SERPONG, ULTIMAGZ.com – Olahraga menjadi salah satu kegiatan yang dilakukan oleh semua orang. Terdapat banyak sekali macam manfaatnya seperti mengurangi risiko penyakit, menjaga tubuh tetap bugar, meningkatkan kepercayaan diri, dan memperbaiki suasana hati.
Selain itu, olahraga juga menjadi tempat banyak orang mengukir namanya dan menjadi legenda di cabang olahraga masing-masing. Contohnya Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo di sepakbola. Di dunia basket, ada Michael Jordan dan Kobe Bryant. Jika bicara mengenai dunia tinju, Mike Tyson dan Manny Pacquiao hadir menjadi representasi legenda olahraga tersebut.
Dunia olahraga sudah banyak melahirkan atlet-atlet berbakat yang menjadi legenda. Namun, olahraga juga memiliki beberapa kisah atlet yang justru tidak mencerminkan sportivitas, perdamaian, dan anti kekerasan yang selama ini diperjuangkan.
Salah satu kasusnya adalah kekerasan domestik yang baru-baru ini dilakukan oleh seorang punggawa muda asal Inggris. Pemain sepak bola dari klub Manchester United Mason Greenwood dikabarkan melakukan tindakan kekerasan terhadap pacarnya Harriet Robson, pada Minggu (30/01/22).
Melalui fitur stories di akun Instagramnya, Robson mengunggah sejumlah foto terkait bukti kekerasan yang dilakukan oleh Greenwood. Dalam unggahan tersebut, terlihat wajah Robson babak belur akibat serangan benda tumpul.
Melansir dari Kompas.com, tindakan kekerasan dilakukan Greenwood kepada Robson akibat Robson yang menolak ajakan Greenwood untuk melakukan aktivitas seksual. Atas perbuatannya tersebut, Mason Greenwood ditahan oleh Kepolisian Greater Manchester pada Minggu (30/01/22). Hanya saja, tiga hari setelah ditahan, ia dibebaskan setelah membayar uang jaminan.
Kasus serupa juga terjadi kepada salah satu pemain Manchester City, Benjamin Mendy. Enam tuduhan pemerkosaan dan satu serangan seksual dijatuhkan kepadanya. Mendy kemudian ditahan selama 134 hari, terhitung sejak Sabtu (26/08/21). Mendy selanjutnya menjadi tahanan rumah sambil menunggu sidang pengadilan yang dijadwalkan berlangsung pada Juli nanti.
Peristiwa kekerasan dalam dunia olahraga tidak hanya terjadi di cabang sepakbola saja. Pada Oktober 2014, seorang petinju bernama Vido Loncar dari Kroasia, menyerang wasit pada pertandingan Kejuaraan Tinju Yunior Eropa yang dihelat di kota Zagreb, Kroasia. Loncar pada saat itu tidak terima dengan keputusan wasit yang menyatakan dirinya kalah dari petinju asal Lithuania Algirdas Baniulis. Akibat aksinya, Loncar dijatuhi hukuman seumur hidup dengan tidak boleh bertinju di level amatir maupun profesional.
Stigma keterkaitan olahraga dan pengendalian emosi
Meskipun terdapat banyak anggapan di internet bahwa olahraga memberikan dampak positif terhadap kemampuan seseorang mengontrol emosinya, beberapa kasus membuktikan sebaliknya. Kasus-kasus ini selaras dengan teori yang diusung oleh Craig Fisher melalui bukunya Psychology of Sport: Issues and Insights. Menurut Fisher, olahraga kompetitif nampaknya mengajari atlet dan penontonnya untuk bersikap agresif dan bukan menstabilkan emosi mereka.
Olahraga kompetitif yang sengit menarik para pemain dan penonton untuk melakukan konfrontasi agresi dan kekerasan. Tindakan spontan dan tidak terstruktur terjadi yang akhirnya berujung pada konflik antar pihak. Dalam sosiologi, peristiwa ini dikenal dengan perilaku kolektif (collective behavior). Perilaku ini sudah amat sering terjadi sejak waktu yang lama, sehingga hal ini terkesan normal bagi mereka yang melakukannya.
Melansir dari penelitian yang dilakukan oleh Bloom dan Smith pada Hockey Violence: A Test of Cultural Spillover Theory, orang yang terbiasa melakukan suatu permainan olahraga akan cenderung menormalisasikan kekerasan dalam lapangan. Bahkan, sebagian dari mereka memaklumi agresi oleh olahragawan yang terjadi di luar lapangan. Penelitian ini semakin memperkuat bukti adanya keterkaitan olahraga dengan agresi oleh pada pemainnya.
Agresi dan kekerasan dalam lingkup olahraga
Menurut penelitian sekelompok peneliti asal Yale University, perilaku agresi selalu terjadi akibat frustrasi. Sebaliknya, frustrasi selalu mengakibatkan agresi. Meskipun terdapat perdebatan antara akademisi mengenai kata ‘selalu’ dalam hasil penelitian tersebut, tak dapat dipungkiri bahwa frustrasi acap kali menjadi biang kekerasan.
Dengan menarik keterkaitan antara kekecewaan, frustrasi, dan agresi, dapat disimpulkan bahwa semakin banyak agresi, maka semakin banyak pula frustasi dan kekecewaan yang terjadi.
Dalam dunia olahraga kompetitif, para pemain tidak jarang mengemban tuntutan-tuntutan untuk unggul dalam permainan dari berbagai pihak. Keluarga, masyarakat, pelatih, pengelola tim, hingga pemerintah, semua memberi tekanan bagi para pemain untuk memberikan hasil yang memuaskan. Tekanan ini mengakibatkan besarnya harapan yang ditanggung pemain. Secara otomatis, harapan yang besar akan menimbulkan kekecewaan yang besar pula jika gagal diraih.
Kekecewaan yang berujung frustrasi ini tidak hanya diperoleh saat mereka bertanding saja. Saat masa pelatihan, para atlet juga dituntut untuk terus melampaui diri demi performa yang lebih baik lagi. Frustrasi akibat kekecewaan terhadap diri sendiri juga bukanlah hal yang jarang terjadi di dunia olahraga.
Kekerasan di luar lapangan
Berdasarkan alasan tersebut, bukan hal yang aneh jika kita seringkali menemukan amarah, agresi, bahkan kekerasan terjadi di dalam olahraga kompetitif. Perasaan tidak puas terjadi saat kondisi lelah, ditambah dengan situasi yang penuh dengan emosi, sangat mungkin menciptakan perkelahian. Namun, bagaimana dengan kekerasan yang dilakukan oknum atlet di luar lapangan?
Sederhananya, sesuatu hal yang dilakukan secara terus-menerus akan menciptakan kebiasaan di diri seseorang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berkonteks antropologi, kebiasaan adalah pola untuk melakukan tanggapan terhadap situasi tertentu yang dipelajari oleh seorang individu dan yang dilakukan secara berulang untuk hal yang sama.
Jika dikonklusikan, tanggapan atlet-atlet ini terhadap rasa frustrasi akibat kekecewaan, perlahan membentuk sebuah pola. Jika tanggapan tersebut adalah amarah dan kekerasan, pola itu juga akan dibawa oleh mereka ketika mendapatkan perasaan kecewa di luar lapangan. Alhasil, terjadilah amarah dan kekerasan oleh para atlet ke pihak-pihak yang membuat mereka kecewa.
Meski terjadi banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum atlet, bukan berarti olahraga menjadi sumber kekerasan sehingga olahraga tidak boleh dilakukan. Setiap orang perlu belajar mengelola emosi mereka masing-masing dan tidak menjadikan kekerasan sebagai cara mereka menyelesaikan masalah.
Penulis: Reynaldy Michael Yacob (Komunikasi Strategis 2020), Michael Ludovico Palma De Manggut (Jurnalistik 2021)
Editor: Nadia Indrawinata
Foto: Reynaldy Michael Yacob
Sumber: kompas.com, detik.com, ESPN.com, dailymail.co.uk, okezone.com
Fisher, A. (1976). Psychology of Sport. Issues & Insights. Mayfield Publishing Company.
Bloom, G., & Smith,D. (1996). Hockey Violence: A Test of Cultural Spillover Theory. Sociology of Sport Journal.
Sunaryadi,Y., Suntoda,A., Usli, L., & Sagitarius. (2005). Analisis Perilaku Kekerasan Penonton Sepakbola (Studi Kasus Pada Penonton Sepakbola di Bandung). Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia.