SERPONG, ULTIMAGZ.com – Disabilitas dalam pandangan masyarakat kerap digambarkan sebagai keterbatasan seseorang, terutama soal kekurangan fisik. Namun, tahukah Ultimates bahwa kehamilan juga bisa dikatakan sebagai sebuah bentuk dari disabilitas?
Menurut Lori S. Ashford dalam artikel “Hidden Suffering: Disabilities From Pregnancy and Childbirth in Less Developed Countries”, kehamilan termasuk sebagai disabilitas karena dapat memengaruhi kesehatan dan produktivitas ibu.
Baca juga: Semua Orang Berisiko Jadi Disabilitas dan Rentan dengan Diskriminasi
Hal yang sama juga disampaikan oleh bidan profesional Ika Fitriyanti Soleha. Menurutnya, disabilitas pada kehamilan diartikan sebagai adanya kelemahan selama kehamilan karena nutrisi ibu yang dibagi dengan bayi di kandungannya. Maka dari itu, definisi kondisi normal tubuh ibu hamil berbeda dengan kondisi tubuh pada biasanya.
“Adanya kelemahan selama kehamilan memang benar karena ada beban (tanggungan) lain (si bayi dalam tubuh si ibu) yang otomatis dia (bayi) belum bisa hidup sendiri sehingga (bisa digambarkan) menumpang dari ibunya sehingga tubuh ibu mengalami perubahan (yang mengarah pada terjadinya kelemahan tersebut),” jelas Ika kepada ULTIMAGZ melalui wawancara daring, Jumat (14/04/23).
Proses kehamilan membuat ibu lebih rentan dan lemah, hingga dapat berpotensi memunculkan beberapa penyakit yang diperberat oleh kehamilan. Misalnya, anemia, penyakit jantung, dan inkompetensi serviks atau keadaan saat leher rahim terbuka terlalu awal yang berisiko menyebabkan keguguran.
Namun, pengaruh ini tentunya kembali kepada kondisi kesehatan tubuh masing-masing ibu, sehingga tidak bisa disamaratakan. Walaupun begitu, masing-masing ibu mengalami tantangan dan hambatan kehamilan yang sama.
Beban Tubuh dan Beban Kerja
Proses kehamilan dibagi menjadi tiga tahap atau trimester. Trimester pertama saat usia kandungan 1 sampai 13 minggu. Trimester kedua saat usia kandungan 14 sampai 27 minggu. Lalu, trimester ketiga yaitu usia kandungan 28 sampai 41 minggu.
Trimester pertama dikatakan yang paling menantang menurut Ika. Sebab, pada rentang usia kehamilan itulah ibu hamil beradaptasi keras terhadap perubahan tubuhnya. Proses adaptasi tersebutlah yang biasanya membuat ibu hamil mual dan muntah.
Lalu, masuk ke trimester kedua yang menurut Ika, tubuh si ibu sudah beradaptasi dan tahu akan apa yang harus dilakukan. Berlanjut ke trimester ketiga yang mulai munculnya keluhan karena beban ibu yang semakin besar.
Tak sampai di situ, tantangan ibu juga berlanjut kepada masa pemulihan setelah persalinan. Menurut Ika minimal pemulihan baiknya dilakukan selama enam bulan. Sebab, ibu butuh pemulihan tidak hanya secara fisik, tetapi juga mental.
Ditambah tantangan pascamelahirkan (after-birth) lainnya seperti proses menyusui yang tidak instan bagi beberapa ibu. Ada pun Kementerian Kesehatan mengajak para ibu untuk memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif selama enam bulan kepada bayinya, dilansir dari yankes.kemkes.go.id. Hal ini ada tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif.
Namun, nyatanya ibu hamil yang bekerja di Indonesia hanya diberikan cuti selama satu setengah bulan masing-masing untuk masa sebelum dan sesudah melahirkan oleh pemerintah. Peraturan tersebut tercatat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Kenyataan tersebut dapat menghambat pemberian ASI eksklusif. Sebab, waktu menyusui yang terbatas dan kelelahan dapat menjadi penghambat ASI eksklusif dari ibu.
Kemudian, lingkup kerja yang tidak memiliki ruang menyusui atau fasilitas penyimpan ASI juga menjadi penghambat bagi ibu. Namun, sebetulnya fasilitas bagi ibu menyusui sudah tertera dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan atau Memerah.
Atas dasar tersebut, penting bagi perusahaan untuk menyediakan fasilitas bagi para ibu pekerja yang masih memiliki tanggung jawab untuk menyusui. Adapun bagi para ibu yang belum mendapatkan hak-hak tersebut, tentunya dapat menyuarakan atau menyampaikannya kepada perusahaan tempat ia bekerja. Hal tersebut demikian untuk terpenuhinya kebutuhan si ibu.
Stigma Keliru Ibu Hamil
Sebagai ahli di @bumilpamil.id (akun Instagram edukasi seputar kehamilan dan relasi antara ibu hamil dan suami) dan pendiri @rumahtumbuh_id (akun Instagram seputar edukasi dan layanan kesehatan ibu dan anak), Ika mengerti perjuangan ibu hamil tidak hanya sebatas fisik. Namun, juga stigma-stigma sosial keliru yang kerap kali menyerang ibu hamil. Berikut ketiga stigma sosial terhadap ibu hamil.
1. Ibu hamil lebih baik bersalin secara normal
Ika menyebutkan bahwa stigma ini seringkali dilontarkan oleh banyak orang. Stigma ini beranggapan jika seorang ibu melahirkan secara sesar, ia belum sepenuhnya menjadi ibu. Padahal, sebetulnya cara persalinan bukanlah kuasa ibu untuk memilih.
“Persalinan tidak ada pembeda-bedaan, tetapi disesuaikan dengan kondisi ibunya saat ini karena tujuannya untuk ibu dan bayi dapat sehat dan selamat,” jelas Ika.
2. Ibu yang tidak bisa menyusui bukanlah seorang ibu
Ika menjelaskan bahwa bisa saja ada kondisi-kondisi tertentu yang membuat ibu terhambat dalam memberikan ASI untuk bayinya. Atas dasar ini, penting bagi lingkungan sosial untuk memiliki pemahaman dan tidak memberikan penghakiman kepada para ibu.
3. Ibu yang beristirahat di pagi dan siang hari adalah pemalas
Bayi yang baru lahir akan lebih sering terjaga di malam hari. Bayi yang terjaga itu tentunya akan menjadi tanggung jawab si ibu juga. Namun, Ika memaparkan bahwa seringkali jika ibu memilih untuk beristirahat di pagi dan siang hari, sang ibu akan dianggap malas atau tidak mau mengurus bayinya.
Saling Mengerti dan Peduli
Dalam menjalani masa kehamilan dan after-birth, ibu hamil menguatkan dirinya dan tetap berdaya. Namun, bukan berarti ibu hamil tidak butuh bantuan.
Maka dari itu, tak hanya lingkup keluarga, masyarakat pun juga perlu untuk meningkatkan perhatian terhadap ibu hamil. Contohnya, dengan menyadari bahwa ibu hamil tidak kuat untuk berjalan terlalu lama. Dengan begitu, penting untuk memberi kursi prioritas di tempat atau transportasi umum bagi ibu hamil.
Baca juga: Merangkul Perbedaan dengan Keistimewaan Anak Sindrom Down
Lingkungan yang ramah akan ibu hamil juga menjadi sebuah kebutuhan. Sebuah lingkungan perlu memberikan fasilitas penunjang akan apa yang diperlukan oleh si ibu. Contohnya, memberikan ruangan untuk ibu menyusui atau memerah ASI.
“(Ibu hamil harus) Berani berkomunikasi enggak cuma ke suami, tapi juga ke keluarga dan society (terlebih) jika ada hal-hal yang menurut kita kurang sesuai,” tutup Ika.
Penulis: Josephine Arella
Editor: Vellanda
Foto: Justine Dave Martambun
Sumber: alodokter.com, hellosehat.com, yankes.kemkes.go.id,
Ashford, Lori S. (2002). Hidden suffering: Disabilities from pregnancy and childbirth in less developed countries. Population Reference Bureau. https://www.prb.org/resources/hidden-suffering-disabilities-from-pregnancy-and-childbirth-in-less-developed-countries/