SERPONG, ULTIMAGZ.com – Jika masyarakat Indonesia dikenal dengan keramahannya, warganet kita dikenal dengan “sopan santun”-nya.
Belum lama ini, media sosial diramaikan oleh data yang dirilis Microsoft. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan warganet paling tidak sopan seantero Asia Tenggara. Bukannya berkaca, para warganet justru menyerang balik halaman media sosial perusahaan asal Amerika tersebut dengan berbagai ujaran kebencian, mulai dari komentar pedas yang dibalut dengan nuansa halus, sedikit kasar dan menusuk, hingga blak-blakan seperti ingin mengajak perang.
Tak tahan, Microsoft pun akhirnya mematikan fitur komentar di laman Instagram mereka, menjadikan kejadian tersebut salah satu pencapaian luar biasa dan momen bersejarah warganet Indonesia pada 2021.
Tidak lama setelahnya, kita disuguhi drama Dewa Kipas (Dadang Subur) melawan Gotham Chess (Levy Rozman). Levy menuduh Dadang melakukan kecurangan saat bertanding melawannya di situs bermain catur chess.com. Warganet Indonesia rupanya tidak terima akan pernyataan tersebut. Dengan alasan nasionalisme dan iba, tanpa melihat data, warganet pun menyerang akun media sosial Levy secara membabi buta hingga akhirnya ia memblokir seluruh akses konten untuk Indonesia.
Perilaku warganet yang terlalu percaya diri ini perlu dipertanyakan dasarnya, sebab petinggi chess.com sudah mengeluarkan pernyataan resmi bahwa setelah melihat sejarah permainan Dadang di situs tersebut, Dadang memang terindikasi melakukan kecurangan. Hal ini pun semakin diperkuat setelah ia kalah telak 0-3 melawan Women Grandmaster Irene Sukandar pada pertandingan catur yang disiarkan melalui kanal YouTube Deddy Corbuzier, 22 Maret silam.
Tak berhenti di sana, berita tim bulutangkis Indonesia yang dipulangkan secara paksa dari turnamen All England juga turut membuat semangat patriotisme warganet bergejolak. Dengan semangat ’45, dari balik gawai, mereka kembali beraksi. Perjuangan yang dilakukan tidak sia-sia, akun All England yang digempur selama tujuh hari tujuh malam akhirnya hilang dari Instagram. Parahnya, warganet bahkan turut menyerang halaman pribadi para atlet Inggris yang sebenarnya tidak punya hubungan sama sekali dengan masalah ini.
Anda bisa bayangkan sendiri, ‘kan, seberapa beradabnya warganet kita?
Sebenarnya, di balik tindakan tersebut, saya bisa mengerti bahwa warganet Indonesia memiliki sikap nasionalisme yang tinggi. Sayangnya, hal tersebut cenderung mengarah pada tindakan berbahaya yang justru dapat mencela harkat dan martabat bangsa Indonesia secara kolektif. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai toxic nationalism, yakni ketika sikap patriotisme berubah menjadi racun.
Memang, ada rasa bangga ketika kita, bersama dengan anggota masyarakat lain, bersatu suara untuk membela apa yang kita rasa benar. Namun, dari daftar kejadian tersebut, kita bisa melihat bahwa mayoritas warganet Indonesia belum memenuhi “standar kelayakan” dalam bermedia sosial.
Warganet kita tampak kurang memiliki keinginan untuk memverifikasi pemberitaan yang beredar di media sosial. Glorifikasi atas negara justru muncul ketika Indonesia diberitakan secara internasional, terlepas dari baik atau buruknya representasi kita di berita-berita tersebut . Kasus Microsoft dan Dewa Kipas sudah menjadi bukti nyata bagaimana warganet buta akan fakta dan justru “mengagungkan” sesuatu yang jelas-jelas salah jika dilihat datanya. Jika informasi yang mereka telan ternyata salah, mereka berlindung di balik “klarifikasi”.
Enggak heran. Nyimpulin artikel aja, cuma dari judul.
Selain itu, warganet pun tampak kurang memahami bedanya kritik dan hujatan. Kritik merupakan sebuah komentar yang berlandaskan data dan analisis yang bertujuan untuk membangun. Penyampaiannya tentu dilakukan dengan etika dan adab, tidak seenaknya saja tanpa arah serta makna. Mereka juga tampak tidak bisa membedakan satir dan sarkasme, dua kata yang jelas memiliki perbedaan makna. Satir adalah gaya bahasa yang digunakan untuk menyindir seseorang, sedangkan sarkasme jauh lebih frontal dan jelas untuk menyakiti hati orang lain.
Pesan, terutama jika berbentuk tulisan, memang memiliki sifat abu-abu. Apa yang kita sampaikan belum tentu dimaknai secara persis oleh orang lain yang menerimanya. Hal yang kita tulis dengan maksud baik, belum tentu dianggap baik oleh pembaca karena tidak adanya ekspresi dan intonasi di sana. Tulisan panjang saja sering salah kita cerna, apalagi komentar media sosial yang cenderung lugas dan tidak deskriptif. Bisa kacau! Maka berhati-hatilah dalam berkomentar, sekalipun itu hanya bercanda atau ikut-ikutan.
Maksud yang kamu “maksud”, belum tentu ditangkap sama oleh sang penerima pesan.
Kritik ini bukan berarti kita sebagai warganet tidak boleh berpendapat, melainkan sekadar kritik atas cara penyampaian pendapat di internet. Bagaimanapun juga, budaya seperti ini tidak boleh kita biarkan berlanjut karena dapat memengaruhi sikap penerus bangsa dalam bermedia. Sebuah warisan mental yang tidak sejalan dengan nilai luhur bangsa dan Pancasila. Jika begitu, tidak menutup kemungkinan nantinya akan muncul stereotip negatif yang dapat berdampak buruk bagi Indonesia secara kolektif.
Kalian terserah, deh, mau komentar apa di konten dalam negeri, tapi tolong jangan dibawa ke forum luar yang aneh-anehnya.
Bangga terhadap negeri sendiri sudah wajib hukumnya. Solidaritas warganet sudah menjadi bukti nyata dijalankannya sila pertama. Namun, jangan lupa, dalam ideologi negara juga terdapat sila kedua yang meminta dengan hormat agar kita menjadi “manusia yang adil dan beradab”.
Di luar kontroversi yang kerap ditimbulkan warganet, saya merasa sedikit bangga karena mereka memberikan kontribusi keterampilan nonteknis (softskill) bagi Indonesia. Jika Amerika punya persenjataan militer yang canggih, kita punya warganet yang siap membela NKRI sampai mati.
Pertahankan sikap patriotismenya, buang racunnya, mari beraksi!
Penulis: Jairel Danet Polii
Editor: Charlenne Kayla Roeslie
Ilustrasi: theeconomyjournal.eu