Tak ada perubahan berarti dalam surat klarifikasi yang dikirimkan oleh Dewan Keluarga Besar Mahasiswa (DKBM) Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Jumat (24/03/17). Pada akhirnya, mahasiswa tetap ditawarkan mengikuti program ‘beres-beres ruangan’. Upah bagi mahasiswa yang bersedia membantu kemahasiswaan merapikan ruangannya adalah poin Sistem Kredit Kegiatan Mahasiswa (SKKM).
Entah poin SKKM untuk bidang apa lantaran surel pertama maupun surel klarifikasi yang dikeluarkan pada Jumat (24/03/17) sama-sama tak menjelaskannya secara tertulis. Yang pasti, universitas gagal menyerap aspirasi mahasiswa dan memahami inti permasalahan.
Sebelumnya, pada Rabu (22/03/17), mahasiswa angkatan 2012-2013 menerima surel dari pihak kemahasiswaan dengan subject “Program Pemenuhan SKKM angkatan 2012-2013”. Singkatnya, ada empat poin yang disampaikan yang dianggap dapat mempermudah mahasiswa tingkat akhir memperoleh poin SKKM. Poin pertama, kedua, dan ketiga masih logis meski cenderung tak bermakna.
Sayang, poin keempat memunculkan pelbagai argumen, kekecewaan, bahkan bisa dibilang penolakan beberapa mahasiswa UMN. Poin itu berbunyi, “Membantu kemahasiswaan dan proyek perpindahan ruangan Student Development UMN pada hari Kamis 23 Maret 2017 mulai pukul 08.00. bagi yang berminat silakan datang ke ruang student services UMN Gedung C ruang 202.”


Tak perlu heran bila mahasiswa geram atas pengumuman tersebut. Sebab, pengumuman itu memicu persepsi bahwa poin SKKM mudah diperoleh. Poin SKKM seolah-olah diobral murah bagi mahasiswa tingkat akhir, yang harus yudisium, tapi terhambat lantaran belum terpenuhinya 20 poin SKKM.
Hal ini tak adil bagi mahasiswa lain yang berusaha memperoleh poin SKKM. Mereka mengincar poin SKKM melalui cara yang diharapkan universitas, yakni aktif di berbagai kegiatan internal maupun eksternal. Ada yang menjadi panitia selama beberapa bulan, atau mengabdi pada masyarakat dengan turut serta dalam kepengurusan LPPM Rumpin setahun lamanya. Ada juga Ultima Sonora yang membanggakan nama universitas dan membawa pulang tiga penghargaan dalam kompetisi Singapore International Choral Festival (SICF) 2016.
Proyek yang ditawarkan pihak kemahasiswaan tak sebanding ketimbang upaya dan prestasi mahasiswa tersebut. Keadilan tak tampak dalam keputusan kemahasiswaan, sehingga menimbulkan pro dan kontra. Mengapa upaya dan prestasi mahasiswa layak disetarakan dengan ‘beres-beres ruangan’? Apakah memenuhi 20 poin SKKM dapat mengukur kualitas mahasiswa? Pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya menjadi pokok permasalahan dan harus didiskusikan bersama.
Dalam pemberitaan Ultimagz Edisi Khusus November 2016-Januari 2017 tertuliskan pernyataan Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Ika Yanuarti bahwa mahasiswa UMN harus mengembangkan soft skill. Universitas pun berupaya mengasah soft skill dan mendorong mahasiswa untuk aktif. Caranya dengan mewajibkan mahasiswa memenuhi 20 poin SKKM yang terbagi atas empat bidang.
“Supaya seimbang, tidak hanya hard skill saja yang menjadi syarat kelulusan atau yudisium, tetapi soft skil juga. SKKM kita lekatkan menjadi syarat kelulusan,” ujar Ika kala itu.
Universitas sebagai pengetuk kebijakan tampak merasa bertanggung jawab terhadap mahasiswa tingkat akhir yang belum mengumpulkan 20 poin SKKM, khususnya untuk bidang bakat dan minat, serta pengabdian pada masyarakat. Artinya, universitas melalui pihak kemahasiswaan mencoba meringankan beban mahasiswa dengan menawarkan program pemenuhan poin SKKM. Ada itikad baik, dan karena itu saya berterima kasih.
Tapi, kembali lagi pada inti persoalan ‘beres-beres ruangan’, pihak kemahasiswaan terlalu terburu-buru. Aspek keaktifan dan kualitas soft skill mahasiswa yang menjadi esensi diberlakukannya poin SKKM juga terabaikan.
Kaji Ulang Kebijakan Diperlukan
Hasil rapat insidental antara DKBM, dua orang pihak kemahasiswaan, dan Ika Yanuarti tertuang dalam surat nomor 358/RET/DKBM/III/2017 yang dikeluarkan pada Jumat (24/03/17). Surat itu berisikan permintaan maaf pihak kemahasiswaan UMN atas ‘kehebohan’ tawaran program pemenuhan poin SKKM bagi mahasiswa angkatan 2012 dan 2013. Ada juga penjelasan maksud dan tujuan kemahasiswaan UMN yang sebelumnya menawarkan mahasiswa untuk mengikuti program ‘beres-beres ruangan’ Student Development UMN.
Pro dan kontra proyek ‘beres-beres ruangan’ muncul karena beberapa mahasiswa tingkat akhir angkatan 2012 dan 2013 yang harus yudisium belum memenuhi 20 poin SKKM. Pihak kemahasiswaan pun membantu mahasiswa memperoleh poin SKKM. Munculnya persoalan ini memperlihatkan ada yang salah dengan kebijakan poin SKKM.
Pada 2015, terjadi perombakan bobot poin SKKM khusus bagi mahasiswa angkatan 2012. Komposisinya adalah 8 poin (40%) bidang ilmiah dan penalaran, 8 poin (40%) bidang organisasi dan pengembangan kepribadian, 2 poin (10%) bidang bakat dan minat, serta 2 poin (10%) bidang pengabdian pada masyarakat.
Sementara komposisi poin yang berlaku untuk mahasiswa setelah angkatan 2012, yakni 6 poin (30%) bidang ilmiah dan penalaran, 6 poin (30%) bidang organisasi dan pengembangan kepribadian, 4 poin (20%) bidang bakat dan minat, serta 4 poin (20%) bidang pengabdian pada masyarakat.

Perubahan ini mengindikasikan adanya kesulitan mengumpulkan poin SKKM. Hasil survei Ultimagz pada 14-19 September 2016 memperkuat hal itu. 69,7 persen dari 577 responden mahasiswa berbagai jurusan dan angkatan sepakat sulit memperoleh 20 poin SKKM lantaran jumlah poin yang dianggap terlalu banyak, keterbatasan waktu, persentase bobot SKKM, dan pembagian empat bidang tertentu.
Beberapa hari yang lalu saya sempat bertemu dengan teman lama. Kami sama-sama ditugaskan untuk mengikuti kegiatan salah seorang pejabat. Dia bercerita ihwal temannya yang tak diterima bekerja di suatu perusahaan media. Padahal, calon yang tak terpilih ini adalah lulusan salah satu universitas negeri ternama di Indonesia.
Artinya, lulus dari perguruan tinggi yang masyhur namanya pun tak menjamin masa depannya. Hal ini menjadi sama ketika UMN mendorong mahasiswanya untuk aktif, dianggap tepat untuk meningkatkan kualitas lulusan. Alangkah baiknya jika dorongan keaktifan itu difokuskan pada satu bidang saja. Dengan begitu, mahasiswa dapat memilih yang terbaik dan sesuai dengan kemampuannya. Soft skill pun dapat diasah dan dikembangkan tanpa perasaan terpaksa.
Jika menanyakan solusi, silakan dipertimbangkan aspirasi mahasiswa yang sudah tumpuk di dalam pemberitaan Ultimagz. Jika bertanya solusi kepada saya, lebih baik UMN menyaring calon mahasiswa yang mendaftar. Setidaknya dengan penyaringan ketat yang mengacu pada standar dan jumlah tertentu dapat mengurangi beban universitas untuk mengasah kemampuan mahasiswa.
Itupun kalau universitas memang serius ingin mencetak lulusan-lulusan berkualitas, bukan menambah profit dengan menerima siapa pun yang mendaftar. Sebab, berjualan poin SKKM bukan solusi. Melihat sistem SKKM yang sekarang pun rasanya tak bisa dijadikan tolok ukur kualitas soft skill mahasiswa.
Tidak hanya itu, semoga fungsi DKBM sebagai wakil mahasiswa benar-benar berjalan semestinya. DKBM perlu dilibatkan dalam pembahasan kebijakan sebelum pihak kemahasiswaan meneken aturan secara permanen.
Meninjau ulang aturan setelah pro dan kontra bermunculan menjadi kebiasaan buruk DKBM. Misalnya, masalah denda Rp 1 juta bila mahasiswa membuka lapak berjualan di luar tempat yang telah disediakan. DKBM lalai mengawasi BEM selaku pembuat aturan itu.
Kini, persoalan poin SKKM yang sedari dulu diperdebatkan juga tak kunjung diselesaikan. DKBM baru bertindak setelah beberapa mahasiswa melontarkan pendapatnya di media sosial. Ironis. Dewan mahasiswa seolah-olah bukan lagi representative. Mereka hanyalah representative dalam kata-kata.
Sayangnya, DKBM juga memberikan himbauan yang abstrak seperti yang tertera dalam surel klarifikasinya nomor 358/RET/DKBM/III/2017. “DKBM UMN juga menghimbau KBM UMN untuk tidak lagi memberikan tanggapan negatif terkait surel tersebut.”
Tanggapan negatif seperti apa yang dimaksud DKBM? Siapa yang melakukannya? Apakah perbedaan pendapat yang dituangkan di media sosial selalu dianggap negatif? Apa indikator negatif ala DKBM? Tolong dijawab.
Terima kasih, wakilku sayang.

Penulis: Lani Diana, Jurnalistik 2013 UMN (kontributor)
Editor: Clara Rosa Cindy
Foto: Dok. Ultimagz
Terima kasih kembali, aku sayang kamu juga.
This was great article. Ini kejadian yang berulang, dan entah kenapa pihak DKBM dan kampus seolah-olah kong-kalikong buat menyelesaikan “masalah” seperti ini.
Well, that’s UMN for you guys.