SERPONG, ULTIMAGZ.com – Semenjak banjir bandang melanda Sumatra pada akhir November, dunia maya ramai membahas fenomena tersebut hingga sekarang. Banjir yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia, yaitu Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat itu telah memakan ratusan korban jiwa.
Bukan hanya banjir, ternyata tanah longsor juga turut menimpa berbagai daerah di Sumatra. Melansir tempo.co, setidaknya terjadi longsor di 21 wilayah Sumatra Utara dan mengakibatkan banyak kerugian serta kesengsaraan.
Baca juga: Banjir Bandang dan Longsor di Aceh dan Sumatra, Status Bencana Nasional Belum Ditetapkan
Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sudah tercatat sebanyak 836 korban jiwa dan 509 orang hilang pada Jumat (05/12/25). Fenomena alam ini bukan hanya memakan korban jiwa, melainkan juga berdampak kerugian besar pada masyarakat dan negara.
Kerusakan fasilitas umum dan rumah menyebabkan masyarakat harus mengungsi. Namun, masih banyak masyarakat yang belum dievakuasi dari tempat kejadian sehingga menyebabkan bertambahnya korban.

Penyebab Terjadinya Banjir di Sumatra
Penyebab pertama terjadinya banjir tersebut adalah karena curah hujan yang tinggi. Melansir detik.com, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat curah hujan di pulau Sumatra mencapai 150-300 milimeter, menyebabkan masuknya hujan ke dalam kategori ekstrem. Selain itu, pakar meteorologi Dr. Muhammad Rais Abdillah juga menyampaikan bahwa terjadi sirkulasi siklonik di sekitar Sumatra yang memperparah curah hujan.
Namun, curah hujan yang tinggi tidak menjadi faktor satu-satunya fenomena banjir. Kurangnya lahan penyerapan air hujan dan kerusakan pada ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) turut menjadi penyebab.
Melansir cnbcindonesia.com, Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS Universitas Gadjah Mada (UGM) Hatma Suryatmojo menyatakan bahwa hutan di sekitar sungai memiliki peranan sebagai penyangga hidrologis. Hutan menjadi spons yang menyerap air hujan ke dalam tanah agar tidak langsung masuk ke sungai.
Peran hutan yang sangat penting untuk mencegah terjadinya banjir dan longsor nyatanya tidak dapat terealisasi dengan baik akibat hilangnya ekosistem. Selain itu, Hatma juga memerhatikan adanya deforestasi masif di wilayah Sumatra.
Kembali mengutip CNBC, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Aceh telah kehilangan lebih dari 700 ribu hektare hutan pada 1990-2020. Selain itu, hanya tersisa 21% wilayah yang tertutup hutan pada 2020 di Sumatra Utara, sedangkan Sumatra Barat tersisa 54% dengan laju deforestasi tinggi.
Melihat banyaknya hutan yang hilang, tidak dipungkiri kemungkinan terjadinya banjir bandang lebih meningkat. Alih fungsi hutan menjadi pemukiman atau perkebunan mengurangi kapabilitas penyerapan air di wilayah-wilayah tersebut. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa ada peran manusia dalam terjadinya banjir dan tidak disebabkan oleh faktor alam semata.
Penyebutan Banjir sebagai Bencana Alam
Bencana alam selalu diartikan sebagai kejadian yang berada di luar kendali manusia atau disebabkan oleh alam. Namun, apakah penyebutan hal-hal tersebut sebagai bencana sudah tepat?
Melansir undrr.org, dalam press release United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR), perwakilan khusus Sekretaris Jenderal United Nations (UN) Mami Mizurito menuturkan bahwa tidak ada yang namanya bencana alam. Fenomena alam sendiri bukanlah bencana karena terjadi secara natural. Akan tetapi, hal itu berubah menjadi bencana saat ada campur tangan manusia.
Organisasi gerakan lingkungan hidup Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) turut menyatakan hal yang sama. Melansir idntimes.com, Gandar Mahojwala, Direktur Eksekutif WALHI Yogyakarta, menuturkan bahwa penyebutan bencana alam tidak tepat jika melihat dinamika bencana yang terjadi di Indonesia.
Gandar menegaskan kalau bencana yang ada di Indonesia terjadi karena kondisi kacau akibat ulah manusia. Adanya degradasi tata guna lahan yang berubah menyebabkan bencana pada Sumatra. Jadi, penyebutan bencana alam terhadap apa yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia belakangan ini tidaklah tepat.
Peran Kebijakan Politik dalam Terjadinya Bencana
Hilangnya hutan sebagai lahan penyerapan air hujan tentunya tidak semata-mata disebabkan oleh penebangan. Permasalahan ini tidak hanya berkaitan dengan alasan di balik penebangan, tetapi juga bagaimana runtutan kejadian yang memungkinkan penebangan itu dapat terjadi.
WALHI menilai bahwa terdapat faktor dari pihak perusahaan yang turut bertanggung jawab atas deforestasi hutan. Namun, bagaimana perusahaan itu dapat bergerak jika tidak ada andil dari yang berkuasa?
Melansir cnnindonesia.com, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan ada delapan perusahaan yang diduga berkontribusi dalam memperparah banjir di Sumatra. Perusahan-perusahaan tersebut bergerak di bidang tanaman industri, tambang emas, hingga kelapa sawit.
Gandar, perwakilan WALHI, menyampaikan bahwa masyarakat Indonesia harus melihat faktor-faktor lainnya, yaitu kondisi lingkungan rusak yang diakibatkan kebijakan pemerintah, di mana daya dukung dan daya tampung sudah tidak terjaga. Dalam hal ini, pemerintah memiliki peran sebagai pemangku kebijakan yang mengatur perizinan dan penertiban dari perusahaan-perusahaan tersebut.
Baca juga: Nyatanya Era Antroposen, Era Bencana Alam
Jika pemerintah menilai bahwa pengalihan guna lahan merupakan hal yang aman, perusahaan yang meminta perizinan tentu akan bertindak sesuai dengan ketentuan. Namun, ketika terjadi penebangan secara ilegal, pemerintah seharusnya menetapkan kebijakan ketat untuk memberantas hal tersebut. Kelalaian pemerintah dalam hal ini perlu disorot agar dapat dijadikan acuan untuk perbaikan kedepannya.
Selain itu, fenomena banjir yang berujung menjadi bencana juga pernah terjadi sebelumnya, meskipun tidak separah saat ini. Melansir tribunnews.com, Bupati Tapanuli Selatan Gus Irawan pernah mengajukan rehabilitasi rekonstruksi untuk mengatasi banjir yang kerap melanda wilayahnya beberapa tahun terakhir.
Akan tetapi, BNPB hanya menyetujui setengah dari dana yang diajukan. Tidak lama setelah itu, banjir kembali melanda sementara rekonstruksi belum terlaksana.
Terbatasnya dana yang diberikan dipengaruhi oleh adanya pemangkasan anggaran BNPB. Melansir kompas.com, anggaran BNPB berkurang di 2024 dan 2025. Pada 2024, anggaran yang sudah berkurang jadi Rp4,92 triliun dipangkas kembali hingga tersisa Rp2,01 triliun di 2025.
Padahal, penanganan bencana membutuhkan dana yang sangat besar. Selain itu, anggaran tidak hanya dipakai untuk menanggulangi, tetapi juga sebagai upaya antisipasi.
Seperti apa yang telah Hanif sampaikan mengenai kejadian di Sumatra, pemerintah melakukan sejumlah langkah penanganan bencana. Upaya tersebut mencakup penguatan pada pengawasan dan penegakan hukum dalam pemanfaatan ruang, penyelarasan rencana tata ruang wilayah terhadap daya dukung DAS, pengendalian perizinan di kawasan prioritas kritis, rehabilitasi ekosistem, serta integrasi mitigasi aksi iklim dalam penataan ruang, dilansir dari kompas.id.
Untuk merealisasikan hal-hal tersebut, tentunya diperlukan biaya yang tidak sedikit, salah satunya dari pihak BNPB. Namun, jika anggaran BNPB dipangkas sebegitu besarnya, bagaimana cara lembaga tersebut mengatasi dan mengantisipasi perubahan fenomena jadi bencana yang datang secara tidak terduga?
Tidak hanya itu, Gus Irawan juga menambahkan pernyataan mengenai dibukanya lagi izin Pengelolaan Hak Atas Tanah (PHAT) kerja sama antara korporasi dengan masyarakat setempat untuk mengambil kayu yang sebelumnya sempat dihentikan. Menurutnya, hal ini bisa menyebabkan kerusakan. Meskipun ia sudah mengusulkan pemberhentian aktivitas penebangan hutan, perusahaan-perusahaan tersebut tetap beroperasi kembali di awal November.
Gus Irawan mempertanyakan mengapa Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari kembali memberi izin operasi penebangan hutan. Ia pun menyinggung adanya kemungkinan keterkaitan dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Jika benar disebabkan oleh besarnya PNBP, prioritas negara patut dipertanyakan karena menyangkut keberlangsungan hidup masyarakat.
Banjir Terjadi, Pemerintah Ada di Mana?
Peran pemerintah bukan hanya hadir saat suatu fenomena berlangsung, melainkan juga dalam pengelolaan sedari awal untuk meminimalisasi dampak agar tidak terjadi bencana. Namun, dapat terlihat bahwa pemerintah tidak mengusahakannya secara maksimal.
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sultan Baktiar Najamudin mengemukakan bencana Sumatra sudah memenuhi kategori bencana nasional sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Ia menilai berdasarkan cakupan wilayah yang berdampak pada jumlah korban, kerugian, dan kerusakan. Sebagai Ketua DPD, ia percaya bahwa dibutuhkan penanganan yang lebih intensif dari pusat untuk mengatasi bencana ini karena pemerintah daerah telah berupaya semaksimal mungkin.
“Sangat sulit mengharapkan keuangan pemerintah daerah untuk menangani bencana dengan skala masif seperti ini. Kami dapat merasakan bahwa para kepala daerah pasti mengalami kebuntuan anggaran pasca kebijakan efisiensi APBD,” ujar Sultan, dilansir dari tempo.com.
Pemerintah yang memilki wewenang dan kapasitas untuk membantu wilayah-wilayah tersebut malah berbalik badan. Seharusnya, penetapan banjir Sumatra menjadi bencana nasional dapat dilakukan agar masyarakat dapat memperoleh bantuan dengan lebih maksimal sesegera mungkin.
Penetapan status bencana nasional akan memberikan legitimasi politik pada presiden untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang perlu dilakukan. Berbagai langkah yang dapat diimplementasikan mencakup audit lingkungan, moratorium izin, dan penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam perusakan kawasan hingga terjadinya bencana.
Namun, nyatanya hingga saat ini bencana di Sumatra dan Aceh belum ditetapkan menjadi skala nasional. Banyak korban yang mengalami kesulitan dan sebagian di antaranya masih ada korban terjebak. Lantas, di manakah pemerintah saat masyarakat membutuhkan perannya?
Pada akhirnya, pertanggungjawaban pemerintah patut dipertanyakan. Pemerintah merupakan satu-satunya pihak yang memiliki kapasitas untuk mengantisipasi fenomena agar tidak berubah menjadi bencana dan melakukan penanggulangan dengan skala tepat.
Apalagi, penyebab utamanya datang dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada alam sehingga terjadi kehilangan lahan penyerapan. Kalau sudah begini, siapa yang mesti disalahkan?
Baca juga: Ciptakan Aplikasi Pendeteksi Banjir, Mahasiswa UNPAD Raih NLA 2017
Dalam kondisi darurat yang terjadi saat ini, perhatian dan langkah konkret tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah, tetapi juga dapat dilakukan oleh Ultimates. Ultimates bisa turut berperan dengan mengambil tindakan, menyampaikan dukungan, serta memberikan bantuan kepada masyarakat yang terdampak di wilayah Sumatra dan Aceh.
ULTIMAGZ bersama UMN TV, UMN RADIO, serta Program Studi Digital Journalism UMN turut menunjukkan komitmen dan kontribusi melalui penyelenggaraan penggalangan dana bagi para korban. Ultimates dapat memberikan dukungan dengan berdonasi melalui QRIS di bawah ini.

Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (UMN) juga akan memperoleh +1 SKKM Pengabdian Masyarakat dengan mengikuti ketentuan yang tercantum dalam buku panduan berikut. Melalui inisiatif penggalangan dana ini, mari kita bersama-sama membantu saudara-saudari di Aceh dan Sumatra agar dapat pulih dan membangun kembali kehidupannya. Mari #BergerakBersamaUMN!
Penulis: Faith Terresa Tiominar Tambunan (Jurnalistik, 2025)
Editor: Jessica Kannitha
Foto: Xinhua/Yulham, bnpb.go.id
Sumber: detik.com, cnbcindonesia.com, undrr.org, idntimes.com, cnnindonesia.com, tribunnews.com, kompas.id, kompas.com, tempo.com





