SERPONG, ULTIMAGZ.com– Latihan dasar kepemimpinan (LDK) merupakan sebuah kegiatan yang wajib diikuti oleh para organisator Universitas Multimedia Nusantara (UMN) sebelum menjalani masa kepengurusan selama satu tahun. Bertujuan mempersiapkan wawasan dan mental para organisator, LDK menjadi awal dari perjalanan panjang para organisator UMN. Namun, apa jadinya jika Rp 500.000 dinilai mampu menggantikan esensi bagi organisator yang tak bisa ikut LDK?
Ada kejanggalan ketika membaca surat komitmen yang diberikan pihak KPU ke seluruh organisator UMN mengenai kegiatan LDK. Dalam poin kedua, mahasiswa yang tidak mengikuti kegiatan LDK diwajibkan membayar denda sebesar Rp 500.000 sebagai biaya pengganti investasi program dan membuat sebuah karya tulis ilmiah.

Dengan demikian, mahasiswa seakan tidak diberikan toleransi oleh pihak penyelenggara, yakni KPU dan kemahasiswaan. Tertera jelas bahwa alasan yang dapat ‘diterima’ sekalipun tetap membuat mahasiswa harus membayar biaya pengganti.
Salah satunya Vellen Augustine, Jurnalistik 2015. Ia harus membayar biaya pengganti karena tidak bisa ikut LDK yang dilaksanakan 24-26 November 2017. Kala itu, ia sedang menghadiri acara pernikahan keluarganya.
“Gue kira kena dendanya itu kalau alasan ikutnya yang enggak jelas,” ujar Koordinator Public Affairs I’M KOM Generasi 8 ini.
Belakangan, penggantian biaya investasi ini ternyata tidak hanya berlaku tahun ini, tetapi juga dari tahun sebelumnya. Eveline Susanti, Manajemen 2013, yang menjadi pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Generasi 6 juga harus membayar Rp 350.000. Padahal, Eveline tidak bisa mengikuti LDK karena sakit.
“Awalnya aku enggak mau bayar, soalnya aku sakit kan, masa iya harus bayar. Ya tapi aku di-support sama temen-temen BEM suruh bayar saja, namanya juga regulasi ya gimana dong ya mau enggak mau, seneng enggak seneng sih,” ujar Eveline saat diwawancarai via LINE pada 25 November lalu.
Maka itu, pemberlakuan sanksi tersebut dinilai membebankan mahasiswa yang tidak mengikuti LDK. Tak hanya itu, pembuatan karya tulis juga tidak akan mampu mengganti esensi kegiatan yang dilakukan 3 hari 2 malam tersebut.
Sejatinya, LDK bukanlah kegiatan yang wajib bagi mahasiswa saja, melainkan juga kewajiban bagi kampus untuk menyiapkan bekal yang layak bagi organisator. Sanksi pembayaran dan pembuatan karya tulis terkesan hanya tidak ingin merugikan pihak kampus tanpa mempertimbangkan tujuan utama LDK, yakni pengembangan karakter mahasiswa.
Jika sanksi yang berlaku tak tepat sasaran, apakah harus terus dilanjutkan di generasi selanjutnya?
Penulis: Diana Valencia, mahasiswi Jurnalistik UMN 2015
Editor: Christoforus Ristianto