Pelarangan, penanganan, serta pengurangan pemakaian barang berbahan plastik pun gencar dihimbau oleh para pelaku pendidikan serta universitas-universitas. Menjaga dan melestarikan lingkungan dari sampah merupakan tindakan yang dianjurkan realisasinya untuk semua kalangan. Tercantum pada Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah poin D, mengelola sampah adalah tanggung jawab dan kewenangan dari Pemerintah, Pemerintahan Daerah, serta peran masyarakat dan dunia usaha sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara proposional, efektif, dan efisien.
Berkaca pada UU di atas, masyarakat di Indonesia perlu bersinergi mengelola sampah, tak terkecuali para sivitas di universitas. Terlebih melihat Indonesia mengambil trofi kedua atas penyumbang sampah plastik terbanyak di dunia. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dilansir CNN Indonesia, Indonesia dapat menghasilkan 10,95 juta lembar sampah kantong plastik dalam kurun waktu satu tahun.
Oleh karena itu, dilansir CNN Indonesia, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK Tuti Hendrawati Mintarsih mengadakan uji coba plastik berbayar pada 21 Februari 2016 lalu.
2011 silam, Universitas Indonesia telah mengeluarkan surat keputusan rektor mengenai pengurangan pemakaian barang berbahan kertas dan plastik di dalam lingkungan kampus demi menjadikan kampus hijau. Pelarangan ini didasari dari beberapa pertimbangan, antara lain penggunaan kertas yang overused, menyebabkan hutan gundul; mahalnya harga kertas; plastik merupakan bahan yang sulit diurai; hingga ingin menciptakan lingkungan kampus yang hijau dan sehat.
Kali ini, di tahun 2017, Universitas Multimedia Nusantara (UMN) juga memulai aksi kampus hijau. Aksi tersebut disosialisasikan melalui surat edaran yang ditetapkan pada 19 April 2017 lalu.
Pelarangan serta pengurangan pemakaian kertas dan plastik ini tentu menjadi suatu kebijakan yang baik untuk para sivitas kampus, termasuk mahasiswa. UMN menyusul pelestarian lingkungan dan kampus hijau dengan mengeluarkan surat edaran dengan poin-poin kebijakan pada 19 April 2017 lalu. Tertera di dalamnya, mengimbau mahasiswa untuk tidak menggunakan tempat makanan berbahan styrofoam dan plastik dalam penggalangan dana atau berjualan di kantin (sebagai pengganti, bisa menggunakan bahan kertas); melarang mahasiswa untuk jajan/ membeli makanan atau minuman di area sekitar samping UMN demi terciptanya ketertiban di lingkungan kampus UMN; pihak Kemahasiswaan berhak menegur dan meminta Kartu Mahasiswa (KTM), dan Mahasiswa wajib menyerahkan KTM-nya jika materi penggalangan dana (botol, plastik, mika) masih digunakan sebagai materi jualan; dan peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Kepincangan Kebijakan Kampus
Berdasarkan poin-poin di atas, UMN tengah melakukan perlestarian lingkungan kampus demi menciptakan kampus hijau. Ini merupakan langkah yang tepat dan baik. Namun, mengesampingkan persoalan pengurangan pemakaian plastik dan pelestarian lingkungan, poin-poin dari kebijakan tersebut dirasa masih belum memenuhi kerugian besar yang diterima dari pihak mahasiswa. Mengapa telah merugikan mahasiswa?
Surat edaran tersebut dinilai masih belum memberikan solusi, yakni sarana alternatif yang konkret bagi mahasiswa. Selain itu, kebijakan tersebut masih belum bisa menyeimbangi kebutuhan kegiatan mahasiswa di kampus.
Kebijakan pelarangan dan pengurangan pemakaian plastik memang tidak pantas mendapatkan coretan merah di sini. Namun sebagai salah satu mahasiswa aktif di kampus dan dengan adanya SKKM, mahasiswa dituntut untuk aktif berkegiatan, saya merasa keberatan dengan kebijakan tersebut. Kegiatan mahasiswa kerap kali memaksa mahasiswa untuk mengeluarkan keperluan secara finansial yang besar demi mewujudkan sebuah acara. Alhasil, tak sedikit mahasiswa harus mencari dana sendiri dengan menjual makanan.
Permasalahan di sini, karena dana yang dimiliki terbatas, mahasiswa terpaksa menggunakan bahan styrofoam dan plastik. Mahasiswa boleh mengaku dosa di sini. Akan tetapi, pada UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Perguruan Tinggi Pasal 14, tertera bahwa kegiatan kokulikuler dan ekstrakulikuler merupakan tanggung jawab dari perguruan tinggi tersebut. Harapannya, pihak universitas bisa memberikan support penuh terhadap kegiatan mahasiswa secara finansial dan non-finansial. Hal ini juga diharapkan keseimbangan antara kegiatan mahasiswa dan visi universitas bisa terciptakan. Misalnya tidak ada lagi penggunaan bahan plastik untuk wadah makanan yang dijual, tetapi mahasiswa tetap mendapatkan dana untuk acara kegiatan mereka.
Kita tidak bisa mengasumsikan mahasiswa sebagai satu-satunya pelaku atas penggunaan plastik di lingkungan kampus. Penggunaan bahan plastik juga masih banyak digunakan oleh penjual makanan di kantin. Misalnya, Libro Café yang masih menjual air mineral kemasan plastik. Saya menitikberatkan permasalahan ini pada kewajiban mahasiswa untuk menerapkan kebijakan tersebut dan melihat adanya ketidakadilan dalam pelarangan ini karena dinilai hanya merugikan satu pihak saja.
Selain itu, larangan membeli makanan di luar kampus merupakan tindakan gegabah dari kampus yang dirasa sangat merugikan mahasiswa juga. Mengapa? Karena kesediaan kantin di UMN pun hanya berjalan sampai pukul 16.00 saja. Padahal perkuliahan mahasiswa berakhir pada pukul 17.00. Di sini kita membahas soal kondisi perut mahasiswa yang lelah belajar di dalam kelas sampai sore. Bukan hanya itu, jumlah mahasiswa yang nge-kost juga tergolong banyak.
Bagaimana cara mengatasi ini? Beruntunglah kita karena para penjual makanan kaki lima di samping UMN ini bisa menyediakan makanan dan minuman untuk mahasiswa di sore atau malam hari. Jika memang para penjual makanan ini dinilai mengganggu ketertiban lingkungan kampus, mungkin pihak universitas bisa memberikan sarana berupa lapak berjualan untuk penjual makanan kaki lima. Masih dirasa akan merusak lingkungan kampus? Pihak universitas dapat menyediakan tempat pembuangan sampah yang bisa diakses di luar kampus. Serta mengajak para penjual tersebut untuk mengelola sampah bersama.
Berkaca dari visi yang sama, Universitas Indonesia mencantumkan poin-poin sarana alternatif yang bisa diterapkan oleh semua sivitas kampus di dalam surat keputusan rektor. Sarana alternative yang tercantum dalam surat tersebut antara lain, pemakaian kertas bolak-balik saat mencetak di pusat percetakan lingkungan kampus, upaya mendaur ulang sampah plastik, dan penggunaan e-learning untuk mengurangi penggunaan kertas. Setidaknya saya melihat poin-poin sarana alternatif yang diberikan pihak kampus. Sayangnya, saya belum melihat itu di dalam surat edaran yang dikeluarkan UMN. Minimnya sosialisasi kebijakan ini juga sangat terasa di sini.
Dengan adanya pemberian poin-poin sarana alternatif yang konkret dan pemerataan pelaku penerapan kebijakan kampus, ini berpeluang realisasi kebijakan yang tinggi. Selain itu, kebijakan juga harus berjalan dua arah serta meningkatkan sosialisasi agar berdampak baik bagi semua sivitas kampus.
Penulis: Annisa Meidiana , Jurnalistik UMN 2013 (kontributor)
Editor: Clara Rosa Cindy
Foto: cdns.klimg.com