Vietnam secara tidak beruntung harus menerima hasil imbang 2-2 melawan Indonesia di My Dinh Stadium pada Sabtu (22/11) kemarin. Meski cukup mengecewakan, terutama setelah dua kali unggul, Vietnam boleh berbangga hati memiliki suporter yang begitu mengagumkan.
Udara dingin begitu menusuk di malam itu. Kami, para jurnalis yang berada di tribun pers My Dinh, harus berjuang melawan iklim yang memang sudah sewajarnya terjadi di Hanoi ketika memasuki bulan November, yakni musim dingin (Vietnam memiliki empat musim). Namun, apa yang ditampilkan oleh para suporter Vietnam tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Sebagai satu dari dua negara berideologi komunis di ASEAN, Anda tidak akan sulit menemukan lambang palu dan arit di Hanoi. Ketika Anda menjejakkan kaki di bandara Noi Bai, bukan tidak mungkin Anda akan berpikir betapa kuno-nya negara ini. Gedung-gedung yang sudah berwarna pucat, jalan raya yang begitu lebar, hingga arus lalu lintas yang dua kali lipat lebih semerawut dibandingkan Jakarta pada jam-jam pulang kantor adalah pemandangan yang akan memaksa Anda berpikir bahwa penduduk di sini masih “primitif”.
Dengan berbagai pengetahuan amatir tentang komunisme dan Vietnam, maka saya berpikir bahwa Vietnam memiliki kultur yang keras dan militan jika sudah berbicara mengenai sepak bola. Maklum, selama ini sepak bola lebih identik dengan fanatisme negatif ketimbang fanatisme positif. Ternyata, justru saya yang belajar bagaimana menikmati sepak bola yang penuh apresiasi dan tanpa kebencian berlebihan.
Apabila timnas Vietnam harus berbagi poin satu dengan Indonesia, attitude suporter Vietnam pantas mendapatkan poin sempurna, yakni tiga poin:
1. ATMOSFER STADION
Meski AFF Cup adalah turnamen paling bergengsi di Asia Tenggara, ternyata hal tersebut belum menarik animo masyarakat. Buktinya, stadion My Dinh tidak terisi penuh meski Vietnam menunjukkan performa gemilang dalam enam bulan terakhir. Di bawah arahan pelatih Toshiya Miyura, Vietnam hanya satu kali kalah dalam enam laga uji coba sebelum AFF Cup. Beberapa informasi mengatakan bahwa skandal pengaturan skor yang dilakukan oleh salah satu klub Vietnam di ajang AFC Cup turut menyebabkan bertambahnya ketidakpedulian masyarakat. Rata-rata jumlah suporter per pertandingan di Vietnam League (V-League) tahun 2010 yang mencapai angka 10.208 penonton juga mengalami penurunan pada V-League 2014 yang rata-ratanya “hanya” 7.600 penonton.
Pada pertandingan kemarin, My Dinh (berkapasitas 40.000 penonton) juga tidak terisi penuh. Bahkan, tidak ada aksi yang berlebihan dan menyeramkan untuk meneror lawan. Sepanjang laga, mereka tak cukup sering bernyanyi. Bahkan, sependengaran saya, mereka hanya berteriak “Vietnam! Vietnam!”. Tidak ada lagu-lagu sebagaimana layaknya suporter sepak bola yang memiliki berbagai chant. Tetapi, seperti yang juga diakui oleh Alfred Riedl, para pemain Indonesia tetap merasakan tekanan dari pendukung tuan rumah.
Dalam beberapa momen, para pendukung Vietnam juga menyalakan lampu handphone. Dengan seketika, My Dinh berisi dengan cahaya layaknya sedang menonton konser. Tak peduli apakah itu ketika mereka sedang unggul ataupun tidak.
2. HIBURAN KELUARGA
Ketika saya tiba di hari pertandingan, suasanya di sekitar My Dinh sudah dipadati oleh para pendukung Vietnam, para penjual atribut, dan juga, tak ketinggalan, calo tiket, yang secara mengejutkan justru didominasi oleh wanita.
Memasuki stadion, Anda tidak akan menemukan pedagang-pedagan asongan yang masuk dengan membayar oknum-oknum terkait. Seluruh penjual makanan dan minuman sudah memiliki tempatnya sendiri dan tertata cukup rapih. Makanan yang dijual? Sosis (non-halal), roti, hot dog (non-halal), pop corn, dan sebagainya.
Namun, di antara itu semua, ada satu hal yang benar-benar saya beri perhatian lebih, yakni bagaimana sepak bola menjadi hiburan bagi seluruh keluarga, tanpa mengurangi passion terhadap indahnya permainan ini. Bukan hanya satu atau dua yang membawa anaknya ke stadion, melainkan hampir sekitar 50% penonton! Ada banyak sekali anak-anak kecil yang ikut memberikan dukungan dengan bersemangat, bersorak ketika Vietnam mencetak gol, dan kecewa ketika Indonesia menyamakan kedudukan. Bahkan, saya juga menemukan seorang kakek yang ditemani (mungkin) oleh anaknya di tribun atas.
Hal lainnya yang membuat saya terkejut adalah tidak adanya yang merokok di kawasan bangku penonton. Padahal, Vietnam sama saja seperti Indonesia yang memperbolehkan para perkokok untuk membakar dan menghisap tembakau dengan kebebasan tertinggi (di ruang publik). Sungguh tak dapat dipercaya.
3. RESPEK
Pada menit ke-66, Pham Thanh Luong mendapatkan kartu kuning karena menekel Sergio van Dijk. Bukannya memberi cacian atas dasar ketidaksetujuan, para pendukung Vietnam malah memberikan tepuk tangan, yang dalam cermat saya untuk menyemangati sang pemain. Baru pertama kali saya tahu ada kejadian seperti ini di dalam sepak bola.
Memang, sebelumnyapun, tepatnya ketika momen pemutaran lagu kebangsaan Indonesia, suporter tuan rumah telah menunjukkan sikap yang luar biasa terpuji. Mereka bertepuk tangan sebelum dan sesudah Indonesia Raya diputar, serta berdiri tanpa membuat kebisingan ketika Indonesia Raya berkumandang.
Sesudah Samsul Arif mencetak gol di menit-menit akhir pertandingan, pendukung Vietnam juga tidak kecewa secara berlebihan. Mereka memang terdiam, mereka memang kesal. Namun, tak berselang lama, mereka kembali bertepuk tangan! Tidak ada yang melempar barang ke dalam lapangan. Padahal, situasi tersebut sudah pasti sangatlah menyakitkan. Justru, yang membuat malam itu semakin terasa unik, beberapa penonton malah sempat terlihat “melempari” Lee Cong Vinh yang sedang merayakan gol.
Pertandingan berakhir, sayapun pulang dengan keadaan gembira apabila memikirkan soal hasil pertandingan. Namun, sebelum kembali ke hotel, saya dan seorang rekan saya memutuskan untuk mencari makanan di daerah stadion. Maklum, hampir seluruh toko, restoran, dan club di Hanoi sudah mulai tutup ketika memasuki jam 11 malam.
Beruntung, kami menemui sebuah mini-market. Ketika memasukinya, saya mencium bau yang tak asing. Ternyata, mini-market ini menyediakan salah satu mie instan ternama di Indonesia sebagai penganan. Tak berpikir lama, saya langsung memesan satu porsi dan meyakinkan diri bahwa Vietnam, beserta para pendukungnya, pantas mendapatkan nilai sempurna dari saya.
[divider] [/divider]
[box title=”Info”]Penulis: Evans Simon
Editor : Ghina Ghaliya
Foto: Evans Simon
[/box]