SERPONG, ULTIMAGZ.com – Banyak orang yang menjadi disabilitas saat memasuki proses penuaan. Khususnya, saat individu mencapai umur 60 tahun dan termasuk dalam golongan lanjut usia (lansia). Kondisi disabilitas dan stigma masyarakat pun menjadi tantangan bagi lansia untuk berdaya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Infodatin “Lansia Berdaya, Bangsa Sejahtera” oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia pada 2022, terdapat peningkatan signifikan jumlah lansia di Indonesia. Hal ini terlihat dari jumlah lansia yang meningkat dari 18 juta jiwa pada 2010 menjadi 27 juta jiwa pada 2020.
Baca juga: Semua Orang Berisiko Jadi Disabilitas dan Rentan Dengan Diskriminasi
Maka dari itu, kondisi kependudukan Indonesia pun kian lama bergeser menjadi negara dengan struktur penduduk tua. Artinya, penduduk muda yang semula berjumlah lebih banyak kini digantikan dengan jumlah penduduk tua. Situasi tersebut biasa disebut juga sebagai population aging.
Dalam situasi jumlah lansia yang terus bertambah, sayangnya, para lansia ini mengalami kondisi disabilitas. Dalam laporan Infodatin Kemenkes sebelumnya, dijelaskan bahwa ada akumulasi dari kerusakan pada tingkat seluler dan molekuler tubuh dalam proses penuaan. Hal ini mengakibatkan kondisi lansia rentan dengan risiko penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan stroke.
Akhirnya, lansia pun memiliki banyak keterbatasan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. K. B. Eryati (60) pun turut mengakui keterbatasannya sebagai lansia, terutama soal fisik.
“Dari fisik, seperti yang kamu lihat, ya pastinya sudah peot, ya. Badan sudah gak se-segar dulu yang kuat angkat apa saja,” ucap Eryati kepada ULTIMAGZ saat wawancara daring pada Kamis (20/04/23).
“Banyak juga bagian tubuh yang sakit-sakitan, apalagi kaki saya ini suka kumat saraf kejepit dan asam urat. Punggung saya juga gak bisa terlalu capek karena akan mengganggu tidur kalau sudah sakit,” lanjutnya.
Keterbatasan yang dirasakan oleh Eryati dan para lansia lainnya ini kerap dijadikan asumsi dasar bahwa lansia tidak berdaya, tidak memiliki ketertarikan untuk berkontribusi, hingga dinilai kurang berharga bagi suatu komunitas. Pemikiran ini merupakan salah satu bentuk dari persepsi ageism.

Berdasarkan karya ilmiah “Membongkar Realitas Ageism Pada Film Layar Lebar”, dijelaskan bahwa ageism adalah sebuah stereotip, prasangka, atau perilaku yang dianggap sebagai suatu bentuk diskriminasi berdasarkan usia. Bentuk ageism pada kehidupan sehari-hari banyak ditujukkan pada lansia, akan tetapi dapat juga terjadi pada anak muda, meskipun begitu tingkatannya tetap lebih rendah dibanding lansia.
Salah satu faktor yang menyebabkan ageism ini dikarenakan terjadinya pengklasifikasian yang dilakukan oleh kaum muda ataupun tua. Pengklasifikasian meliputi prasangka, praktik, dan pandangan buruk yang diberikan kepada kaum lanjut usia. Pandangan buruk terhadap lansia ini sering kali terjadi karena menganggap kaum lanjut usia merupakan ‘beban’ bagi sebagian masyarakat.
Biasanya, lanjut usia yang dianggap sebagai ‘beban’ ini dianggap terlalu tua untuk melakukan pekerjaan apapun. Terdapat juga beberapa instansi yang membatasi usia pekerjanya yang sudah lanjut usia. Pekerja yang sudah lanjut usia biasanya akan diberhentikan karena dianggap sebagai orang yang lemah dan produktivitasnya sudah menurun, sehingga tidak layak untuk bekerja lagi. Namun, terdapat juga faktor lain seperti ketidaksengajaan yang dilakukan oleh seseorang terhadap kaum lansia.
Akibat ageism ini, para lansia juga sering kali terbawa untuk bersikap dan berpikir sesuai dengan pandangan masyarakat yang menganggap mereka sebagai kaum lemah. Hal ini turut dirasakan Eryati.
“Saya juga memiliki pikiran (lansia adalah kaum lemah) tersebut juga. Karena, jarang banget ada orang tua yang bisa melakukan banyak aktivitas,” keluh Eryati.
Baca juga: Ibu Hamil Adalah Ibu yang Kuat, Bukan Berarti Tidak Butuh Bantuan
Lansia Punya Semangat Besar
Walau mengakui keterbatasan fisiknya dan dilingkupi dengan pandangan ageism, Eryati menganggap dirinya atau para lansia lainnya tetap berdaya untuk produktif, bahkan memiliki semangat yang besar.
“Sebenarnya, kami lansia itu punya semangat yang besar untuk terus bekerja. Namun, karena keterbatasan usia saja nih makanya kami harus membatasi kerjaan yang kami lakukan,” kata Eryati.
Ibu dari dua anak ini masih semangat menempuh jarak dari Tangerang hingga Jakarta dari Senin sampai Jumat untuk menjalani kewajibannya sebagai guru di Sekolah Menengah Atas Negeri 85 Jakarta. Sebagai guru pensiunan, Eryati pun akan selesai mengajar pada pertengahan tahun ini.
Namun, semangat Eryati untuk beraktivitas tidak luntur karena pensiun dari profesinya. Ia malah merajut ambisi baru untuk mempunyai usaha di bidang makanan dan lanjut bercocok tanam di sepetak tanah yang ia miliki.
“Saya sih kepikiran untuk usaha dan nanam, ingin banget punya usaha makanan, tapi masih bingung juga nih mau jualan di mana,” ucap Eryati.
Eryati begitu mengerti apa yang menjadi kegemarannya yakni berkebun setiap Sabtu dan Minggu. Ia tidak membiarkan umur menjadi batasan antara dirinya dan kesukaannya.
“Anak-anak saya itu sering bilang jangan kebanyakan kerja, mending liburan saja, tapi saya belum mau liburan karena memang saya suka berkebun,” jelas Eryati.
Selain itu, Eryati pun terus aktif ikut dalam perkumpulan lansia di HKBP pada Selasa malam. Ia juga memberikan waktunya untuk berkontribusi melayani di gerejanya sebagai anggota paduan suara.
Baca juga: David Jacobs: Adanya Keterbatasan Gerak Bukan Berarti Tidak Berdaya
Apa yang dirasakan dan dilakukan oleh Eryati ini mematahkan pandangan ageism terhadap kaum lansia. Ageism melihat para lansia sebagai individu yang tidak lagi bergairah menjalani hidup. Namun, nyatanya, lansia adalah pribadi-pribadi yang masih bersemangat mengembangkan kemampuannya, mampu menikmati masa tuanya, hingga membawa kebahagiaan bagi orang sekitarnya.
“Mereka (keluarga) si melihat saya senang, ya karena saya enjoy masa tua saya,” ucap Eryati.
Penulis: Ruth Yushiana
Editor: Vellanda
Foto: Unsplash/Filipp Romanovski, Margaretha Netha
Sumber:
Kementerian Kesehatan RI. (2022). 2022: Lansia berdaya, bangsa sejahtera [Infodatin]. Kementerian Kesehatan RI. https://www.kemkes.go.id/article/view/22111500004/2022-lansia-berdaya-bangsa-sejahtera.html
Ishaq, R. M., Abidin, Z., & Dadan, K. (2021). Membongkar realitas ageism pada film layar lebar. FEB UNMUL. Diambil April 16, 2023, dari https://journal.feb.unmul.ac.id/index.php/KINERJA/article/view/10268/1641