SERPONG, ULTIMAGZ.com – Dalam kehidupan sehari-hari Ultimates pasti sering sekali mendengar lelucon atau bahkan melontarkannya. Namun, dari banyaknya lelucon yang dilontarkan, ada beberapa yang dapat menyebabkan seseorang atau sebagian orang merasa kurang nyaman. Salah satunya adalah lelucon mengenai bagian tubuh atau menempatkan seseorang dalam konteks seksual.
Lelucon yang merujuk pada anggota tubuh seseorang biasanya merendahkan, melecehkan, dan tidak pantas untuk ditertawakan ataupun dianggap lucu. Sayangnya, di Indonesia hal seperti ini terkadang masih dianggap wajar. Bahkan, beberapa orang menganggap hal tersebut merupakan pujian terhadap tubuh para penyintas.
Yang menyedihkan, lelucon seksual biasanya dikeluarkan oleh orang-orang yang telah mengenal mereka. Tidak jarang pula begitu mereka mengatakan ketidaknyamanan nya akan hal tersebut yang akan didapat adalah kata-kata seperti: “kamu terlalu baper (bawa perasaan)”.
Baca Juga “Victim Blaming”: Tindakan Irasional yang Memperparah Kekerasan Seksual
Keberadaan lelucon berkonteks seksual di masyarakat tidak lain adalah dampak dari budaya patriarki yang telah mengakar. Budaya patriarki yang ada sering kali memandang perempuan hanya sebagai objek dan menempatkan kedua gender dalam pembagian yang ‘berat sebelah’. Tanpa sadar, dengan membiarkan hal-hal semacam ini akan berujung dengan rape culture.
Melansir dari kumparan, rape culture atau budaya pemerkosaan adalah budaya yang menormalisasikan dan mewajarkan tindakan pelecehan atau kekerasan seksual dalam masyarakat. Yang dicirikan sebagai bagian dari rape culture di antaranya, menyalahkan korban, membela pelaku dengan berbagai macam alasan, dan menutup mata terhadap bentuk kejahatan seksual yang terjadi.
Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan (Catahu) pada 2020, terdapat penurunan pelaporan tindak kejahatan seksual pada pihak berwenang menjadi 299.911 kasus dari tahun sebelumnya sebanyak 431,471 kasus. Namun, angka ini sebenarnya menunjukan banyaknya kasus yang tidak dilaporkan pada pihak berwenang.
Kebanyakan kasus pemerkosaan yang tidak dilaporkan adalah bentuk ketakutan yang membayangi penyintas akan prasangka dan hujatan yang akan dikeluarkan oleh masyarakat ketika kejahatan seksual terjadi. Apalagi di Indonesia, menyepelekan kejahatan seksual ataupun meremehkan kondisi psikologis adalah hal yang masih sering didapatkan para penyintas kejahatan seksual ketika berusaha untuk meminta pertolongan. Dampak buruk yang timbul karena ketidakpedulian terhadap budaya pemerkosaan dan menyalahkan penyintas akan memiliki efek yang berkepanjangan serta merusak bagi kondisi psikologis.
Dalam piramida budaya pemerkosaan, lelucon yang bernuansa seksual berkontribusi dengan berada dalam lantai paling bawah. Lelucon seperti ini bersifat seksis dan mencederai upaya penyetaraan gender. Baik lelucon bernuansa seksual maupun kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa pun, kapan pun, dan dimana pun tanpa memandang gender. Hal seperti ini bukanlah sesuatu yang pantas untuk ditertawakan.

Omongan berujung pelecehan seksual masih kerap terjadi, terutama di lingkungan pertemanan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Executive Director National School Boards Association (NSBA) Anne L. Bryant, 81 persen remaja SMA di Amerika Serikat mengalami pelecehan seksual yang dilakukan teman-temannya. Salah satu cara pelecehan seksual yang digunakan adalah penggunaan kata-kata seksual yang berujung sebagai lelucon. Selain itu, berdasarkan data dari kompas.com, sebanyak 28 persen pria menganggap enteng lelucon seksual.
Rape culture dan pelecehan seksual yang berujung lelucon juga sering terjadi di media sosial. Data dari adv.kompas.id memperlihatkan hampir 60 persen perempuan di 22 negara mendapatkan pengalaman kekerasan berbasis gender online (KBGO) di media sosial.

Gambar di atas merupakan contoh komentar rape culture dari warganet di TikTok. Kata-kata yang terdapat di kolom komentar tersebut mampu menyinggung orang yang membaca. Pernyataan tersebut berujung dengan KGBO. Walaupun mereka menganggap komentar tersebut sudah umum dilakukan atau lelucon, korban akan merasakan dampak negatif untuk psikis dan mentalnya.
Tim ULTIMAGZ melakukan voting di Instagram mengenai seberapa sering anak muda mendengar lelucon berbau seksual di sekitarnya. Dari 48 responden, terdapat 43 yang pernah mendengar dan 5 tidak pernah mendengar. Berdasarkan hasil voting tersebut, dapat disimpulkan bahwa lelucon berbau seksual masih diucapkan terutama di kalangan anak muda dan antar teman.
Saat ini, masyarakat melakukan rape culture dengan tujuan untuk penyudutan pihak korban. Tanpa sadar, kalimat yang dikeluarkan merupakan lelucon yang menyakiti hati orang yang mendengarkan. Seharusnya, semua orang mampu menyaring kata-kata dari lelucon dari kata yang berbau seksual.
Maka dari itu, Ultimates harus bisa membedakan kata-kata yang dilontarkan ke orang lain jika berada dalam konteks bercanda. Hal ini harus diperhatikan agar tidak adanya pihak yang merasa dirugikan.
Penulis: Maria Katarina (Jurnalistik, 2019), Rizky Azzahra (Strategic Communication, 2021)
Editor: Jessica Elisabeth
Foto: Margaretha Netha
Sumber: kumparan.com, komnasperempuan.go.id, 11thprincipleconsent.org, kompas.com, Bryant, Anne. (1993). Hostile Hallways: The AAUW Survey on Sexual Harassment in America’s Schools. Journal of School Health. 63(8), 355.