“Kenapa ditembak? Kalau dia nakal kan cukup dipukul saja… Kenapa ditembak?”
-Sunarmi, Ibu dari Hafidin Royan, aktivis mahasiswa korban penembakan Trisakti’98.
SERPONG, ULTIMAGZ.com– Sudah layak dan sepantasnya, reformasi diberikan tempat sendiri dalam gulungan sejarah bangsa Indonesia. Tak perlu tempat yang mewah, tetapi harus cukup luas untuk menampung kepingan-kepingan kisah yang masih belum rampung hingga sekarang. Termasuk pengungkapan kasus pelanggaran HAM yang marak terjadi di masa perjuangan menuju reformasi dan masih menjadi bayang-bayang dalam imaji masyarakat Indonesia.
Pada 2016 silam, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) merilis 10 kasus pelanggaran HAM yang diduga melibatkan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto. Mulai dari kasus Pulau Buru, penembakan-penembakan misterius, peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Papua, penembakan Trisakti, penghilangan paksa aktivis, simpatisan parta lain, serta pembiaran atas kerusuhan Mei 1998.
Kepingan yang Sukar Utuh dan Pengetahuan yang Dangkal
Menginjak usia 20 tahun, kepingan sejarah reformasi masih jauh dari kata utuh. Masih banyak simpang siur cerita akan realita yang terjadi pada Indonesia dan rakyatnya kala itu. Kesimpangsiuran ini kadang justru membingungkan bagi generasi yang lahir di tahun 1995 ke atas yang belum memiliki kemampuan mengingat jelas situasi zaman itu.
Buku pelajaran semasa SD, SMP, dan SMA hanya mampu mengantarkan pengetahuan sebatas 1998 yang merupakan tahun awal reformasi Indoensia. Perjuangan pada masa itu tidaklah mudah, bahkan sampai melibatkan penghilangan nyawa para aktivis oleh pihak yang tidak dikenal, diduga dari oknum pemerintah zaman itu. Hingga sekarang, kata ‘diduga’ ini tak pernah berubah menjadi kata ‘terbukti’. Ada banyak penutupan dan keengganan pemerintah untuk membuka sejarah kelam bangsa.
Penyelesaian pelanggaran HAM terkesan hanya di permukaan saja, seperti membentuk tim khusus untuk menelisik pelanggaran HAM, atau janji-janji yang diliput di media. Namun gaung penyelesaiannya tak terdenger atau minimal perkembangan penyelidikan kasusnya mentok alias sampai di situ-situ saja.
Padahal layaknya hidup, sejarah juga tak melulu soal kesuksesan dan hal-hal yang positif seperti kisah para pejuang untuk meraih kemerdekaan atau aksi-aksi cerdas nan heroik anak bangsa lainnya demi membuat perbaikan di Indonesia. Perbaikan dan pembelajaran dapat datang dari mana saja, termasuk sejarah kelam atau kesalahan yang pernah dibuat pemerintah zaman itu.
Keengganan untuk menuntas habis dan membuka kasus ini kepada publik justru malah mempersulit kebiasaan bangsa untuk belajar berhati besar menerima bahwa Indonesia, entah itu elemen pemerintahnya, rakyat, atau militernya pernah melakukan kesalahan. Hal ini membuat pengetahuan generasi muda tentang perjuangan meraih reformasi menjadi dangkal. Pengetahuan yang diajarkan hanya sebatas prolog perjuangan menuju 1998, tapi tak pernah ada yang mengisahkan derita dan kekelaman yang dialami masyarakat Indonesia secara spesifik.
Tak ada yang tahu pasti, siapa yang harus bertanggung jawab, siapa yang ada di pihak masyarakat, atau justru mengambil andil dalam tindak pelanggaran HAM itu sendiri.
Pernahkah ada guru atau dosen yang mengulas tentang kesaksikan Nezar Patria, aktivis mahasiswa yang diculik kemudian dipulangkan kembali, tentang penyiksaan terhadapnya? Atau pernahkah ada kejelasan dari pemerintah Indonesia untuk mengadili pihak-pihak yang terlibat dalam kasus penculikan, termasuk para pembuat keputusan dan bukan hanya para pesuruh atau pelakunya saja?
Pengetahuan yang dangkal berdampak pada minimnya rasa kepemilikan terhadap gerakan reformasi Indonesia. Rangsangan yang dapat memantik semangat perjuanganagar reformasi tidak hanya jadi semboyan saja pun menjadi kurang terasa.
Pernyataan bahwa ‘proses terkadang jauh lebih penting daripada hasil’ terasa pas jika digunakan dalam konteks ini. Proses yang panjang, termasuk dengan penyiksaan para aktivis, demonstrasi penuh gelora, penghilangan beberapa aktivis dan simpatisan partai lain secara paksa, serta derita etnis tertentu yang hingga sekarang menimbulkan trauma adalah kisah-kisah yang mampu menyuntikkan semangat reformasi atau minimal semangat memperjuangkan bangsa Indonesia menjadi lebih baik lagi.
Dunia pendidikan yakni sekolah dan universitas, memiliki andil besar mendidik para muridnya untuk bergerak mendekati kebenaran dan menjauhi ketidakpastian yang menyesatkan. Sudah sepatutnya, pendidikan tak melulu soal mengklasifikasikan sebuah tindakan sebagai tindakan yang baik atau buruk. Melainkan memberikan siraman pencerahan karakter untuk berhati besar menerima kesalahan di masa lampau dan hendak memperbaikinya di masa mendatang.
Berterimakasihlah pada segala yang memberi kehidupan. Termasuk kepada aktivis-aktivis yang dihilangkan secara paksa atau disiksa atas nama kebenaran yang memberikan kehidupan reformasi bagi kita yang hidup saat ini.
“Apakah sebangsamu akan kau biarkan terbungkuk-bungkuk dalam ketidaktahuannya? Siapa bakal memulai kalau bukan kau?” -Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah
Penulis: Diana Valencia, Jurnalistik 2015
Editor: Hilel Hodawya
Foto: BBC Indonesia, Kompas.com