SERPONG, ULTIMAGZ.com — Dunia perkuliahan merupakan sebuah fase yang menghadirkan banyak tuntutan bagi mahasiswa. Mulai dari dituntut untuk berprestasi di bidang akademik, hingga harus mengikuti berbagai organisasi untuk memperluas relasi. Tak dapat dimungkiri, hal tersebut kerap membuat mahasiswa merasa takut tertinggal atau “kalah saing” dari teman-temannya, bahkan mendatangkan rasa cemas dan kekhawatiran.
Itulah yang dialami oleh Lavender (bukan nama sebenarnya). Kepada ULTIMAGZ, Lavender bercerita bahwa ia sering merasa takut tertinggal dalam hal pengerjaan tugas kuliah.
Ia mengatakan bahwa di dalam dirinya ada rasa takut untuk kalah bersaing. Lebih jauh lagi, Lavender juga mengaitkan hal tersebut dengan rasa insecure yang kerap ia rasakan. Tak jarang perasaan tersebut juga membawanya kepada perasaan tidak tenang yang berujung overthinking karena selalu ingin memperbagus hasil pekerjaannya.
“Karena gue suka insecure sama hasil tugas gue sendiri, suka kepikiran punya gue gak sebanding sama punya yang lain,” ujar Lavender.
Cerita lain juga disampaikan oleh Darlene Verica Angel. Saat awal kuliah, ia seringkali merasakan Fear Of Missing Out (FOMO). Ia mengatakan bahwa dirinya adalah sosok yang cukup ambisius sehingga sering merasa takut tertinggal ketika melihat banyak temannya sudah mendaftar kepanitiaan atau organisasi.
“Terus aku liat, nih wah dia sudah masuk organisasi ini, organisasi itu, jadi gue mulai merasa ‘FOMO’ gitu, sih. Sebenarnya kayak mulai aduh, kok gue kayak gak ngapa-ngapain, ya yang lain sudah produktif,” kata Darlene.
Baca Juga “Zoom Fatigue: Ketika Kebanyakan Pertemuan Daring Membuat Lelah”
Kondisi ini juga dirasakan oleh Nora (bukan nama sebenarnya). Nora mengatakan bahwa selama perkuliahan ini, ia memiliki perasaan takut “kalah bersaing” yang sebetulnya juga didasari oleh dorongan keluarganya.
Karena dorongan yang diberikan itu, Nora bercerita setidaknya ada dua kali dalam hidupnya ia merasa sangat down sampai memiliki pikiran buruk untuk mengakhiri hidupnya. Nora juga mengaku pernah menyakiti dirinya sendiri. Hal tersebut ia lakukan untuk melampiaskan rasa kesalnya.
“Gue nangis setiap hari, gue buat video biar pikiran gue mereda. Gue gak ada teman cerita juga, gue mau cerita ke keluarga gak bisa karena sibuk semua. Terus, kalau teman, sudah cerita tetapi tanggapannya gak bisa seratus persen dipercaya, gitu, jadi mau gak mau dipendam,” tutur Nora.
Nora juga mengatakan bahwa ia sebetulnya memiliki keinginan untuk berkonsultasi ke psikolog. Namun, Nora merasa takut dan belum berani untuk melakukan itu. Ia berpendapat bahwa pergi ke psikolog artinya sudah parah atau menjadi sebuah final di hidupnya.
Tak hanya Lavender, Darlene, dan Nora, mungkin rasa takut tertinggal dan kalah bersaing ini juga banyak dialami oleh mahasiswa lainnya. Dalam wawancara dengan ULTIMAGZ, Psikolog Klinis Eric Sucitra, M.Psi mengatakan bahwa hal tersebut wajar terjadi, mengingat manusia memang memiliki kebutuhan akan aktualisasi diri dan diakui oleh lingkungan sekitarnya.
“Berdasarkan piramida kebutuhan dasar, orang-orang yang berkuliah (mahasiswa) itu minimal kebutuhan dasarnya terpenuhi, sandang, pangan, papan. Ketika itu sudah terpenuhi, perhatian kita akan maju ke hal-hal yang bukan lagi kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan untuk diakui, dihargai, aktualisasi diri,” kata Eric saat dihubungi ULTIMAGZ pada Jumat (04/02/22).
Menurut Eric, kehadiran media sosial pun bisa menjadi salah satu faktor timbulnya rasa takut kalah bersaing itu. Dengan melihat kehidupan orang lain yang seakan penuh prestasi dan pencapaian, seseorang jadi kerap membanding-bandingkan dirinya hingga tak kunjung merasa cukup.
“Ditambah lagi memang dengan adanya social media, terlalu gampang untuk kita melakukan social comparison. Serba salah, mau main social media kadang over analyzed, (berpikir) ‘ih keren ya dia, di umur segini udah buka bisnis, gak cuma kuliah’. Enggak main (media sosial) pun salah juga, nanti gak bisa connected dengan teman-teman,”
Lebih jauh lagi, kondisi tersebut akhirnya bisa membawa mahasiswa berlomba-lomba untuk selalu terlihat aktif, mampu, dan baik-baik saja. Padahal, untuk bisa mencapai hal itu, mereka berjuang keras melakukan segala upaya, bahkan hingga mengorbankan berbagai hal penting dalam hidupnya. Fenomena inilah yang sering dikenal dengan istilah duck syndrome.
Duck Syndrome dalam Kacamata Psikologis dan Mahasiswa
Eric mengatakan bahwa duck syndrome adalah sebuah istilah populer di kalangan masyarakat. Kata “duck syndrome” sendiri berangkat dari fenomena bebek yang selalu terlihat tenang saat berada di air, padahal di bawah, kakinya berupaya keras untuk bisa terus berenang.
Eric pun menjelaskan bahwa duck syndrome sebenarnya bukanlah sebuah istilah yang resmi dalam dunia psikologi klinis. Diagnosis secara resminya juga tidak ada. Namun, hal ini tetap nyata, fenomenanya valid, dan mencerminkan banyak sekali fenomena psikologi sosial.
“Lebih tepatnya adalah sebuah istilah populer aja. Akan tetapi, memang tidak secara resmi ada diagnosisnya. Jadi mirip quarter life crisis, itu kan sebuah fenomena psikologis yang sangat terkenal, tapi secara resmi diagnosisnya gak ada. Jadi itu lebih mengarah ke berbagai simtom,” jelas Eric.
Menurut Eric, salah satu faktor adanya persaingan yang kemudian bisa memicu munculnya duck syndrome di kalangan mahasiswa adalah lingkungan perkuliahan. Tak dapat dimungkiri, dalam lingkungan sosial, termasuk dunia perkuliahan, tentu tidak semua orang bisa cocok untuk dijadikan teman. Jika salah memilih, seseorang bisa terjebak dalam lingkaran sosial yang toxic dan merugikan dirinya. Hubungan itulah yang dapat membuat seseorang terus memaksakan diri untuk bersaing hingga mengorbankan banyak hal, bahkan berujung rasa stres yang tak kunjung usai.
Selain itu, hal yang mungkin bisa menjadi faktor penyebab lainnya adalah kurang mengenal diri sendiri. Kondisi ini membuat mahasiswa tidak mengetahui hal apa yang dapat membuatnya bahagia. Mereka juga kehilangan tujuan yang jelas dalam melakukan sesuatu sehingga akhirnya memaksakan diri untuk bisa melakukan berbagai hal.
Cara Mengatasi Duck Syndrome
Jika merasakan kondisi yang mengarah pada fenomena duck syndrome, Ultimates dapat mencoba melakukan hal-hal berikut untuk mengatasinya.
- Selektif dalam memilih teman
Terbuka untuk berteman dengan siapa saja memang baik dan bermanfaat untuk memperluas relasi. Namun, sikap selektif atau berhati-hati dalam memilih teman tetap sangat diperlukan. Hindari lingkaran pertemanan yang toxic dan hanya merugikan diri sendiri. Sebaliknya, carilah lingkungan yang bisa mendukungmu untuk mengembangkan diri ke arah yang positif.
- Kenali diri sendiri
Mengenal diri sendiri adalah hal dasar yang sangat diperlukan setiap orang. Mengenal diri membuat kita bisa lebih mengetahui hal apa disukai dan membuat diri bahagia, dan sebaliknya. Dengan begitu, kita juga dapat lebih mengetahui hal-hal apa saja yang sebenarnya perlu dilakukan untuk mencapai tujuan atau goals kita.
- Tingkatkan communication skills
Masalah sering kali muncul karena kurangnya komunikasi yang baik. Oleh sebab itu, penting bagi seseorang untuk memiliki kemampuan berkomunikasi. Komunikasi yang baik setidaknya dapat membantu untuk mengutarakan isi hati dan pikiran. Jika lingkungan sekitar memaksamu untuk melakukan sesuatu yang tidak kamu suka, jangan ragu untuk bicarakan keinginanmu apa adanya.
- Perhatikan waktu dan kualitas tidur
Memiliki waktu tidur yang cukup dan berkualitas merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menghindari stres dan rasa cemas. Di tengah segala aktivitas, sediakanlah waktu istirahat yang cukup untuk tubuh. Ketika akan tidur, hindarilah segala hal yang bisa mengganggu pikiran dan fokuslah untuk beristirahat.
Jangan Takut Minta Bantuan Profesional
Jika sudah melakukan hal-hal di atas, tetapi masih menemukan kendala atau tak kunjung merasa lebih baik, itu adalah saat yang tepat untuk meminta bantuan psikolog. Namun, sayangnya masih banyak orang yang beranggapan bahwa berkonsultasi dengan psikolog adalah tindakan yang berlebihan dan tidak perlu dilakukan.
“Tentu ketika ada orang takut ke psikolog, selalu berkaitan dengan stigma negatif tentang pergi ke psikolog. Seakan-akan kalau orang ke psikolog, itu artinya kayak ngerasa kalah. Kayak merasa seakan-akan kalau aku udah pergi ke psikolog, berarti aku gagal nih menata hidup aku. Padahal enggak demikian,” ujar Eric.
“Kita (psikolog) sangat amat empati kepada mereka yang sedang struggle di dalam fase kehidupannya, apa pun itu. Mau fase kehidupannya sebagai anak, sebagai mahasiswa, sebagai orang tua, apapun itu kita terima. Gak ada masalah yang tabu untuk kita. Jadi, gak apa-apa, dikonselingkan gitu,” lanjutnya.
Seperti yang dijelaskan Eric, Ultimates tidak perlu merasa takut atau ragu untuk meminta bantuan psikolog. Mereka adalah orang yang siap mendengarkan setiap permasalahan dan membantumu melaluinya.
Penulis: Josephine Arella (Jurnalistik 2021), Christabella Abigail (Jurnalistik, 2020)
Editor: Jessica Elisabeth
Foto: unsplash.com, Charles Putra