SERPONG, ULTIMAGZ.com – Bioskop Morphica kembali menghadirkan pemutaran film pada Jumat (17/2/17) di Kafe Rohani Strumento Deli’ Amore, Gading Serpong. Berputar dalam tema filsafat, film berjudul Terpana ini menjadi menarik dan rumit di saat yang sama
“Yang paling menarik perhatian dari film ini, sebagian orang menganggapnya terlalu berat, sebagian lagi malah menganggapnya terlalu pendek,” demikian ujar Jonathan Manullang, pegiat film lokal yang juga menjadi pemandu acara pada malam itu.
Film ini memang menjadi karya yang menarik dan rumit di saat yang sama karena menurut Jonathan, sang sutradara, Richard Oh, menghilangkan unsur cerita dari karyanya yang satu ini. Pada dasarnya film ini bercerita hanya tentang pertemuan dua tokoh, Rafian (Fachry Albar) dan Ada (Raline Shah) yang kemudian melakukan dialog sepanjang film tentang hal-hal yang bersifat filsafati.
Dialog-dialog yang memuat banyak pertanyaan atau gagasan eksistensial seperti siapa yang mengontrol kehidupan, kebetulan dan probabilitas, keabadian cinta, serta kehidupan setelah mati dikemas dalam kalimat demi kalimat yang mendalam serta penuh dengan majas dan analogi. Tidak heran, mengingat latar belakang ilmu yang dimiliki sang sutradara yakni Sastra dan Filsafat.
Teknik serta komposisi sinematografinya pun baik dengan pengambilan gambar dari berbagai jenis, sudut, dan posisi yang beragam, meskipun ada beberapa adegan yang statis dan diam yang menjadi salah satu penyebab penonton awam yang mengalami kebosanan dalam menonton film ini.
Dalam diskusi yang dilakukan seusai pemutaran film, Jonathan yang merasakan kebingungan dari delapan orang penonton yang hadir menjelaskan bahwa memang film ini dianggap terlalu berat dan menjenuhkan bagi penonton awam yang tidak mengerti filsafat. Tak pelak, bagi penonton berlatar belakang filsafat, film ini diapresiasi dan menjadi sebuah film yang menarik dengan segala percakapan yang mengajak penonton untuk berpikir.
“Umumnya, anak-anak yang belajar filsafat merasa filmnya terlalu pendek karena buat mereka ini kayak surga,” ujar Jonathan menjelaskan segmentasi penonton dari film ini seraya membandingkan dengan penonton awam yang cenderung akan bingung apabila menonton film ini, yang mana menurutnya terjadi karena pikiran kosong penonton awam saat menyaksikannya.
“Kalau misalnya masuk kosong, terus nonton pasti bingung, ini apa, kenapa tiba-tiba lompat kesini, dari A ke B, tapi bukan ke B, ke C, terus balik ke A lagi,” tutup Jonathan sambil berusaha menggambarkan kebingungan penonton.
Dapat dikatakan bahwa film ini adalah film yang unik dengan alur yang tidak biasa dan sangat bernuansa filsafat. Memang bukan menjadi film untuk semua kalangan, tetapi film ini merupakan salah satu film lokal berkualitas, terbukti dengan penghargaan Maya Special Award for Choice Story Idea yang diraih film ini di tahun 2016 silam.
Penulis: Christian Karnanda Yang
Editor: Kezia Maharani Sutikno
Foto: Roberdy Giobriandi