SERPONG, ULTIMAGZ.com – Bagaimana rasanya menjadi perempuan di Indonesia? Walaupun banyak kisah sejarah, buku, film, dan quotes mengenai kehebatan perempuan, kecenderungan diskriminasi di Indonesia terhadap perempuan masih besar. Diskriminasi tersebut berupa justifikasi pelecehan seksual, meremehkan pemerkosaan, victim blaming, atau pun mencekik kebebasan perempuan dengan dalih ‘budaya’ dan ‘agama’ yang dipelintir sedimikian rupa oleh budaya patriarki (budaya yang didominasi oleh laki-laki).
Menjadi Perempuan adalah buku dengan tema feminis berisikan kumpulan esai yang mengungkapkan berbagai cerita diskriminasi terhadap perempuan serta mengharapkan kesetaraan hak, bukan sebagai laki-laki dan perempuan, melainkan sebagai sesama manusia. Magdelene, media daring advokasi perempuan, mengumpulkan kumpulan esai dari 20 penulis terpilih untuk menyuarakan pengalaman pahit serta harapan mereka untuk masa depan.
Ada pun 20 penulis di buku ini berwatak sangat berani. Tanpa keberanian, para penulis tidak akan bisa mengungkapkan pengalaman pahit mereka sebagai peringatan bagi orang lain melalui enam bab, yaitu Menjadi Perempuan, Kecantikan dan Citra Tubuh, Politik dan Pergerakan, Gender dan Seksualitas, Agama dan Spiritualitas, dan Relationship.
Bab Pertama, Menjadi Perempuan, memaparkan bahwa Indonesia mempunyai budaya pemerkosaan, yaitu lingkungan di mana kekerasan seksual mengakar dan dinormalisasi oleh media, budaya pop, dan masyarakat. Lingkungan ini menghapus rasa empati, menyalahkan, dan melecehkan para korban tindak kriminal dengan logika semerawut, seperti ‘memang kodrat laki-laki seperti itu’ atau ‘perempuan seharusnya memakai baju tertutup bila tidak ingin dilecehkan’.
Para penulis mempresentasikan dengan baik bahwa logika semerawut ini sangat berbahaya dengan argumen rasional dan data jurnal ilmiah kredibel. Karena logika semerawut, tindakan kriminal diwajarkan atau dijustifikasi oleh masyarakat Indonesia, bahkan oleh pemerintah. Contohnya, dikutip dari buku, Gubernur DKI Jakarta 2007-2012 Fauzi Bowo menanggapi kasus pemerkosaan oleh beberapa orang kepada seorang perempuan di angkot Jakarta Selatan dengan menyarankan bahwa seharusnya perempuan tidak memakai rok mini saat naik angkutan umum untuk menghindari ‘konsukuensi yang tidak diinginkan’.
Sayangnya, bab pertama hanyalah salah satu dari diskriminasi-diskirminasi yang disebabkan logika semerawut, yaitu body shaming, diskriminasi dalam pekerjaan, mendewakan keperawanan daripada kemanusiaan, menurunkan martabat perempuan dengan dalih agama, dan hubungan cinta yang kasar.
Selain itu, feminisime dalam buku ini tidak terkesan munafik atau berstandar ganda. Artinya, feminsime menilai kebebasan sebagai suatu pemikiran yang dipilih secara sadar, bukan pemikiran yang dipaksakan. Hal ini dikarenakan feminisme menjunjung kesetaraan hak, bukan superioritas.
Contohnya, Vita Kartika, salah satu penulis, mengkritik pemikiran bahwa seorang perempuan tidak harus pintar memasak, melainkan berpendidikan tinggi agar berkarier. Menurut Vita, kemampuan untuk memilih untuk memasak atau bekerja mempunyai derajat yang sama, asalkan dipilih dengan kesadaran penuh oleh perempuan tersebut.
Oleh karena feminisme terlahir atas adanya diskirminasi, maka tidaklah tepat bila pemahaman tersebut dikatakan sebagai bentuk penindasan dalam bentuk baru. Perempuan berhijab atau tidak, tetap dihargai dan dihormati sebagai manusia yang bebas, tanpa melukai atau menindas. Begitu pula dengan ibu rumah tangga dan wanita berkarier, atau pun perempuan tidak menikah dan perempuan menikah. Semua manusia berhak dihargai kebebasannya untuk memilih, asalkan tidak melukai orang lain.
Menjadi Perempuan adalah sumber dan referensi yang baik untuk memahami kemanusiaan dan menghargai kebebasan pilihan bebas dari budaya yang kaku dan dilakukan karena hanya mengikuti kebiasaan dari dulu, walaupun kebiasaan tersebut bisa menindas orang lain. Argumen rasional dan logika akan dipaparkan kepada pembaca untuk melawan kesalahan stigma atau stereotip negatif yang telah ditanamkan sejak dini.
Penulis: Ignatius Raditya Nugraha
Editor : Hilel Hodawya
Foto: elexmedia.id