SERPONG, ULTIMAGZ.com — Kehidupan masa kecil sering kali dikaitkan dengan kisah-kisah bahagia. Akan tetapi, tidak semuanya manis di dalam dunia nyata. Ada juga momen pahit dan inilah yang ingin diceritakan dalam film “My Life as a Zucchini”.
Film yang memiliki judul asli “Ma vie de Courgette“ ini mengisahkan tentang seorang anak bernama Icare yang menjadi yatim piatu setelah ibunya meninggal. Seusai membuat pernyataan kepada polisi bernama Raymond, ia pun diantar ke sebuah panti asuhan. Pada tempat barunya, bocah yang diminta untuk dipanggil Courgette atau zukini itu bertemu dengan anak-anak lain. Semuanya memiliki kisah hidup dan masalah yang berbeda, mulai dari orang tua mereka yang meninggal hingga terjerat masalah hukum.
Untuk benar-benar masuk ke dalam cara berpikir anak-anak adalah hal yang sulit bagi orang dewasa. Namun, film yang rilis pada 2016 ini berhasil menangkapnya dan menerjemahkannya. Hal ini tergambarkan lewat cara bagaimana masing-masing anak menghadapi trauma.
Pengisahan salah satu pengalaman tokoh yang bernama Bea, contohnya. Bea berakhir di panti asuhan karena ibunya merupakan pengungsi yang terancam dideportasi. Deportasi merupakan suatu kebijakan sipil yang dikenakan untuk orang yang bukan warga negara asli. Alhasil setiap kali ada mobil yang berhenti di depan pintu panti, ia akan selalu berlari keluar karena berharap bahwa ibunya datang menjemputnya. Namun, ketika Bea dijemput oleh ibunya, gadis kecil itu mendadak panik. Pasalnya, masih ada rasa trauma akan kejadian mereka saat dipisahkan sehingga saat bertemu kembali malah membuatnya ketakutan. Akhirnya ia berlari lagi untuk masuk ke dalam panti asuhan.
Film karya sutradara Claude Barras ini tidak selalu dipenuhi dengan adegan menyedihkan. Ada pula bagian-bagian yang membuat penonton mengingat bahwa kisah ini tetap menaruh lampu sorot pada karakter polos anak-anak. Misalnya kepolosan Courgette dan teman-temannya saat pergi berlibur bersama ke tempat ski. Di sana mereka bermain salju dan berdansa disko dengan riang. Selain itu, salah satu tokoh juga sempat membicarakan tentang seks, tetapi disajikan dengan pemahaman anak-anak yang polos.
Sayangnya, ada beberapa bagian cerita yang terasa janggal dalam film animasi stop motion ini. Karakter beberapa tokoh terasa kurang dijelajahi. Kesannya seperti ada beberapa bagian yang masih bisa digali lebih dalam lagi. Bagi beberapa penonton, akhir film ini juga bisa meninggalkan rasa kurang memuaskan.
Penulis: Nadia Indrawinata
Editor: Elisabeth Diandra Sandi
Foto: sawyer-studios.com