JAKARTA, ULTIMAGZ.com – Uji coba penghapusan sistem three in one di sejumlah titik ibukota yang mulai dilakukan pada Selasa (5/4) malah menambah kemacetan. Volume kendaraan meningkat hingga tiga kali lipat akibat melonjaknya jumlah kendaraan pribadi dengan hanya satu atau dua penumpang. Apakah ini berarti uji coba penghapusan sistem three in one dapat dikatakan gagal?
Pengamat transportasi dari Universitas Indonesia Ellen SW Tangkudung mengatakan kepada Kompas.com pada Selasa (5/4) bahwa tujuan utama dari penghapusan aturan ini memang bukan untuk mengurangi kemacetan. “Tetapi untuk mengurangi eksploitasi manusia dan joki three in one. Imbasnya memang jadi macet, tetapi tujuannya tercapai,” kata Ellen.
Pada awalnya, peraturan yang didasari oleh Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, No. 4104/2003 tertanggal 23 Desember 2003 itu dimaksudkan untuk mendorong para pengguna kendaraan pribadi yang sebenarnya tidak terlalu butuh membawa kendaraan sendiri (penumpang kurang dari tiga orang) dapat beralih ke moda transportasi lain, seperti angkutan umum atau menumpang teman yang searah.
Namun rupanya, sistem tersebut tidak membuat masyarakat dengan kendaraan pribadi berkendara dengan tiga orang dalam satu mobil. Yang terjadi justru munculnya para joki yang semakin lama semakin menjamur. Jejeran pejoki di ujung jalur three in one dapat ditemui secara langsung satu hingga dua jam sebelum berlakunya three in one pada pukul 07.00-10.00 dan 16.30-19.00 WIB.
Kemunculan joki ini malah menambah masalah baru yang tak kalah pelik, yakni kasus eksploitasi dan penggunaan obat-obatan penenang bagi anak dengan tidak wajar. Apalagi setelah terungkapnya kasus eksploitasi anak joki three in one oleh Polres Jakarta Selatan, gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) semakin memantapkan langkahnya untuk menghapus peraturan tersebut.
“Sebenarnya enggak perlu ada 3 in 1 juga. Kalau orang pada bawa-bawa bayi begitu, dikasih obat bayinya biar enggak mengganggu yang membawa mobil. Ini kan enggak benar kalau begitu,” kata Ahok di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka, Jakarta, Senin (28/3) lalu seperti yang dilansir dari merdeka.com.
Oleh karena itu, Ahok merencanakan penghapusan three in one demi menekan jumlah anak-anak yang kondisi fisiknya rusak akibat obat-obatan penenang yang digunakan selama menumpang di mobil penyewa. Ahok menambahkan, lebih baik Jakarta macet ketimbang makin banyak anak yang menjadi korban.
“Jangan gara-gara cuma takut macet, lebih ikhlas anak-anak masa depan rusak. Ini lagi dikaji dan kita saranin nanti enggak ada 3 in 1. Macet, nyesuain sendiri. Lalu nanti saya lepasin aja bus lebih banyak,” terangnya.
Selain itu, rupanya Ahok telah merencanakan sistem baru untuk mengatasi kemacetan Jakarta yang bernama Electronic Road Pricing (ERP). Sistem penerapan jalan berbayar yang pertama kali diadopsi oleh Singapura ini diharapkan dapat mengentaskan masalah kemacetan ibukota.
Penghapusan sistem three in one berlaku di beberapa jalan protokol Jakarta seperti Jalan Sisimangaraja, Jenderal Sudirman, MH Thamrin, Medan Merdeka Barat, Majapahit, dan sebagian Jenderal Gatot Subroto, antara persimpangan Gatot Subroto-Gerbang Pemuda (Balai Sidang Senayan) sampai dengan persimpangan HR Rasuna Said-Jenderal Gatot Subroto pada jalan umum bukan tol. Mulai 5-8 April dan 11-12 April, pemilik kendaraan pribadi diizinkan untuk memuat kurang dari tiga penumpang dalam satu mobil.
Jika dilihat dari segi lalu lintas, ya, penghapusan sistem three in one ini dapat dikatakan gagal. Namun, tujuan semula dari penghapusan adalah untuk mengurangi kasus eksploitasi pada anak. Jadi, tingkat keberhasilan penghapusan kebijakan dapat diukur berdasarkan jumlah anak yang berhasil terselamatkan nantinya.
Setidaknya meski kemacetan terus ada, sebuah generasi akan terselamatkan nantinya.
Penulis: Monica Devi Kristiadi
Editor: Alif Gusti Mahardika
Sumber: merdeka.com, news.metrotvnews.com, tempo.co, megapolitan.kompas.com