Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, cerita yang sempat menarik hati banyak orang ketika akhir tahun lalu filmnya ditayangkan di banyak bioskop. Tak tanggung-tanggung, film yang terinspirasi dari novel Buya Hamka ini pun sempat menduduki peringkat pertama Box Office Indonesia. Keberhasilan film tersebut tentunya tidak lepas dari skrip asli yang mengisahkan tentang dua anak muda di dalam sebuah novel.
Novel yang diterbitkan pada tahun 1939 ini mengisahkan hikayat percintaan pemuda keturunan tanah Minang dan Makasar dengan seorang gadis cantik, kembang desa Dusun Batipuh, Hayati. Keduanya dipertemukan oleh nasib dan dipersatukan atas dasar cinta yang suci. Namun, adat istiadat yang masih kental mengantarkan mereka ke jalan yang terjal. Zainuddin yang berdarah campuran tidak serta merta diterima oleh keluarga Hayati.
Dari sinilah konflik batin yang terjadi diantara Zainuddin dan Hayati diangkat oleh Buya Hamka. Berawal dari sekedar konflik di dalam diri tokoh utamanya, sehingga lama-kelamaan menjadi konflik budaya. Konflik harta dan tahta, konflik kecantikan dan ketampanan, konflik perasaan dan kebencian. Kisah kasih mereka digambarkan layaknya kapal yang terombang-ambing dalam samudra nan luas.
Novel ini dikisahkan sedemikian pedihnya dengan penggunaan bahasa yang terbilang rumit. Seakan menjadi penanda bahwa inilah keindahan karya sastra yang sebenarnya. Terbukti dengan gaya penulisannya dan didukung oleh kisahnya yang menghanyutkan perasaan novel ini mampu menembus pasar internasional seperti Malaysia.
Bagi kalian yang sudah menonton film klasik Indonesia yang satu ini dan mencintai kisah Zainuddin dan Hayati, rasanya perlu untuk membaca kisah asli dalam versi novelnya.
[box title=”Info”]Penulis: Firqha Andjani Editor: Eldo Rafael Sumber Foto: flickmagazine.net[/box]