SERPONG, ULTIMAGZ.com—Memasuki awal tahun 2021, bencana alam sudah mengepung dunia, khususnya di wilayah Indonesia. Ada 329 bencana di Indonesia yang tercatat oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selama 1 Januari hingga 5 Februari 2021. Menanggapi hal tersebut, banyak orang masih berpikir bahwa bencana itu adalah kejadian alami yang tidak bisa dicegah. Namun, banyak orang pula yang menyadari bahwa bencana tersebut lebih dari sekedar proses alam.

Salah satu bencana banjir yang cukup parah terjadi pada pertengahan Januari terjadi di Kalimantan Selatan. Banjir dengan tinggi air lebih dari 1 meter tersebut melanda 11 dari 13 kabupaten/kota. Alhasil, melansir dari bebas.kompas.id, 712.129 jiwa terdampak banjir, 113.420 diantaranya harus mengungsi, 24 orang meninggal dunia, dan 3 orang hilang.
Dalam konferensi pers di Jembatan Matraman, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelaskan bahwa banjir besar yang tidak pernah terjadi dalam 50 tahun tersebut disebabkan oleh cuaca buruk. Curah hujan yang begitu tinggi dalam 10 hari terakhir di Kalimantan Selatan menyebabkan Sungai Barito—yang memiliki daya rampung hingga 230 juta meter kubik—tidak bisa menahan air lagi dan meluap. Namun, pernyataan tersebut tidak diterima oleh Greenpeace Indonesia.
Menurut Juru Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas, deforestasi (penebangan hutan) dan penggunaan tata guna lahan menjadi penyebab terjadinya banjir di Kalimantan Selatan. Deforestasi yang sudah terjadi sejak 1937 tersebut memunculkan perubahan iklim di sekitar area Kalimantan. Akhirnya, terjadi peningkatan suhu harian lokal dan suhu ekstrem akibat kerusakan hutan. Hal ini membuktikan semakin nyatanya era antroposen, yaitu era ketika aktivitas manusia mulai mempunyai pengaruh global terhadap ekosistem bumi. Era ketika bencana muncul akibat perbuatan manusia sendiri.
Mengenal Era Antroposen
Diambil dari BALAIRUNG: Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Indonesia Vol. 1 No. 1 Tahun 2018, Antroposen secara etimologis diambil dari bahasa Yunani, yaitu anthropos yang berarti manusia. Istilah Antroposen sendiri dipopulerkan oleh kimiawan atmosfer asal Belanda Paul Crutzen yang mendapatkan Penghargaan Nobel Kimia pada tahun 1955 atas penelitiannya tentang lapisan ozon dan perubahan iklim. Menurutnya, era Antroposen bermula pada akhir abad ke-18, yaitu saat pertama kalinya ada peningkatan konsentrasi CO2 (karbon dioksida) dan CH4 (metana) yang terdeteksi.
Namun, ada pula pendapat lain. Contohnya, William Ruddiman menyatakan bahwa permulaan Antroposen terjadi saat manusia mulai mengembangkan pertanian. Ada pula Jan Zalasiewicz yang beranggapan ledakan bom nuklir pertama adalah permulaan Antroposen. Terlepas dari benar atau salahnya permulaan Antroposen, era tersebut kini memiliki dampak yang semakin nyata dirasakan.
Berikut beberapa contoh dari banyaknya tanda Bumi sudah ada di era Antroposen:
- Bumi semakin panas
Langit penuh asap karbon dioksida (Foto: Merdeka.com) Mengutip dari nationalgeographic.co.id, penelitian terbaru mengungkapkan bahwa pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca akan menyebabkan keanekaragaman hayati di seluruh dunia hilang. Oleh karena itu, para peneliti juga memperkirakan bahwa ekosistem akan hancur dalam 10 tahun ke depan.
Gas rumah kaca ini berasal dari aktivitas pembakaran batu bara, minyak bumi, dan gas alam yang melepaskan karbon dioksida ke atmosfer. Bukan hanya itu, lebih dari 50 miliar ayam disembelih tiap tahun untuk konsumsi manusia juga menjadi salah satu penyebab pemanasan global. Sebab hewan ternak dapat menghasilkan gas metana yang meningkatkan emisi gas rumah kaca.
- Mikroplastik di laut
Bentuk mikroplastik (Foto: Indozone.id) Sudah menjadi hal umum bahwa laut dunia sudah seperti lautan sampah plastik. Bahkan, peneliti Jenna Jambeck dari Universitas Georgia mengatakan Indonesia menjadi kontributor kedua terbesar yang melarung 1,29 juta ton sampah plastik setiap tahunnya ke laut. Hal ini tidak hanya berbahaya untuk ekosistem laut, tetapi juga manusia.
Plastik yang ada di laut akan dihancurkan oleh kekuatan alam seperti sinar matahari dan ombak. Kemudian, plastik akan berubah menjadi mikroplastik yang diameternya berukuran kurang dari 5 milimeter. Sadar atau tidak sadar, mikroplastik akan masuk ke dalam organ-organ ikan yang dikonsumsi manusia. Dengan demikian, bukan hanya ikan yang memakan plastik, melainkan manusia juga.
- Gempa karena manusia
Aktivitas Penambangan (Foto: Nsenergybusiness.com) Selama ini gempa bumi lebih diketahui sebagai akibat dari aktivitas pergerakan lempeng bumi. Namun, sebenarnya ada faktor non-alam yang menyebabkan gempa, yaitu tindakan manusia. Gempa bumi yang disebabkan oleh manusia dinamakan seismisitas terinduksi, yaitu gempa yang diakibatkan oleh penggunaan bahan peledak. Selain itu, peningkatan skala penambangan hingga mencapai bermil-mil di bawah tanah dan pembangunan bendungan air yang semakin banyak sekarang ini juga menjadi faktor ketidakstabilan di Bumi yang membawa lebih banyak gempa.
Maka dari itu, dengan semakin meningkatnya aktivitas manusia, tidak heran peneliti-peneliti sempat terkejut saat menemukan bahwa aktivitas manusia telah menyebabkan gempa bumi dengan magnitudo setinggi 7,9 skala richter. Angka tersebut akan semakin meningkat di beberapa wilayah. Seperti kata ahli geofisika Universitas Durham Miles Wilson, kadang-kadang aktivitas antropogenik adalah langkah terakhir bumi melepaskan stress yang menumpuk.
Menyembuhkan Era Antroposen
Pada dasarnya, Antroposen bukanlah era manusia mengubah ataupun menguasai alam. Sebab, sejak manusia masih berburu dan meramu pun manusia sudah mengubah dan terus mengembangkan kemampuannya untuk menguasai alam. Dengan demikian, era Antroposen hadir sebagai peringatan ketidaksengajaan manusia yang terus mengubah dan menguasai dengan cara buruk.
Kini manusia semakin sadar. Peneliti-peneliti bahkan pemerintah pun sudah mengetahui gambaran skenario terburuk Bumi di masa depan. Namun, tidak sedikit orang-orang yang masih memegang stigma bahwa memang sudah takdir dunia akan musnah dan sudah sangat terlambat untuk memperbaiki Bumi. Jika stigma tersebut terus dikembangkan, maka manusia—khususnya generasi muda—harus siap menanggung berita-berita buruk dalam beberapa tahun ke depan.
Benarkah umat manusia akan menyerah dan pasrah begitu saja menghadapi era Antroposen ini? Kenyataannya, masih ada waktu dan kesempatan untuk melawan dampak buruk aktivitas manusia terhadap Bumi. Masih ada harapan untuk sedikit demi sedikit menyembuhkan era Antroposen. Menyembuhkan kehidupan di Bumi. Namun, jika iya, bagaimana caranya? Tentunya dengan teknologi dan kepedulian manusia sendiri.
Jika teknologi lama menyebabkan manusia terjebak di era Antroposen ini, maka teknologi baru yang akan mengeluarkan manusia dari permasalahan ini. Banyak insinyur yang sudah mengembangkan mesin-mesin sebagai solusi dari permasalahan lingkungan hidup. Mereka membuat mesin pengumpul sampah di laut, penyedot karbon dioksida di udara, dan bahkan menerapkan teknik solar geoengineering yang dapat menyebarkan partikel reflektif di stratosfer untuk menciptakan udara ramah lingkungan. Mesin-mesin tersebut belum banyak beredar sekarang, tetapi berpuluh-puluh tahun kemudian mesin-mesin seperti itu akan ada sebanyak jumlah handphone.
Namun, teknologi saja tidak cukup menjadi satu-satunya jawaban. Jika manusia tetap melanjutkan cara hidupnya yang buruk, mesin-mesin canggih pun tidak dapat bertahan lama mengatasi dampak buruk yang manusia ciptakan.
Lagi pula, bukankah ironis sekali melihat ekosistem kini harus memakai sejumlah mesin agar dapat kembali alami? Oleh karena itu, kepedulian manusia untuk bisa mengubah cara-cara lamanya dalam menjalani hidup itu penting, kalau tidak era Antroposen ini tidak akan pernah berakhir.
Penulis: Vellanda, Jurnalistik 2020
Editor: Nadia Indrawinata
Sumber: BALAIRUNG: Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Indonesia Vol. 1 No. 1 Tahun 2018, nationalgeographic.com, nationalgeographic.grid.id, cnbcindonesia.com, news.detik.com, bebas.kompas.id, republika.co.id, nasional.tempo.co, kompasiana.com, indozone.id
Foto: citywatchla.com, merdeka.com, indozone.id, nsenergybusiness.com