya peluang untuk lolos ke babak semi-final Piala AFF 2014, untuk memiliki rasa optimistis-pun rasanya adalah hal yang sulit.
Bagi segelintir golongan, Tuhan adalah sesuatu yang abstrak, tidak bisa dibuktikan keberadaan dan kebenarannya. Mengutip Tan Malaka, dalam bukunya yang berjudul Madilog, ini adalah sebuah Logika Mistik yang berlawanan dengan Hukum Evolusi dan Hukum Perpaduan (Hukum Dalton), tidak lebih kuat dari kekuatan alam.
Namun, apabila kita berdasarkan ajaran Kristiani (atau Katolik), maka kita akan menemukan sebuah cerita di mana Tuhan Yesus Kristus, setelah bangkit dari kematian, pernah bersabda, “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.”
Teruntuk kita, manusia, dikaruniai indera pengelihatan bisa jadi merupakan salah satu “kutukan”. Karena, apa yang kita lihat, itulah yang nyata, yang lain tidak. Sama dengan kasus kebangkitan Tuhan Yesus, kehancuran timnas Indonesia di tangan Filipina di My Dinh Stadium, Hanoi, Vietnam pun adalah hal yang nyata, namun sekaligus mengundang tanya, apa yang sekarang seharusnya dilakukan oleh para pendukung tim Merah-Putih?
Semua yang menonton, baik di stadion ataupun di televisi, pasti menyadari betapa di bawah standarnya permainan Indonesia. Seperti kata pelatih Filipina, Thomas Dooley, The Azkals telah berhasil mendikte permainan anak-anak asuh Alfred Riedl sejak menit awal pertandingan. Ketika peluit panjang dibunyikan, kita tahu bahwa ini adalah kali perdana Filipina menjadi tim yang pertama lolos ke babak semi-final Piala AFF sepanjang sejarah keikutsertaan mereka. Sementara, Indonesia semakin dekat untuk menyamai, atau mungkin lebih buruk dari pencapaian mereka dua tahun silam.
Kemenangan 3-0 Vietnam atas Laos semakin memperkecil celah untuk Indonesia lolos ke semi-final yang tadinya sudah sangat sempit. Kini, nasib Indonesia juga bersandar pada pertandingan antara Vietnam vs Filipina yang akan digelar pada waktu bersamaan ketika mereka menghadapi Laos pada hari Jumat (28/11) mendatang.
RIEDL PATUT DISALAHKAN?
Tentu saja, sebelum pertandingan dimulai, hampir tidak ada yang menyangka bahwa Indonesia akan tunduk empat gol tanpa balas dari Filipina, negara yang kurang lebih satu dekade lalu hanya dianggap sebagai lawakan di peta kekuatan sepak bola ASEAN. Memang, kita tahu bahwa kekuatan Filipina berangsur membaik dalam beberapa tahun terakhir, tetapi skor ini tetap saja terlalu mencengangkan. Belum lagi, Indonesia menciptakan tiga hal konyol (blunder + penalti, kartu merah, back pass) yang dua di antaranya berakhir dengan gol.
Jika mengingat ucapan Sam Longson yang diperankan oleh Jim Broadbent dalam film The Damned United, maka pelatih adalah sosok yang nilai keberadaannya paling rendah di dalam sepak bola. Segala kegagalan, sudahlah pasti akan dilimpahkan kepada mereka. Dalam kasus Indonesia, jelas jari akan menunjuk kepada satu sosok, yakni Alfred Riedl selaku pelatih timnas Indonesia.
Dalam konferensi pers seusai laga, Riedl sendiri langsung menyatakan bahwa dirinya mungkin pantas untuk disalahkan atas hasil yang di luar harapan ini. Dengan besar hati, pelatih yang terkenal tegas tersebut secara blak-blakan mengatakan bahwa dirinya meminta maaf kepada pendukung Indonesia dan siap untuk mundur apabila gagal menjadi juara (sesuai dengan janjinya kepada La Nyalla Matalliti, yang entah karena salah bicara atau tidak, disebut Riedl sebagai mr. president).
Namun, Riedl sejak awal telah mengeluhkan bahwa timnas Indonesia tidak memiliki waktu persiapan yang cukup. Para pemain mengalami kelelahan karena Indonesia Super League baru berakhir beberapa pekan sebelum gelaran Piala AFF dimulai. Terlebih lagi, Pemilihan Umum yang digelar dua kali juga turut “membantu” berkurangnya waktu bagi timnas untuk mempersiapkan diri.
Pertanyaanya, apakah kurangnya waktu persiapan ini adalah kesalahan Riedl? Jujur, saya kagum dengan kegigihan Riedl yang cenderung “melindungi” Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI). Memang, mungkin PSSI juga tak bisa banyak melawan agenda pemerintah. Tetapi, bukankah PSSI juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan waktu yang cukup kepada Riedl beserta staf kepelatihannya untuk mempersiapkan tim yang Ia inginkan? Mengkambing hitamkan Riedl, dalam cermat saya, adalah sesuatu yang naif. Karena, alasan kelelahan dan minimnya waktu persiapan bukan satu kali saja diutarakan, melainkan sudah berulang kali. Ini artinya, Riedl secara tidak langsung telah memohon pengertian kepada suporter Indonesia untuk tidak berekspektasi tinggi, tanpa harus mematikan mimpi (menjadi juara). Ini adalah alasan yang valid, dan bisa dibuktikan kebenarannya.
MENGHARAPKAN KEAJAIBAN
Sekarang, inilah kondisi yang harus dihadapi. Nyata sesungguhnya, dan berat sepenuhnya. Ibaratnya, hanya keajaiban yang bisa membuat langkah Indonesia di Piala AFF terus melaju. Percayakah Anda kepada keajaiban? Sesuatu yang (secara tak langsung) menurut Tan Malaka adalah Logika Mistis karena tidak dapat dibuktikan melalui hukum alam?
Sebenarnya, jika kita mundur empat tahun ke belakang, bukankah kita sudah pernah melihat keajaiban? Seusai dibantai Indonesia 5-1, dan hasil seri melawan Thailand, Malaysia yang awalnya tidak dijagokan untuk lolos ke babak semi-final, pada akhirnya malah menjadi juara untuk pertama kalinya. Meski kondisinya sedikit berbeda dengan Indonesia hari ini, itu adalah salah satu bukti bahwa keajaiban itu juga “nyata” adanya.
Berbahagialah mereka telah yang melihat permainan Indonesia, namun tetap percaya bahwa kita masih bisa lolos ke semi-final. Selain karena hanya tinggal itu yang bisa kita lakukan, Anda bisa membanggakan diri seandainya keajaiban benar-benar menemani Riedl beserta pasukannya di hari Jumat nanti.
[divider] [/divider] [box title=”Info”]
Penulis: Evans Simon
Editor : Ghina Ghaliya
Foto: Evans Simon
[/box]