SERPONG, ULTIMAGZ.com — Pernahkah Ultimates melihat tagar #MeToo beredar di media sosial? Atau mungkin melihat orang-orang berbondong-bondong menghujani kolom komentar dari seorang figur publik dengan kata cancelled? Itu dapat termasuk praktik cancel culture.
Belakangan ini para pengguna media sosial cukup sering membuat tagar-tagar yang seringkali disebut juga dengan meng-cancel seseorang. Bahkan, mungkin ada di antara para Ultimates yang turut mengambil bagian dalam hal tersebut.
Alix Martinez dalam “Uncovering The Dirt on Cancel Culture: An In-depth Analysis of Publishing’s Relationship with Controversy” mengungkapkan bahwa kata tersebut merupakan istilah yang kontroversial. Kata cancel culture berasal dari platform media sosial dengan tujuan untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam sosial. Istilah ini mencakup opini para pengguna media sosial yang berkumpul untuk mengutuk perilaku dan tindakan negatif dari seseorang, serta menghentikan dukungan mereka dengan cara memboikot karya dari orang yang bersangkutan.
Melansir dari voaindonesia.com, peneliti komunikasi sosial dan budaya dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, “Operasi dari cancel culture adalah dengan cara memotret, mempertontonkan, melabel, dan mempermalukan orang tersebut di hadapan publik, melalui medium teknologi media sosial.”
Biasanya orang tersebut adalah figur publik (pemerintah, selebritas, dan sebagainya) yang pernah melakukan atau mengungkapkan sesuatu yang tidak bisa diterima oleh publik. Namun, tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat biasa yang juga melakukan tindakan serupa.
Istilah cancel culture sendiri sebenarnya merupakan istilah yang baru popular digunakan pada tahun 2017 pada saat tren tagar #MeToo popular di Twitter. Gerakan ini mengusahakan penegakan keadilan dalam kasus pelecehan seksual terutama terhadap perempuan yang sebagian dilakukan oleh tokoh Hollywood. Namun, sebenarnya tindakan ini sudah ada dari dahulu.
Di Indonesia sendiri fenomena cancel culture mulai semakin tampak pada Oktober 2019, dilansir dari Tempo. Ismail Fahmi, peneliti media sosial dari Drone Emprit mengatakan bahwa keberadaan media sosial mendukung penyebarluasan praktik dari tindakan ini.
Manfaat dari Praktik Cancel Culture
Budaya cancel culture ini secara positif bisa disebut sebagai bentuk demokrasi di media sosial. Ketika setiap orang punya platform, suara, dan hak untuk mengungkapkan kegusaran mereka atau meminta pertanggungjawaban.
Melansir vox.com, bagi banyak orang, proses menyerukan pertanggungjawaban secara publik dan memboikot dilakukan jika tidak ada cara lain yang tampaknya berhasil. Dengan demikian, penyeruan telah menjadi alat penting keadilan sosial.
Beberapa kasus nyata dapat terlihat ketika Harvey Weinstein dengan pengungkapan kasus-kasus pelecehan seksual atau saat penulis novel Harry Potter J.K. Rowling akibat komentarnya yang dinilai transfobia. Ada pun host-komedian Ellen Degeneres yang di-cancel akibat tuduhan pembiaran terhadap lingkungan kerja yang tidak sehat.
Di Indonesia, Saipul Jamil merupakan contoh yang jelas. Ia dipenjara lantaran terbukti mencabuli anak di bawah umur dan menyuap majelis hakim persidangannya. Namun, usai bebas dari penjara, ia disambut dengan meriah dan mendapat kembali panggung di sejumlah acara TV. Protes lantas bermunculan di media sosial atas glorifikasi terhadap dirinya. Muncul pula sebuah petisi daring yang memboikot kehadirannya dalam acara TV dilansir dari tempo.co.
Baca juga: Rape Jokes, Bagian dari Rape Culture yang Tidak Disadari
Praktik Cancel Culture yang Kurang Tepat
Memang, aksi dari cancel culture ini terlihat mirip dengan kegiatan boikot di dunia nyata. Namun, peneliti kajian media dan komunikasi sekaligus Direktur Eksekutif Remotivi, Yovantra Arief mengatakan boikot lebih terorganisir karena digerakkan organisasi atau kelompok tertentu dilansir dari Tempo. Sedangkan cancel culture lebih cair dan dapat diinisiasi oleh akun-akun anonim di media sosial.
Hal ini menyebabkan tindakan cancel culture kerap merugikan pihak yang ter-cancel. Salah satu contoh kasus yang pernah terjadi adalah skandal aktor terkenal dari Korea yaitu Kim Seon-ho.
Kim Seon-ho dikabarkan terjerat skandal yang mengatakan bahwa ia memaksa mantan pacarnya untuk menggugurkan kandungannya. Sebelum fakta dari masalah tersebut terungkap, orang-orang sudah melakukan tindakan cancel kepadanya terlebih dahulu tanpa memberikan kesempatan kepada pihak lain yang bersangkutan untuk bersuara. Akhirnya, hal ini berdampak kepada kariernya dan ia harus membayar penalti kepada sejumlah kontrak iklan.
“Ketika cancel culture menyerang selebritas, maka mereka masih memiliki karya yang berpeluang untuk tetap dikonsumsi dan dinilai positif oleh publik lainnya,” ungkap pengamat sosial UI, Devie Rahmawatir. “Sedangkan bagi kalangan biasa, serangan cancel culture akan berpotensi menutup ruang aktualisasi hingga potensi ekonomi,” sambungnya ketika diwawancara melalui voxindonesia.com.
Praktik yang kurang tepat dilakukan ini tidak semata-mata membeku pada kasus Kim Seon-ho. Seringkali, yang disayangkan dari tindakan cancel adalah aksi para pengguna media sosial bertindak terlalu cepat dan hanya melihat satu perspektif saja. Hal ini menjadikan cancel culture yang tadinya digunakan untuk mengontrol kondisi sosial menjadi penghakiman satu pihak semata.
Dengan sifatnya yang lebih cair, sikap memahami konteks dan kondisi perlu dilakukan dalam menyikapi seseorang yang dianggap melanggar. Tidak serta-merta apapun mudah ditunjuk sebagai “cancelled”. Semua harus kembali ditilik lebih dalam. Apakah yang dilakukan betul untuk keadilan atau partisipasi sosial? Atau justru mengarah kepada main tunjuk tanpa sebab karena perbedaan opini dan subjektif hingga candaan?
Garis yang membagi semuanya bisa terlihat begitu tipis sehingga bisa salah kaprah, baik itu bagi yang mengujarkan, pihak yang ditargetkan, atau pihak lain yang melihat praktik ini. Bagi yang mengujarkan dapat menjurus kepada main hakim sendiri, sedangkan pihak lain justru melihatnya sebagai sesuatu yang “dibenarkan” tanpa mengetahui lebih lanjut akan apa yang terjadi sebenarnya. Keduanya bisa saja menjadi korban dari apa yang sebaiknya tidak diutarakan, pun menjadi pelaku yang menggampangkan apa yang seharusnya mampu dicapai oleh boikot sosial ini.
Terdapat hal-hal besar yang begitu penting untuk diangkat dan dilakukan, tetapi bisa saja karena main hakim sendiri ataupun candaan pribadi ini semuanya menjadi kabur. Memposisikan diri pertama-tama untuk berada di posisi luar supaya dapat melihat permasalahan lebih jelas tentu lebih baik daripada langsung mengecap seseorang cancelled tanpa alasan hingga candaan.
Penulis: Andia Christy (Jurnalistik 2019), Vanessa Anabelle (Jurnalistik 2021)
Editor: Vellanda
Sumber: vox.com, tempo.co, voaindonesia.com,
Martinez, A. (2021). Uncovering the Dirt on Cancel Culture: An In-depth Analysis of Publishing’s Relationship with Controversy. Portland State University.
Can you be more specific about the content of your article? After reading it, I still have some doubts. Hope you can help me.